Menuju konten utama

Sejarah Hidup Yusuf Martak: dari Isu Lapindo ke Ijtima Ulama III

Masa lalu dan sejarah hidup Ketua GPNF Ulama, Yusuf Muhammad Martak, pernah dikait-kaitkan dengan kasus lumpur Lapindo.

Sejarah Hidup Yusuf Martak: dari Isu Lapindo ke Ijtima Ulama III
Ketua GNPF Yusuf Muhammad Martak (tengah) dalam konferensi pers Ijtima Ulama II di Jakarta, Minggu. (16/9/2018). Antaranews/M Arief Iskandar

tirto.id - Yusuf Muhammad Martak menjadi salah satu tokoh penting dalam Ijtima Ulama III yang digelar di Sentul, Bogor, Rabu (1/5/2019). Yusuf mulai dikenal banyak orang setelah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) muncul menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017.

Lantas, siapa sebenarnya Yusuf Martak? Dari rekam jejak yang tersimpan di berbagai media, ia pernah dikait-kaitkan dengan isu lumpur Lapindo, meski hal itu sudah diklarifikasinya.

Saat pertama kali terbentuk, GNPF MUI menjadi motor gerakan perlawanan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017, yang dianggap menistakan agama. Mereka kemudian mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang akhirnya menjadi Pilgub DKI Jakarta.

Pada Oktober 2017, GNPF MUI berganti nama menjadi GNPF Ulama. Yusuf Martak menjadi ketuanya. Setelah "misi" di Pilgub DKI Jakarta berhasil, GNPF Ulama mengarahkan sasarannya kepada cakupan yang lebih luas, yakni Pilpres 2019.

Dalam wawancara denganTirto, Yusuf Martak mengatakan bahwa GNPF Ulama tetap tidak akan berafiliasi ke partai politik. Namun, mereka akan tetap "mengawal sentimen agama" dalam Pilpres 2019 dengan memberikan dukungan kepada 4 parpol yaitu Gerindra, PAN, PKS, dan PBB.

Belakangan, PBB beralih haluan mendukung capres petahana Joko Widodo (Jokowi). Sedangkan GNPF Ulama di bawah komando Yusuf Martak dan kawan-kawan tetap menyokong Prabowo Subianto.

Terkait Isu Lapindo

Jejak rekam di berbagai media menunjukkan bahwa masa lalu Yusuf Muhammad Martak pernah dikait-kaitkan dengan persoalan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Tempo.co edisi 3 Januari 2007, misalnya, pernah memuat pernyataan Yusuf Martak terkait hal ini.

Dalam laporan itu disebutkan, Yusuf Martak adalah Vice President PT Energi Mega Persada selaku pihak pemilik saham terbesar PT Lapindo Brantas. Kala itu, Yusuf Martak mengatakan bahwa mereka hanya mampu menyediakan dana maksimal sebesar Rp3,8 triliun untuk menangani semburan lumpur di Sidoarjo.

"Angka Rp3,8 triliun di atas kemampuan Lapindo. Jadi kalau dipaksa mengeluarkan di atasnya Lapindo sudah tidak sanggup," ucap Yusuf Martak saat itu seperti diberitakan Tempo.co.

Arsip berita Detik.com tanggal 15 Februari 2007 juga mencantumkan nama Yusuf Muhammad Martak (ditulis Jusuf M. Martak) sebagai Vice President PT Energi Mega Persada. Yusuf bersama Ketua Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo Basuki Hadimoeljono (kini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) serta General Manager PT Lapindo Brantas Imam P. Agustino menggelar pertemuan tertutup.

Pertemuan di Hotel Shangri-La Surabaya pada 15 Februari 2007 itu membicarakan tentang tuntutan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) Kedungbendo Sidoarjo terkait ganti rugi. Hasilnya, Lapindo menolak membeli lahan Perum TAS I dan III kendati daerah tersebut sudah dibanjiri lumpur panas sejak 22 November 2006.

Laporan yang menyebut Yusuf Martak dengan jabatan yang sama pernah pula diangkat Antara tanggal 26 April 2007. Kantor berita resmi pemerintah RI ini pada 28 November 2007 juga memuat foto Yusuf Martak terkait persoalan lumpur Lapindo namun dengan jabatan berbeda, yakni sebagai Direktur PT. Wahana Artha Raya.

Klarifikasi Yusuf Martak

Keterkaitan masa lalu Yusuf Martak dengan kasus lumpur Lapindo disinggung kembali menjelang Pilpres 2019 seiring dukungan GPNF Ulama kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Yusuf Martak pun telah memberikan klarifikasi terkait isu-isu kurang sedap tersebut. Dikutip dari Hidayatullah.com, Yusuf mengakui bahwa ia memang menjabat sebagai Vice President PT Energi Mega Persada sejak 2004 hingga 2012.

Namun, Yusuf Martak menyatakan bahwa ia tidak pernah menjadi karyawan apalagi pemegang saham PT Lapindo Brantas. Yusuf menantang mereka yang menudingnya untuk memastikan hal itu kepada yang berwenang. "Silakan di-cross cek di Depkum HAM dan BP Migas," tandasnya di Jakarta, Senin (24/09/2018).

Mengenai posisinya sebagai Direktur PT Wahana Artha Raya, Yusuf juga tidak membantah. Namun, sahamnya di perusahaan tersebut sudah dilepaskan sejak lama dan sama sekali tidak ada urusannya dengan urusan PT Lapindo Brantas terkait ganti-rugi bencana lumpur.

"Jadi, pas 2008 saya telah menjual atau melepaskan kepemilikan saham saya di PT Wahana Artha Raya. Jadi tidak ada kaitannya utang piutang [PT Lapindo Brantas] sama sekali," sanggah Yusuf Martak pada hari yang sama, dilansir JPNN.com.

Yusuf Martak juga menegaskan personil GPNF Ulama memiliki moralitas yang baik, "Pengurus GNPF Ulama Insya Allah adalah orang-orang yang mempunyai integritas moral yang teruji."

"Saya sampaikan ini semata untuk menjawab fitnah keji yang disampaikan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bukan hanya untuk mendiskreditkan nama baik saya tetapi juga GNPF Ulama," imbuh Yusuf.

Dari Pengusaha Jadi Ulama

Dari pengusaha, Yusuf Martak kini bertitel ulama, entah bagaimana jejak-rekamnya sehingga ia bisa menyandang gelar tersebut. Namun, posisi Yusuf Martak sebagai Ketua GPNF Ulama barangkali bisa dijadikan sebagai legitimasi baginya.

Yusuf Martak berasal dari keluarga pedagang. Ia adalah keponakan Faradj bin Said bin Awadh Martak atau yang lebih dikenal dengan nama Faradj Martak, seorang saudagar Arab kelahiran Hadhramaut, Yaman, tahun 1897.

Melalui tulisan Faisal Assegaf berjudul "Faradj Martak, Sahabat Arab Soekarno Terlupakan" yang dimuat Albalad.co, Yusuf Martak membenarkan hal tersebut. Faradj Martak konon cukup dekat dengan Sukarno, Presiden RI pertama.

Rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta yang menjadi tempat dibacakannya teks Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 disebut-sebut adalah milik Faradj Martak yang dihibahkan kepada Bung Karno.

Kini, Yusuf Martak tampaknya semakin fokus menjalani perannya sebagai ulama kendati kerap kali beririsan dengan politik.

Yang terbaru, salah satu hasil Ijtima Ulama III yang dimotori Yusuf Martak menuntut kepada KPU dan Bawaslu agar mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf Amin karena diduga telah terjadi kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur di Pilpres 2019.

Baca juga artikel terkait IJTIMA ULAMA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih