tirto.id - Hampir sebelas tahun lamanya semburan lumpur Lapindo tak berhenti, tak ada yang tahu pasti kapan bencana ini berhenti. Namun yang pasti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi membubarkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)--badan yang menangani langsung penanganan semburan lumpur Sidoarjo.
Pembubaran BPLS menggenapi jumlah Lembaga Non Struktural (LNS) yang ditutup oleh pemerintah. Hingga akhir 2016, sudah ada 21 lembaga LNS yang hanya tinggal nama karena dibubarkan. Pada 2 Maret lalu, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2017 sebagai dasar berakhirnya kiprah BPLS sejak terbentuk 2007 lalu.
Dua kata “efektivitas” dan “efisiensi” menjadi dalih pemerintah membubarkan LNS ini. Setelah ini, pelaksanaan tugas dan fungsi BPLS dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ihwal pembiayaan, pegawai, perlengkapan dan dokumen BPLS akan dialihkan ke kementerian yang sama.
Perpres pembubaran BPLS hanya menegaskan kembali penanganan korban lumpur Lapindo, misalnya soal penanganan masalah sosial kemasyarakatan dengan cara pembelian tanah dan/atau bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur sesuai Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang dilakukan oleh Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar ganti rugi Lapindo Brantas Inc. Pembayarannya dilakukan secara bertahap dengan menyertakan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.
Sedangkan untuk tanah dan/atau bangunan yang berada di wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 untuk kebutuhan anggarannya dibebankan pada APBN. Untuk penanganan di luar ganti rugi bagi masyarakat. Dalam konteks ini, maka biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur, dan biaya tindakan mitigasi untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.
Selama bertahun-tahun bencana ini terjadi, penanganan bencana jadi isu yang sensitif dan sering terjadi tarik ulur antara pemerintah dengan badan usaha yang terkait langsung lumpur Lapindo. Selama itu pula BPLS telah menjadi kepanjangtanganan pemerintah.
Setelah BPLS Bubar
BPLS dibentuk pada 2007 sebagai respons pemerintah dalam menanggulangi semburan lumpur Lapindo. BPLS ini dibentuk bertepatan dengan berakhirnya Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Selain itu, keberadaaan BPLS dianggap penting untuk melanjutkan penanganan masalah sosial dan infrastruktur karena luapan lumpur di Sidoarjo sudah berdampak sedemikian luas.
Pardamean Daulay dalam artikel “Survival Mechanism Victim Houshold of Lumpur Lapindo” yang terbit di Jurnal Organisasi dan Manajemen (Maret 2010) menulis bahwa dalam menanggulangi masalah lumpur Lapindo, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 13 tahun 2006 telah membentuk Tim Penanggulangan Semburan Lumpur.
Tim ini bertugas untuk mengambil pelbagai langkah operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan lumpur Lapindo, yang meliputi penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial yang ditimbulkanya. Sebagai tindak lanjut Keppres tersebut, pemerintah kemudian membentuk BPLS.
Tugas utama BPLS menangani peraturan pembayaran jual beli aset lahan dan bangunan warga korban lumpur Lapindo sesuai dengan Perpres No. 14 Tahun 2007, yaitu: pembayaran ganti rugi terhadap tanah dan bangunan warga korban lumpur dilakukan secara bertahap. Tahap pertama uang muka 20 persen dibayarkan, sedangkan sisanya 80 persen akan dilunasi dua tahun berikutnya.
Sayangnya, dalam praktiknya Perpres ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Banyak warga yang telah menerima uang muka tidak dapat mempergunakannya untuk menyewa rumah di sekitar porong, karena semakin mahalnya harga sewa rumah.
Alih-alih realisasi pembayaran uang ganti rugi yang dijanjikan, nasib korban lumpur Lapindo semakin tidak jelas. Maka tak heran para korban Lapindo kerap melakukan protes pada pemerintah, termasuk aksi jalan kaki dari Sidorjo menuju ke Jakarta pada Juli 2012. Persoalan yang krusial adalah kemampuan bayar dari pihak Minarak Lapindo Jaya (MLJ) bagi korban di Peta Area Terdampak per 22 Maret 2007. Minarak Lapindo sempat mengibarkan "bendera putih" untuk meminta pertolongan dana talangan dari pemerintah karena tak sanggup bayar.
Pemerintah memang berada di posisi yang serba sulit, di satu sisi ada kewajiban badan usaha tapi tak punya kemampuan memenuhi kewajiban, di sisi lain ada persoalan sosial yang masih berlarut tanpa ujung pangkalnya.
Akhirnya jelang pemerintahan Presiden SBY berakhir, dalam sebuah rapat koordinasi bersama BPLS, pada Rabu (24/9/2014) pemerintah memutuskan sisa ganti rugi Rp781 miliar akan dibayar oleh pemerintah sebagai dana talangan. Jumlah rencana dana talangan ini bagian sisa dar total ganti rugi korban di lahan peta area terdampak sebesar Rp3,8 triliun, pihak Minarak Lapindo Jaya hanya bisa membayar Rp3,03 triliun.
Jumlah dana talangan yang rencananya Rp781 miliar ternyata belum final, karena setelah melalui verifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kebutuhan dana talangan jadi meningkat hingga Rp827 miliar. Sebagai konsekuensinya dari skema ini, aset lahan di peta area terdampak yang sudah diganti Lapindo diberikan kepada pemerintah sebagai jaminan.
Skema ini bisa dibilang ngeri-ngeri sedap terhadap risiko hukum di kemudian hari bagi pejabat yang melaksanakannya. Pemerintah hingga harus menunggu pendapat hukum dari Jaksa Agung, siapa yang seharusnya menandatangani perjanjian utang dana talangan antara pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya.
Pada 10 Juli 2015, pemerintah, Lapindo Brantas Inc. dan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) akhirnya melaksanakan penandatanganan surat perjanjian. Pada perjanjian itu, jangka waktu pengembalian pinjaman selambat-lambatnya 4 tahun sejak perjanjian yang menentukan itu. Besaran bunga pinjaman sebesar 4,8 persen per tahun dari jumlah pinjaman.
Surat perjanjian itu ditandatangani oleh Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah sebagai Pihak Pertama. Sementara Presiden Lapindo Brantas Inc. Tri Setia Sutisna dan Direktur Utama PT. Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam bertindak sebagai Pihak Kedua, dan setujui oleh Nirwan Bakrie.
“Jika pihak Lapindo Brantas Inc tidak dapat melunasi pinjaman, maka jaminan aset tanah dan bangunan yang telah dibayar Lapindo senilai Rp 2.797.442.841.586,- beralih kepada dan dalam penguasaan sepenuhnya Pemerintah," kata Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono kala itu dikutip dari Antara.
Beban pemerintah terhadap lumpur Lapindo memang cukup berat, selain harus memberi dana talangan untuk korban di peta area terdampak, pemerintah juga punya kewajiban menyelesaikan kewajibannya bagi korban dan infrastruktur yang berada di luar peta area terdampak.
Pada 2015, pemerintah telah mencairkan dana talangan di zona peta area terdampak Lapindo sebesar Rp773 miliar yang semestinya memang keluar dari kantong Lapindo Brantas Inc. Sedangkan sisanya, sebesar Rp54,3 miliar telah dialokasikan dan disetujui DPR dalam APBN-P-2016. Persoalan dana talangan ini ternyata bukan akhir segalanya, karena sempat ada usulan dari anggota DPR agar ada dana talangan tambahan tapi ditolak pemerintah.
Pembubaran BPLS memang lebih bermotif pada upaya perampingan birokrasi untuk melakukan efisiensi dan perubahan sebagai bagian reformasi birokrasi. Namun pembubaran BPLS dari kaca mata penanganan lumpur Lapindo tak semata bisa langsung melahirkan perubahan, yang ada justru di masa depan uang negara bakal keluar terus menalangi Lapindo Brantas, karena tak ada jaminan bahwa peta area terdampak di masa mendatang tak meluas dan membesar.
Sementara badan usaha seperti Lapindo Brantas dengan jurus pamungkasnya bisa saja beralasan tak sanggup membayar kewajibannya atau melepas jaminan asetnya di peta area terdampak kepada pemerintah karena tak sanggup bayar dana talangan. Hingga pada akhirnya pemerintah akan terus keluar uang dan hanya memiliki lahan yang sudah terendam lumpur. Semua hal masih bisa terjadi pasca BPLS bubar.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra