tirto.id - Alex Komang mungkin tidak menyangka, kedatangannya di acara pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada 1980-an menjadi pertemuan pertamanya dengan sang guru, Teguh Karya. Ia menghadiri acara yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu dengan beberapa orang kawannya dari Bulungan.
Saat itu, Teguh Karya--sutradara kawakan sekaligus pendiri Teater Populer--tengah mencari aktor utama untuk main dalam film Secangkir Kopi Pahit (1985). Alex ditawari peran itu dan diundang ke kediaman Teguh Karya. Meskipun awalnya ragu-ragu dan merasa tak mampu, tapi Alex akhirnya memutuskan untuk datang.
Dua hal yang dilakukan oleh Teguh Karya untuk menilai apakah Alex cocok memerankan tokoh utama di filmnya atau tidak. Kepada Film Indonesia, Alex bercerita bahwa pertama, ia diminta untuk memilih tiga kain ulos paling bagus dari seluruh koleksi milik Teguh.
“Lalu saya sadar bahwa ia (Teguh Karya) ingin tahu selera saya. Apakah selera saya cukup baik atau tidak. Menurut Pak Teguh hal ini sangat penting untuk mengetahui secara khusus tentang karakter seseorang,” ungkapnya.
Selain memilih kain ulos, Alex juga diminta untuk berjalan dari pintu gerbang menuju rumah sembari ditonton banyak orang, di antaranya beberapa kru film dan para seniman. Alex menuturkan bahwa ia berusaha untuk berjalan dengan biasa saja. Ketika ia tiba-tiba dipanggil saat berjalan pun, ia hanya menoleh seperlunya.
Rupanya, cara berjalan Alex mendapat respon yang baik dari Teguh. Menurutnya, cara berjalan Alex cukup lentur.
“Dari pengalaman tersebut, saya memahaminya sebagai upaya untuk mengecek apakah pikiran dan hati memiliki keselarasan. Biasanya saat seorang aktor di atas panggung atau dilihat oleh penonton, dia menciptakan gerak tubuh lebih dari biasanya. Hal ini dikendalikan oleh perasaan dari luar. Dan ternyata saya tidak terpengaruh dengan hal ini, ketika dipanggil ya, saya hanya menengokkan kepala saja, tidak seluruh badan yang bergerak,” kata Alex pada wawancara tersebut.
Setelahnya, Alex mulai serius menekuni teater dan akting di Teater Populer, Jakarta. Saat itu, Teguh Karya mewanti-wanti Alex untuk latihan dengan tekun.
Selain berkolaborasi untuk film Secangkir Kopi Pahit (1985), Teguh juga memercayai Alex untuk berkontribusi dalam penulisan naskah Doea Tanda Mata (1985). Film inilah yang memberinya gelar Pemeran Utama Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia 1985.
Ketika Teguh Karya meninggal pada Desember 2001, Alex bertekad untuk meneruskan Teater Populer sebagai warisan dari sang guru. Ia melakukannya bukan semata sebagai bentuk balas budi, tetapi juga untuk kemajuan dunia teater. Ia tidak ingin markas kesenian yang membesarkan namanya itu padam.
Alex mengembuskan napas terakhirnya kala ia baru satu tahun menjabat sebagai Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) periode 2014-2017. Aktor bernama asli Saifin Nuha ini meninggal di RSUP Kariadi, Semarang, akibat kanker hati pada 13 Februari 2015, tepat hari ini 6 tahun lalu.
Bapak dan Asal-usul Nama
Perjalanan Alex Komang di dunia peran pada mulanya tidak direstui oleh bapaknya yang ingin anaknya menuntut ilmu di Pesantren Sarang, Jawa Tengah. Alex adalah putra dari KH Shohibul Munir atau akrab dipanggil Kiai Shohib, ahli fikih NU kenamaan.
Tanpa sepengatahuan sang ayah, Alex nekat merantau ke Jakarta selepas SMA pada 1980. Kepada Antara, Akhmad Sahal--sahabat karib Alex Komang--bercerita bahwa Alex tidak memberi tahu ayahnya tentang ketertarikannya pada seni peran.
Ketika Alex berhasil meraih Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1985, ia baru memberanikan diri mengakui profesi barunya kepada Kiai Shohib. Sayangnya, hal ini justru menambah kekecewaan dan kemarahan sang bapak.
Kemarahannya tidak semata karena Alex memutuskan untuk menggeluti dunia film, tetapi juga perubahan nama dari Saifin Nuha menjadi Alex Komang. Selama dua tahun lebih sang ayah tidak mau berbicara dengannya karena dianggap membuat malu keluarga. Walaupun tidak disetujui, Alex pernah mengatakan inspirasi utamanya dalam menggeluti dunia film adalah sang bapak.
Asal-usul nama panggung “Alex Komang” simpang siur. Sebagian menyebut nama itu adalah pemberian sutradara Teguh Karya. Ada pula yang mengatakan nama itu terinspirasi dari tokoh “Alex” yang ia perankan pada serial televisi Kiki dan Komplotannya. Sementara Akhmad Sahal menjelaskan bahwa nama Alex Komang berasal dari “Alaika Qomar” yang artinya “di atasmu ada rembulan”.
Teater dan NU
Alex yang kelahiran Jepara, 17 September 1961 ini sebetulnya sudah mengenal dunia teater sejak masih sekolah di Pendidikan Guru Agama (setingkat SMA). Saat itu, ia aktif bermain peran pada pementasan drama. Alex semakin gemar menggeluti dunia peran ketika bergaul di Bulungan--markas para seniman--setelah ia kabur ke Jakarta.
Ketertarikannya pada seni dan sastra juga ditunjukkan melalui bacaannya sejak masih sekolah. Ia sering membaca buku karya Shakespeare, Hamlet, hingga Chekov, yang ia pinjam dari toko buku milik ayahnya.
Menurut Alex, teater seharusnya dikenalkan sejak anak-anak masih bersekolah. Ia memberi contoh Korea Selatan yang mengajarkan teater kepada anak sejak kecil.
“Teater itu tidak semata-mata soal panggung. Teater perlu dijelaskan kepada masyarakat. Kalau perlu dari SMP. Ya nantinya tidak harus jadi aktor atau apa, tapi setidaknya kita membangun tradisi itu,” katanya.
Ia juga pernah berargumen bahwa tayangan televisi seharusnya menerapkan proses produksi yang serupa dengan teater. Ia menilai tayangan televisi cenderung menyesatkan penonton sehingga kualitas tayangan dianggap tidak baik.
Alex Komang dikenal baik oleh kalangan Nahdlatul Ulama. Terkait kepergiannya, Ketua Pengurus Pusat Lesbumi NU, Zastrow Al-Ngatawi mengungkapkan bahwa Alex memiliki dedikasi penuh pada kebudayaan.
“Dari pesantren ke pesantren Mas Alex menebarkan semangat NU. Semangat berbudaya ini ditularkannya lewat anak-anak muda NU,” kata Zastrow, dikutip dari NU Online.
Beberapa film dibintangi Alex Komang sebelum kepergiannya, antara lain Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Gunung Emas Almayer (2014), Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014), 9 Summers 10 Autumns (2013), Surat Kecil untuk Tuhan (2011), Hati Merdeka (2011), True Love (2011), Anak Setan (2009), Romeo Juliet (2009), Laskar Pelangi (2008), dan Sumpah Pocong di Sekolah (2008). Alex kembali dinonimasikan Piala Citra untuk kategori Aktor Terbaik melalui perannya sebagai ayah pada film Surat Kecil untuk Tuhan (2011).
Sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi atas karyanya pada seni peran, Indonesian Movie Awards (IMA) 2015 memberikan Special Awards untuk Alex Komang tiga bulan selepas kepergiannya.
“Sampai akhir hayatnya, Alex masih memiliki banyak mimpi tentang film. Dia ingin membuat perubahan di industri film. Mudah-mudahan dengan ini menjadi titipan mimpi untuk para pejuang film,” kata Tengku Noor Ashikin Sultan Abu Bakar (istri Alex) saat menerima penghargaan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi