tirto.id - Lebih dari empat abad sejak kematiannya, William Shakespeare masih menjadi salah satu penulis drama berbahasa Inggris terbesar. Ia seakan-akan tak hanya dimiliki negeri Ratu Elizabeth, tempat di mana ia lahir, tapi juga seluruh dunia. Karya-karyanya banyak menginspirasi seniman di mana pun.
Tidak seperti karya-karyanya yang dikenal dunia, kehidupan Shakespeare diselimuti misteri. Tidak ada catatan resmi, misalnya, tentang tanggal kelahirannya. Sejarawan Michael Wood dalam In Search for Shakespeare (2015) hanya menyebutkan ia lahir di bulan April 1564. Yang ada hanyalah catatan mengenai kapan ia diberi nama baptis untuk menunjukkan bahwa ia memeluk agama Kristen.
Seperti dilansir Independent, catatan menunjukkan bahwa pemberian nama tersebut terjadi pada 26 April. Jika merujuk pada budaya tradisional saat itu, seorang anak biasanya diberi nama baptis hanya beberapa hari setelah ia dilahirkan. Kemungkinan terbesar: ia dilahirkan pada tanggal 23 bulan tersebut.
Shakespeare lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, sebuah kota pedesaan kecil yang jaraknya sekitar 160 kilometer dari London. Masih oleh Wood, kala itu, butuh sekitar tiga hari tiga malam untuk sampai ke sana dari London. Perjalanannya berbahaya, terutama karena ancaman perampok di bagian-bagian jalan yang sepi.
Shakespeare lahir dari keluarga yang cukup berada, meski tidak kaya. Ayahnya, John Shakespeare, pernah menjabat wali kota Stratford. Kendati demikian, keluarganya, seperti banyak orang di Inggris kala itu, dipercaya buta huruf. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan kepiawaiannya berbahasa Inggris yang tertuang dalam drama-dramanya.
Misteri Shakespeare tidak berhenti di situ. Ada periode-periode di mana ia hilang dari catatan sejarah. Masih dari Independent, periode itu terjadi pada 1578 hingga 1582 dan 1585 hingga 1592. Periode ini disebut dengan periode tahun-tahun yang hilang (lost years).
Wood, sementara itu, menuliskan bahwa 1582 merupakan tahun ketika Shakespeare menikah dengan Anne Hathaway. Tahun 1592, lanjutnya, adalah tahun tatkala namanya tercatat muncul di teater London. Baru setelah tahun 1592, kronologi hidupnya mulai tampak lagi secara solid.
Satu-satunya bukti bahwa ia masih hidup pada periode tahun-tahun tersebut adalah peristiwa pembaptisan anak-anaknya dan sebuah kasus pengadilan yang tercatat pada September 1587. Dalam kasus tersebut, ia dan kedua orang tuanya berusaha mendapatkan kembali warisan mereka yang hilang di Wilmcote.
Tidak ada catatan yang ditemukan hingga saat ini yang dapat menunjukkan waktu persis kapan ia meninggalkan Stratford, bergabung dengan teater di London, atau bagaimana ia pindah ke London. “Tahun-tahun tersebut adalah masa-masa kunci perkembangannya, tapi kita tidak tahu di mana dia pada saat itu,” tulis Wood.
Masih dari Independent, Shakespeare tidak memiliki keturunan langsung yang masih hidup hingga saat ini. Putri tertuanya, Susanna, memiliki seorang anak bernama Elizabeth pada 1608 yang kemudian akan menikah dua kali namun tidak memiliki keturunan. Putri Shakespeare yang lain, Judith, memiliki tiga orang anak laki-laki. Sayangnya, semuanya meninggal dunia sebelum menikah dan memiliki anak.
Ejaan nama Shakespeare pun seolah-olah tidak ada yang pasti. Seperti dilansir History, berbagai sumber mengeja namanya dengan lebih dari 80 cara yang berbeda, mulai dari “Shappere” hingga “Shaxberd”. Dalam sejumlah dokumen yang memuat tanda tangannya, sang penulis bahkan tidak pernah mengeja namanya sebagai “William Shakespeare.” Ia malah menuliskan dirinya dengan “Willm Shakp,” “Willm Shakspere,” dan “William Shakspeare.”
Kata Shakespeare sendiri dipercaya berasal dari kata-kata bahasa Inggris kuno “schakken” dan “speer” yang berarti “mengacau dengan sesuatu atau senjata” dan “tombak.” Kata-kata tersebut mungkin mengacu pada orang yang senang berkonfrontasi atau berargumentasi.
Kemesuman dalam Karya Shakespeare
Wood menuliskan bahwa drama-drama Shakespeare salah satunya dipengaruhi oleh hutan Arden yang letaknya tidak jauh dari Stratford. Oleh para penulis puisi Warwickshire, hutan Arden biasa disebut dengan jantung dari Inggris. Pengaruh-pengaruh itu, lanjut Wood, tampak dari sejumlah pilihan kata yang ia gunakan dalam naskah-naskah dramanya.
Gambaran mengenai bunga-bunga, pepohonan, dan berbagai macam hewan, misalnya, tampak begitu jelas dalam berbagai naskah drama Shakespeare. Kosakata udik juga kerap terselip dalam sejumlah dramanya. Salah satunya dapat ditemukan dalam naskah dramanya yang berjudul “Anthony and Cleopatra.”
Ia, misalnya, menggunakan kata “breeze” di dalam naskah tersebut—bukan untuk menggambarkan angin sepoi-sepoi, namun sejenis lalat yang mengganggu sapi. Kosakata ini jelas tidak dapat ditemukan pada bahasa-bahasa baku di dalam kamus. Kosakata yang berlawanan dengan bahasa tingkat tinggi inilah yang membedakan Shakespeare dengan sejawatnya, yang kebanyakan mengenyam pendidikan universitas.
Shakespeare, di sisi lain, juga mengungkapkan pandangannya mengenai erotisme dalam seks melalui naskah-naskahnya, disadari atau tidak. Eric Partridge dalam Shakespeare’s Bawdy (2005) menuliskan bahwa melalui analisis terhadap sejumlah naskahnya, Shakespeare tidak memandang pantat laki-laki sebagai sebuah fitur seksual.
Namun, tidak halnya dengan pantat wanita. Ini tampak, misalnya, dalam dialog Menenius Agrippa di mana Shakespeare menggunakan kata “buttocks” sebagai referensi erotisnya terhadap wanita yang dikunjungi Menenius sebagai kekasihnya.
Shakespeare juga menggunakan istilah "female lap" (paha wanita) sebagai kata yang memiliki konotasi seksual. Pun demikian dengan betis wanita. Partridge menuliskan, pandangan Shakespeare terhadap kaki wanita ini sebagai obyek seksual, salah satunya, tampak dalam naskah “Romeo and Juliet” di mana ia memuja keindahan kaki wanita: “By her fine foot, straight leg, and quivering thigh, And the demesnes that there adjacent lie” (Hlm. 24).
Sejumlah kata yang ia gunakan untuk mendeskripsikan bagian tubuh wanita yang erotis sifatnya eufimisme seperti “plum”, “secret parts” , dan “naked seing self.” Beberapa bersifat literal atau puitis seperti “Venus’s glove”, “flower”, dan “rose”. Beberapa bahkan bersifat geografis, seperti “low countries”, “Netherlands”, dan “Spain”.
Terkait laki-laki, lanjut Partridge, Shakespeare tidak segan-segan berbicara mengenai ereksi penis. Ia menggunakan kata-kata ereksi dan sumber ereksi serta "berdiri" dalam naskah-naskah dramanya. Ia merujuk sperma dengan kata-kata seperti “bullets” dan “germen.” Sementara itu untuk ejakulasi ia menggunakan kosakata seperti “get the upshoot”, “shoot” ataupun “bereave.” Untuk buah zakar, ia menggunakan kata seperti “bag,” dan “purse.”
Tidak salah kemudian jika Partridge berpendapat bahwa Shakespeare, dengan segala kemisteriusan yang menyertainya, tidak hanya memiliki bakat artistik namun juga pecinta yang ulung.
“Dari istilah-istilah yang tercantum dalam paragraf sebelumnya, kita—tidak dapat dihindari, saya pikir—membentuk sebuah pendapat bahwa Shakespeare adalah seorang amoris yang sangat berpengetahuan luas, seorang penikmat yang serba bisa, dan seorang praktisi bercinta yang sangat artistik, terampil, dan mahir,” sebutnya (hlm. 31).
Mengutip National Geographic, Shakespeare dipercaya meninggal pada 23 April 1616, tepat hari ini 403 tahun lalu, pada usia 52. Dalam masa-masa tuanya, ia menghabiskan waktu kembali ke Stratford dengan tenang.
Editor: Ivan Aulia Ahsan