Menuju konten utama

Sejarah Hari Refleksi Internasional tentang Genosida 1994 di Rwanda

Sejarah Hari Refleksi Internasional tentang Genosida 1994 di Rwanda yang diperingati 7 April.

Sejarah Hari Refleksi Internasional tentang Genosida 1994 di Rwanda
Seorang pengunjung mengamati pajangan foto-foto keluarga dari beberapa orang yang meninggal saat memperingati 20 tahun genosida ketika etnis Hutu ekstrimis membunuh tetangga, teman dan keluarga, di Pusat Peringatan Genosida Kigali di Kigali, Rwanda, Sabtu, 5 April 2014. AP / Ben Curtis

tirto.id - Hari Refleksi Internasional tentang Genosida di Rwanda diperingati untuk memberikan pendidikan tentang berbagai hal mengenai pemusnahan suku bangsa termasuk pemicu hingga solusi mengatasinya.

Hari Refleksi Internasional tentang Genosida di Rwanda diperingati setiap 7 April. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkannya melalui resolusi A/RES/58/234.

Setiap tahun pada tanggal tersebut, semua negara anggota anggota termasuk sistem organisasi PBB mengenang kembali kekejaman yang dialami oleh korban genosida yang dialami suku Tutsi.

Sejarah Genosida Rwanda 1994

Dalam testimoni yang disampaikan para penyintas genosida Rwanda dalam program Rwanda Genocide and The United Nations, kekejaman itu berawal pada 7 April 1994.

Pada tanggal itu, sering terjadi konflik antaretnis yang tidak mengindahkan lagi sisi kemanusiaan. Etnis Hutu sebagai suku mayoritas melakukan pembantaian pada suku Tutsi yang terbilang minoritas.

Selama 100 hari pertikaian telah terjadi pembantaian terhadap suku Tutsi hingga 800.000 jiwa.

Bukan hanya rakyat dari suku Tutsi saja yang dibantai. Para tokoh-tokoh politik dari suku apa pun yang dianggap musuh, turut menjadi sasaran pemusnahan.

Dengan jumlah komunitas yang cukup besar, suku Hutu bisa menguasai semuanya dengan mudah termasuk untuk melakukan genosida.

Di Rwanda, komunitas suku Hutu berjumlah sekira 85 persen dari seluruh penduduk Rwanda. Sisanya diduduki oleh penduduk dari suku Tutsi dan suku-suku lain dengan perbandingan yang sangat kecil.

Kendati demikian, keminoritasan suku Tutsi tidak lantas menjadikannya tersisih karena banyak menduduki pula berbagai sektor kepemimpinan dan pemerintahan.

Faktor kecemburuan dimungkinkan menjadi salah satu pemicu konflik antaretnis, terutama etnis Hutu dan Tutsi. Kedua suku ini pernah pula berseteru pada peristiwa Revolusi Rwanda 1959.

Saat itu, Rwanda menerapkan sistem pemerintahan monarki dengan pimpinan dari etnis Tutsi dan berstatus jajahan Belgia.

Akibat adanya revolusi tersebut, Belgia banyak menempatkan orang-orang etnis Hutu dalam pemerintahan demi meredam konflik.

Pemilu pun dilakukan pada tahun 1960 dengan kemenangan dari pihak Hutu yang kemudian menguasai hampir seluruh jajaran birokrasi.

Sekitar 336.000 orang etnis Tutsi terpaksa mengungsi menuju negara tetangga dengan kemenangan etnis Hutu.

Puncaknya adalah peristiwa genosida pada 7 April 1994. Suku Hutu terlalu kelewatan dengan melakukan genosida pada suku Tutsi.

Peringatan Hari Refleksi Internasional tentang Genosida di Rwanda menjadi cerminan bahwa genosida tidak boleh lagi terjadi di mana pun.

Mengutip laman UNESCO, organisasi ini memiliki komitmen untuk terus mengkampanyekan pendidikan mengenai genosida kepada siapa pun di dunia.

Melalui pemahaman tentang genosida, maka dapat menyadarkan berbagai pihak mengenai penyebab, dinamika, dan konsekuensi kejahatan tersebut serta memperkuat ketahanan terhadap segala bentuk diskriminasi.

Baca juga artikel terkait GENOSIDA RWANDA atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dipna Videlia Putsanra