tirto.id - Diilhami dari sumbangsih para pahlawan perempuan yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pada 1959, Asisten III/Personalia KSAD, dr. Soemarno Sosroatmodjo mengusulkan agar TNI memiliki unit kesatuan khusus perempuan. Usulan Soemarno merupakan cikal bakal lahirnya Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad).
Awalnya, upaya mengajukan ide tentara perempuan tidak disambut baik oleh banyak pihak karena dianggap belum terlalu dibutuhkan. Namun, ternyata pendapat Soemarno dipandang antusias oleh dua petinggi KSAD, Ahmad Yani (menjabat Asisten II/Operasi) dan Gatot Subroto (Wakil KSAD). Terlebih lagi, saat itu, Presiden Soekarno mendukung peran aktif perempuan menjadi bagian dari aksi revolusi.
Kendati menuai pro kontra, gagasan Soemarno tergolong kuat, sebab berlandaskan UUD 1945 pasal 30 "bahwa setiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara."
Menindaklanjuti usul tersebut, pada 23 Maret 1960, dibentuklah tim penasihat pembentukan satuan wanita di Angkatan Darat. Pembentukan tim ini tentunya tak lepas dari perjuangan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) melakukan negosiasi memformalkan masuknya tentara perempuan ke dalam angkatan bersenjata.
Berdasarkan hasil musyawarah tim tersebut, pada 21 Desember 1960, terbitlah Surat Keputusan Men/Pangad Nomor Kpts-1056/12/1960 yang mengesahkan pendirian Korps Wanita Angkatan Darat atau biasa disingkat Kowad. Hari lahirnya kemudian ditetapkan pada 22 Desember 1960, 59 tahun lalu.
Menurut pts-1047/8/1962 tanggal 8 Agustus 1962, hari lahir itu ditetapkan setahun berikutnya pada 22 Desember 1961, bertepatan dengan perayaan Hari Ibu.
Pada kongres Kowani ke-12, sebagaimana yang ditulis Winna Wijayanti lewat Kongres Wanita Indonesia ke-XII dan Pengaruhnya terhadap Gerakan Wanita di Indonesia Tahun 1961-1964 (2017: 570) menyatakan alasan lahirnya Kowad bahwa “kaum wanita Indonesia sesuai dengan kodratnya, harus melaksanakan perjuangan bersama-sama kaum laki-laki dalam menyelesaikan Revolusi Nasional.”
Namun, berdasarkan negosiasi Kowani, tentara perempuan hanya dipekerjakan pada posisi yang "memperhatikan sifat-sifat kewanitaan mereka". Sebab, anggota Kowani yang mewakili perempuan pada kongres tersebut, yang dipimpin oleh Maria Ulfah, Memet Tanumijaya, Burdah Yusupadi, Mahmudah Mawardi, dan Hurustiati Subandrio menyatakan bahwa "perempuan cocok untuk peran-peran yang membutuhkan ketelitian, kesabaran dan insting keibuan. Bertempur tidak sesuai dengan kodrat perempuan untuk melahirkan, memelihara dan merawat."
Alhasil, pada masa itu Kowad bertugas merawat tentara yang sakit, membuat dapur umum untuk medan tempur, menjahit seragam, serta mendistribusikan senjata dan informasi. Mereka juga ditugaskan secara profesional di bidang non-tempur, seperti mengurus administrasi, mendukung perwira tinggi dalam pertemuan dan protokol, mengajar bahasa asing, serta menjaga kesejahteraan dan kondisi sosial institusi militer.
Akan tetapi, seperti yang ditulis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 315), Danjen Kopassus saat itu, Prabowo Subianto sedang mengejar target pemekaran militer.
Sejak 1995-1996, pada masa pemekaran itu, Kowad pun diangkat menjadi anggota baret merah yang juga bertugas memanggul senjata. Padahal, menurut Hendro, tak ada pasukan elit terkenal dunia lainnya yang merekrut anggota perempuan di dalamnya.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Alexander Haryanto