tirto.id - Hari Bea dan Cukai diperingati pada 1 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini didedikasikan untuk mengenang sejarah lembaga bea dan cukai sebagai salah satu instansi penting bagi Indonesia.
Kendati pandemi Covid-19 menyebabkan resesi ekonomi di Indonesia, lembaga bea dan cukai (selanjutnya disebut bea cukai) tetap menunjukkan kinerja baik.
Sepanjang 2020, lembaga bea cukai menyumbang pendapatan negara sebanyak Rp212,85 triliun, lebih tinggi dari target Perpres Nomor 72 Tahun 2020, yaitu sebesar Rp205,68 triliun.
Peringatan Hari Bea dan Cukai ini berdasarkan hari berdiri pertama kali lembaga bea cukai di Indonesia, yaitu pada 1 Oktober 1946. Artinya, saat ini peringatan Hari Bea dan Cukai memperingati ulang tahun yang ke-75.
Pengertian Bea dan Cukai
Secara definitif, bea dan cukai sebenarnya memiliki arti berbeda. Bea adalah pajak yang dikenakan kepada barang-barang ekspor atau impor.
Sementara itu, cukai adalah pungutan pemerintah kepada barang-barang tertentu yang ditetapkan undang-undang.
Dari pengertian di atas, bea dan cukai berarti pungutan pajak pemerintah atas barang-barang ekspor dan impor, serta barang lain yang memiliki karakteristik khusus yang diatur undang-undang.
Lembaga kepabeanan adalah instansi yang mengatur bea cukai. Ia bertugas mengawasi lalu lintas barang yang masuk atau keluar dari batas suatu negara atau daerah kepabeanan.
Setiap barang yang diimpor atau diekspor akan dikenakan bea atau cukai (pajak) yang dipungut pemerintah melalui lembaga tersebut.
Sejarah Bea dan Cukai di Indonesia
Lembaga bea dan cukai merupakan institusi yang selalu ada dalam suatu negara. Eksistensinya telah hadir puluhan abad silam.
Di Nusantara, fungsi bea cukai dijalankan di masa kerajaan-kerajaan dahulu berdasarkan cerita lisan turun-temurun.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (2008) yang ditulis Nugroho Notosusanto, dkk. disebutkan bahwa pada zaman kejayaan selat Malaka, petugas bea cukai dipegang oleh para syahbandar yang berperan aktif dalam perdagangan internasional di masa itu.
Tugas utama seorang syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan di suatu pelabuhan, termasuk urusan ekspor dan impor.
Syahbandar mengawasi timbangan, ukuran dagangan, mata uang yang dipertukarkan, serta menetapkan pajak atas barang-barang tersebut.
Para syahbandar dikepalai oleh seorang pejabat Tumenggung. Kedudukan Tumenggung ini sangat penting dalam mengelola bea masuk dan bea keluar dari barang yang diperdagangkan di suatu kerajaan.
Catatan sejarah mengenai bea cukai secara resmi dilembagakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Timur.
Organisasi VOC menggunakan nama De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U & A), yang merupakan lembaga resmi bea cukai Hindia Belanda.
Tugas I. U & A ini sama dengan lembaga kepabeanan pada umumnya, yakni memungut bea impor, bea ekspor dan cukai.
Pungutan cukai pertama yang dilakukan I. U & A adalah minyak tanah, kemudian alkohol sulingan, bir, tembakau, dan gula.
Fungsi bea cukai yang dijalankan I. U & A terus berlangsung hingga Belanda hengkang dari Nusantara.
Kemudian, di era kolonialisme Jepang, tugas lembaga bea cukai hanya mengurus pungutan cukai. UU No. 13 tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatera pada 29 April 1942 menyebutkan bahwa bea impor dan bea ekspor ditiadakan di era Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, lembaga bea cukai didirikan pertama kali atas restu Menteri Muda Keuangan Republik Indonesia, Sjafrudin Prawiranegara. Nama awal lembaga ini adalah Pejabatan Bea dan Cukai yang diketuai oleh R.A Kartadjoemena.
Pada 1948, lembaga ini mengganti namanya menjadi Jawatan Bea dan Cukai hingga 1965. Selepas 1965, Jawatan Bea dan Cukai kembali mengubah namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang terus digunakan hingga sekarang.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno