Menuju konten utama

Sejarah Hari Bank di Indonesia & Alasan Diperingati Setiap 5 Juli

Sejarah hari bank di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 5 Juli tidak merujuk pada momentum berdirinya Bank Indonesia (BI), melainkan Yayasan Pusat Bank Indonesia yang kemudian menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) tanggal 5 Juli 1946.

Sejarah Hari Bank di Indonesia & Alasan Diperingati Setiap 5 Juli
ilustrasi Bank [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari bank di Indonesia. Peringatan ini merujuk kepada lahirnya Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank pertama yang didirikan pemerintah RI setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 5 Juli 1946.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) baru disahkan menjadi bank sentral oleh pemerintah RI melalui undang-undang pada 1 Juli 1953 seiring dengan nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) setelah penyerahan kedaulatan RI dari Belanda.

De Javasche Bank sebelumnya adalah bank sentral yang dikuasai oleh Belanda, termasuk selama masa perang mempertahankan kemerdekaan atau masa revolusi fisik (1945-1949), sebelum terjadinya penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Beberapa tahun setelah penyerahan kedaulatan, pemerintah RI mengambil-alih De Javasche Bank dan menjadikannya sebagai bank sentral dengan nama Bank Indonesia (BI) sampai saat ini.

Adapun BNI dialihfungsikan perannya menjadi bank pembangunan, ditetapkan sebagai bank umum sejak 1955, dan kini berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Riwayat De Javasche Bank

De Javasche Bank adalah bank sentral pertama di Hindia Belanda (nama sebelum Indonesia merdeka) yang dibentuk pada dekade kedua abad 19 semasa pendudukan Belanda. Dikutip dari arsip Museum Bank Indonesia, kondisi perekonomian Hindia Belanda kala itu tidak teratur karena belum adanya regulasi pembayaran yang tertib melalui lembaga bank.

Selain itu, banyak kalangan pengusaha di Batavia yang mendesak kepada pemerintah kolonial agar segera didirikan lembaga bank sirkulasi yang bersifat sentral untuk memenuhi serta memudahkan kepentingan bisnis mereka.

Berbagai alasan dan desakan tersebut disampaikan kepada Kerajaan Belanda. Akhirnya, pada 9 Desember 1826, Raja Belanda, Willem I (1815-1840), menerbitkan surat kuasa kepada pemerintah kolonial di Batavia untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu atau yang lazim disebut oktroi.

Dengan surat kuasa dari Kerajaan Belanda itu, Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (1826 -1830) selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai pembentukan bank sentral yang nantinya dinamakan De Javasche Bank (DJB).

M. Dawam Rahardjo melalui buku Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (1995) menuliskan, De Javasche Bank berdiri pada 24 Januari 1828 dengan status oktroi yang bisa diperpanjang. DJB menjadi N.V. (Naamlooze Vennootschap) atau perusahaan baru sejak 22 Maret 1881 setelah dilegalisasi oleh Notaris Derk Bodde di Batavia.

Kendati sudah menjadi N.V., DJB masih menjalankan oktroi hingga 31 Maret 1922, sebelum akhirnya memperoleh badan hukum (DJB Wet). Sejak saat itu, DJB berubah status menjadi bankwet atau bank yang sudah berbadan hukum.

Keputusan meningkatkan status DJB menjadi N.V. diambil karena bank sentral ini dianggap berhasil merumuskan dan menerapkan berbagai kebijakan baru yang berdampak positif bagi kemajuan perbankan di Hindia Belanda kala itu.

DJB selanjutnya berkembang pesat. Sebanyak 16 cabang baru dibuka, antara lain di Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, hingga Manado. Bahkan, DJB memiliki kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.

Seiring kemenangan Jepang atas Belanda dalam Perang Dunia Kedua pada 1942, riwayat panjang DJB pun berakhir. Dai Nippon mengambil alih wilayah Indonesia. Namun, sebelum itu terjadi, dikutip dari Sejarah Kebijaksanaan Moneter Indonesia (1991) karya Beng To Oey, cadangan emas dan aset berharga DJB telah dipindahkan ke Australia dan Afrika Selatan.

Di Indonesia, pasukan Jepang melucuti seluruh aset yang sebelumnya dimiliki Belanda, termasuk di sektor perbankan. Pimpinan militer Dai Nippon di Jawa mengeluarkan peraturan untuk melikuidasi seluruh bank milik Belanda, Inggris, juga beberapa bank kepunyaan pengusaha Tionghoa, dan kemudian diambil-alih.

Dai Nippon juga mendirikan bank sentral bernama Nanpo Kaihatsu Ginko yang salah satu tugasnya mengedarkan mata uang yang dicetak di Jepang. Menurut Jan M. Pluiver dalam South-East Asia from Colonialism to Independence (1974), Nanpo Kaihatsu Ginko juga menjadi bank sirkulasi untuk wilayah koloni Jepang di kawasan Asia Tenggara.

Antara BI dan BNI

Pada 1945, Jepang kalah dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Bangsa Indonesia pun menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, tak lama berselang, pasukan Belanda datang dengan membonceng tentara Sekutu. Belanda rupanya ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Selama era perang mempertahankan kemerdekaan, Belanda merebut bank-bank yang dibuka di masa Jepang, termasuk Nanpo Kaihatsu Ginko yang dikembalikan menjadi De Javasche Bank. Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, DJB berhasil membuka kembali kantor-kantor cabangnya di berbagai daerah.

Di sisi lain, pemerintah RI mengeluarkan undang-undang darurat mengenai pendirian Bank Nasional Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946. Menurut Marwah M. Diah dalam buku Restrukturisasi BUMN di Indonesia: Privatisasi atau Korporatisasi? (2003), berdirinya BNI didahului dengan pembentukan suatu yayasan pada 1945 atau tidak lama setelah kemerdekaan.

Yayasan yang dimaksud adalah Yayasan Pusat Bank Indonesia. Pendirian BNI pada 5 Juli 1946 dilanjutkan dengan peleburan yayasan tersebut. Momentum inilah yang menjadi patokan sebagai Hari Bank Indonesia dan selanjutnya diperingati setiap tanggal 5 Juli.

Namun, maksud pemerintah RI yang ingin menjadikan BNI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral terhambat karena situasi darurat perang yang terjadi kala itu, ditambah masih sulitnya memperoleh pengakuan dari negara-negara lain.

Agresi Militer Belanda II pada 18 Desember 1948 memicu Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang waktu itu menjadi ibu kota RI. Serangan massal ini membuka mata dunia bahwa Indonesia masih eksis meskipun beberapa pemimpin pemerintahan RI ditawan oleh Belanda.

Desakan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional membuat Belanda terpaksa bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Rangkaian panjang KMB akhirnya disepakati pada 2 November 1949.

Selain menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, KMB juga menetapkan bahwa De Javasche Bank akan menjadi bank sentral bagi negara Indonesia. Adapun BNI, tulis Rachmadi Usman dalam Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (2001), dialihkan fungsinya sebagai bank pembangunan.

Pada 10 April 1953, parlemen menyetujui usulan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI). Presiden Sukarno kemudian menerbitkan surat keputusan mengenai peresmian BI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral Indonesia pada 10 April 1953 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1953.

BI memiliki tugas serta wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan negara. BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang berhak mencetak dan mengedarkan mata uang.

Sementara itu, BNI yang dibentuk dengan maksud awal sebagai bank sentral, tapi gagal dan dialihkan perannya menjadi bank pembangunan, ditetapkan sebagai bank umum sejak 1955. Kini, bank tertua di Indonesia itu berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Catatan: Artikel ini telah dikoreksi dan disunting kembali dengan mencantumkan penjelasan tambahan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terkait sejarah bank di Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH HARI BANK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Rani Rahayu & Iswara N Raditya

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Rani Rahayu
Penulis: Rani Rahayu & Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz