tirto.id - Gempa bumi yang mengguncang Maluku, termasuk Ambon, pada Kamis (26/9/2019) lalu membuat 23 orang meninggal dunia dan 15 ribu lainnya terpaksa mengungsi. Demikian keterangan yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, gempa bumi itu berkekuatan Magnitudo 6,8 dan berpusat pada kedalaman 10 kilometer. Titik lokasi pusat gempa berada sekitar 40 kilometer arah timur laut Ambon, atau di daratan pulau tersebut.
Guncangan akibat gempa yang berlangsung pada pukul 08.46 WIT ini dirasakan di berbagai wilayah di Maluku, termasuk Ambon, Kairatu atau Seram Bagian Barat, hingga Banda.
Untungnya BMKG memastikan gempa ini tidak memicu gelombang tsunami.
Terjadi gempa susulan setelahnya dengan kekuatan lebih kecil. Laporan BMKG menyebut gempa berkekuatan magnitudo 5,6 itu terjadi pada pukul 09.39 WIT.
Gempa & Tsunami Ambon 1674
Sejarah mencatat, pada 17 Februari 1674 silam, gempa berkekuatan besar juga melanda kepulauan di kawasan timur Indonesia itu. Saat itu korban mencapai ribuan jiwa.
George Everhard Rumphius adalah salah satu orang yang mengalami sendiri kejadian itu. Dia mencatat apa yang terjadi. Begini katanya, seperti dikutip dari dokumen terbitan UNESCO bertajuk Air Turun Naik di Tiga Negeri: Mengingat Tsunami Ambon 1950 (2016) yang disusun oleh Hamzah Latief dan kawan-kawan:
“Lonceng-lonceng di Kastil Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas benteng, mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman.”
“Akan tetapi, sayang sekali tidak seorang pun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng. Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai.”
“Semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, dimana mereka bertemu dengan gubernur. Ia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut.”
Rumphius, ahli botani asal Jerman yang saat itu bekerja untuk VOC, memang lolos dari maut. Tetapi tidak dengan istri dan anak perempuannya. Tercatat ada 2.322 orang di Ambon dan Pulau Seram, termasuk 31 orang Eropa, meninggal dalam peristiwa itu.
Rumphius menyebut Hila di dekat Hitu adalah daerah yang paling menderita.
Rumphius menuliskan sedikitnya ada 13 desa yang terkena dampak bencana gempa bumi dan tsunami tersebut. Desa-desa itu terbentang di sepanjang pesisir utara Leihitu di Maluku Tengah, mulai dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung timur.
Rumphius juga mencatat tempat-tempat di Pulau Seram yang terkena dampak gempa bumi dan tsunami dahsyat itu, yakni di daerah Huamual seperti Tanjung Sial dan Luhu.
Ada pula catatan lain dari wilayah Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut.
Mega-tsunami yang menyapu Kepulauan Maluku dan sekitarnya kala itu disebut-sebut sebagai gelombang terbesar dan belum pernah ada tandingannya sepanjang sejarah Nusantara.
Sebagai perbandingan, gelombang tsunami yang melanda Aceh dan menewaskan sekitar 280 ribu jiwa pada 2004 lalu 'hanya' setinggi 24 meter. Sedangkan tsunami di Maluku pada 1674 disebut-sebut memiliki tinggi gelombang mencapai 80 meter.
Indonesia, termasuk Kepulauan Maluku, memang termasuk wilayah rawan gempa bumi dan tsunami karena merupakan pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia.
Setelah bencana 1674 itu, Kepulauan Maluku memang digoyang gempa dan diterjang tsunami lagi, termasuk pada 1820, 1889, 1871, 1938, dan 1950.
Catatan dari Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean (1974) yang disusun oleh S.L. Soloviev dan Ch. N. Go menyebutkan, antara tahun 1600 hingga 2015, terdapat lebih dari 85 peristiwa gempa dan tsunami di Maluku.
Editor: Abdul Aziz