tirto.id - Gelar haji dan hajah menjadi salah satu tradisi unik di Indonesia. Gelar ini disematkan untuk orang Islam yang sudah menjalankan rukun Islam kelima yaitu haji.
Haji artinya ibadah yang menjadi bagian dari rukun Islam kelima dan mesti dikerjakan setiap muslim yang mampu. Haji dilakukan dengan mengunjungi Ka'bah di Kota Makkah dan melakukan serangkaian amalan haji yang dituntunkan dari rukun ihram, tawaf, sai, hingga wukuf.
Di Indonesia, pemberian gelar haji dan hajah ternyata mengandung nilai kultural dan sejarah panjang. Bagaimana sejarah gelar haji di Indonesia? Simak asal usul gelar haji dan hajah berikut ini yang sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda.
Apa Arti Kata Haji dan Hajah?
Arti kata haji dan hajah secara bahasa berasal dari kata Arab "Al-Hajj" yang bermakna menyengaja. Arti kata haji dalam bahasa Arab tersebut secara istilah adalah menyengaja berkunjung ke Ka'bah di Makkah demi menjalankan serangkaian amal ibadah yang rukun dan persyaratannya ditentukan dalam hukum syariat Islam.
Di sebagian wilayah, termasuk Indonesia, muslim yang telah menjalankan ibadah haji ada yang menggelarinya dengan kata haji dan hajah yang disematkan di depan nama mereka. Gelar haji diperuntukkan bagi muslim laki-laki dan hajah bagi perempuan.
Penyematan gelar tersebut memiliki makna tertentu yang bisa dilihat dari dua cara pandang, yaitu keagamaan dan kultural. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Dari sisi keagamaan, pencantuman gelar haji dipandang sebagai tanda telah sempurnanya seseorang melaksanakan rukun Islam
Ibadah haji dilakukan melalui perjalanan jauh dengan persyaratan hingga biaya yang tidak mudah dan murah. Oleh sebab itu, gelar haji menjadi penting untuk diberikan kepada orang menunaikannya.b. Dari sisi kultural, haji mendatangkan banyak cerita populer tentang tantangan selama pengerjaannya
Cerita tersebut berkembang dalam masyarakat yang memiliki rasa ingin tahu tinggi mengenai pengalaman menunaikan ibadah haji. Selain itu, ibadah haji biasanya lebih mudah dijangkau kalangan atas. Hal ini menjadikan penyematan gelar haji dan hajah seakan memiliki nilai atau status sosial lebih tinggi.Sejarah Gelar Haji di Indonesia
Penyematan gelar haji di Indonesia memiliki sejarah panjang. Hal itu telah dilakukan, bahkan sebelum para bapak bangsa memproklamasikan kemerdekaan.
Pada akhir abad ke-19, orang-orang yang baru pulang dari ibadah haji tidak mempunyai gelar apa pun. Namun, hal ini berubah seiring meningkatnya jumlah jemaah haji dan kekhawatiran Belanda terkait pemberontakan yang dilakukan oleh para kiai dan tokoh Islam.
Hal itu bermula sejak Kiai Haji (K.H.) Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi islam bernama Muhammadiyah pada 1912. Pendirian organisasi Islam tersebut dikhawatirkan bakal menyebarkan pengaruh pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Pemerintah Hindia Belanda terpantik untuk mengawasi tokoh-tokoh Islam di Nusantara. Kemudian, tanpa disadari, pemerintah kolonial menyematkan gelar haji dan hajah bagi orang yang baru pulang dari ibadah di tanah suci melalui kebijakan yang dibuatnya.
Kenapa Belanda memberi gelar haji? Menurut Wim van den Doel dalam Snouck: Biografi Ilmuwan Christian Snouck Hurgronje (2023), tujuan awal penyematan gelar haji adalah untuk mengawasi tokoh-tokoh muslim yang dikhawatirkan bakal menginisiasi pemberontakan.
Guna memudahkan pengawasan terhadap mereka yang telah menjalankan ibadah haji, pemerintah kolonial mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji.
Keputusan Ordonansi Haji itu mewajibkan orang-orang yang telah berhaji untuk menyandang gelar. Sejak itu, setiap orang Indonesia yang telah menjalankan rukun Islam kelima diberi gelar haji.
Pemerintah kolonial bahkan pernah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arab pada 1872. Tujuannya adalah mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda serta mengharuskan mereka menggunakan gelar dan atribut pakaian haji sehingga mudah dikenali sekaligus diawasi.
Penulisan Gelar Haji yang Benar
Penulisan gelar haji salah satunya diaplikasikan di undangan. Gelar haji untuk perempuan adalah hajah, sementara bagi laki-laki ialah haji. Lalu, bagaimana penulisannya yang benar?
Penulisan singkatan gelar haji dan hajah ditempatkan di depan nama lengkap. Gelar haji ditulis dengan simbol "H." sedangkan hajah disingkat dengan huruf "Hj."
Berikut contoh penulisan gelar haji di undangan:
- Haji Syamsul Maarif, ditulis: H. Syamsul Maarif
- hajah Farras Aushof, ditulis: Hj. Farras Aushof
Apakah Gelar Haji Hanya Ada di Indonesia?
Budaya memberi gelar haji atau hajah bagi muslim yang pulang dari ibadah haji tidak hanya ada di Indonesia. Berbagai negara juga memiliki budaya serupa sesuai kearifan lokal masing-masing.
Penyebutan gelar haji di luar negeri berbeda-beda mengikuti bahasa lokal setempat. Contohnya dalam Farsi dan Pashto dikenal sebutan: حاجی, Bulgaria: Хаджия, Yunani: Χατζής, Kurdi: Hecî, Albania: Haxhi, Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Romania: hagiu, Turki: Hacı, hingga Hausa: Alhaji.
Budaya tersebut berlangsung turun-temurun. Di beberapa negara, gelar pulang haji pun bisa diwariskan. Di Bosnia, gelar haji dimasukkan dalam nama keluarga misalnya "Hadžiosmanović" yang bermakna anak Haji Usman (Bani Haji Usman).
Penyematan gelar haji juga dilakukan di beberapa negara tetangga. Contohnya yaitu Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan.
Hukum Gelar Haji dalam Islam
Apakah ada gelar haji dalam Islam? Pemberian gelar haji dan hajah terjadi perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Ada pendapatan yang mengharamkan gelar tersebut, dan lainnya memperbolehkan.
Menurut laman Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), pendapat yang tidak memperbolehkan penyematan gelar haji karena tidak dikenal di masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau dan para sahabat tidak ada satu pun yang memakai gelar haji di depan nama mereka sekalipun telah menjalankan ibadah tersebut.
Di sisi lain, ada kekhawatiran timbul sikap riya atau pamer ketika seseorang diberikan gelar haji atau hajah. Hal itu bisa memunculkan kebanggaan pada diri sendiri yang berlebihan. Akibatnya, pahala haji yang besar bisa saja hangus lantaran niat berhaji tidak lagi murni untuk mendapatkan rida Allah.
Fatwa ulama Arab Saudi dalam Lajnah Daimah juga menyatakan agar setiap muslim menjauhi gelar haji ketika pulang dari berhaji. Selesainya seseorang menunaikan kewajiban syariat, tidak perlu ditambahkan dengan penyematan gelar, Cukuplah bagi orang tersebut mendapatkan balasan pahala kebaikan yang setimpal dari Allah dengan tidak merusak niat suci berhaji.
Adapun pendapat yang memperbolehkan penyematan gelar haji dan hajah mengacu pada sudut pandang budaya atau tradisi (urf) dalam masyarakat. Gelar haji memiliki sifat kultural dan tidak memiliki dalil pelarangan yang tegas.
Adapun terkait keikhlasan menjalan ibadah haji, hal itu dikembalikan kepada masing-masing pelakunya. Hal itu menjadi urusan pribadinya dengan Allah. Ulama Imam An-Nawawi dan As Subki memandang, pemberian gelar untuk muslim yang pulang dari haji tidak dinilai sebagai sesuatu yang makruh.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin
Penyelaras: Ilham Choirul Anwar
Masuk tirto.id







































