tirto.id - Waktu baru menunjukkan pukul 10.00 WIB. Tapi Presiden Soeharto sudah memulai pagi itu dengan memimpin sidang kabinet terbatas bidang politik dan keamanan di Bina Graha.
Rapat masih berlanjut setelah istirahat. Soeharto kemudian menggelar rapat maraton dalam sidang kabinet gabungan. Rapat itu dihadiri menteri-menteri dari bidang ekuin (ekonomi, keuangan, dan industri), kesra (kesejahteraan rakyat), dan polkam (politik dan keamanan).
Usai rapat, Menteri Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro, Menteri Keuangan Ali Wardhana, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro, serta Menteri Penerangan Ali Moertopo membeberkan hasil sidang kabinet.
Di hadapan wartawan, para pembantu presiden itu menjelaskan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali mulai berlaku di Indonesia. Cara kerja sistem nilai tukar mengambang terkendali adalah dengan mendasarkan nilai tukar rupiah pada sekeranjang mata uang atau basket of currencies dan melepas ketergantungan atau kaitannya dengan dolar Amerika Serikat (AS).
Sehubungan dengan ini, Bank Indonesia memberlakukan kurs tengah baru terhadap mata uang asing. Kebijakan ini ditetapkan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada 1978. Kebijakan yang diumumkan pemerintah ini dikenal dengan KNOP 15 yang diumumkan pada 15 November 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu.
Sejalan dengan KNOP 15 dan devaluasi mata uang rupiah yang kedua kalinya ini, pemerintah Orde Baru juga mengeluarkan serangkaian kebijakan di bidang ekonomi lainnya. Kebijakan tersebut diambil untuk lebih meningkatkan ketahanan ekonomi RI memasuki Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang ketiga.
Devaluasi Terbesar RI
Devaluasi yang terjadi pada 15 November 1978 merupakan devaluasi kedua di masa pemerintahan Orde Baru. Devaluasi pertama terjadi pada 21 Agustus 1971.
Devaluasi adalah kebijakan yang diambil pemerintah suatu negara untuk secara sepihak menentukan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya. Kamus Bank Indonesia mendeskripsikan devaluasi sebagai penurunan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain dan biasanya dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
Devaluasi 1978 tidak lepas dari kebijakan nilai tukar yang dianut pemerintahan Indonesia. Setidaknya, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar sejak 1970. Penerapan sistem nilai tukar ini berubah-ubah sesuai dengan kebijakan ekonomi nasional yang ditetapkan pemerintah.
Adapun sistem-sistem penerapan kurs Indonesia adalah: sistem kurs tetap (1970-1978), sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997), dan sistem kurs mengambang (14 Agustus 1977-sekarang).
Sistem kurs tetap dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara resmi ditetapkan sebesar Rp250 per dolar AS. Sementara nilai tukar mata uang lain dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan ini, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Sistem nilai tukar tetap mengharuskan sebuah negara untuk memiliki cadangan devisa dengan jumlah besar. Tujuannya agar dapat selalu melakukan intervensi aktif di pasar dalam rangka menjaga pelemahan nilai tukar.
Selain itu juga dimaksudkan untuk menyerap kelebihan serta kekurangan ketersediaan mata uang asing di pasar valas. Sistem nilai tukar tetap ini mendasarkan stabilitas mata uang pada cadangan devisa, baik dolar maupun emas, yang dimiliki negara.
Indonesia menganut sistem ini karena merupakan salah satu anggota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Tapi tingkat overvaluasi semakin memburuk dan alokasi administrasi valuta asing semakin meluas.
Sistem nilai tukar tetap dihapus pada Agustus 1971 dan nilai tukar rupiah ditetapkan menjadi Rp415 per dolar AS. Ini merupakan devaluasi perdana era pemerintahan Soeharto. Devaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki neraca pembayaran melalui perbaikan ekspor.
Devaluasi memang dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaiki neraca perdagangan sebab penurunan nilai tukar mata uang dapat mengakibatkan penurunan harga ekspor dan dapat mendorong peningkatan daya saing barang-barang ekspor. Pada akhirnya, ia akan meningkatkan volume barang-barang ekspor.
Tapi lantaran laju inflasi Indonesia yang cenderung lebih tinggi dibanding negara-negara mitra dagang utama pada 1970-an, nilai tukar rupiah menjadi over-valued alias terlalu mahal. Kurs rupiah yang terlalu perkasa terhadap dolar AS ini dapat mengganggu kinerja ekspor sebab harga barang ekspor asal Indonesia menjadi lebih mahal dibanding negara pesaing.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah Orde Baru kembali melakukan devaluasi nilai tukar mata uang rupiah sebesar 33,6 persen. Dengan begitu, nilai tukar rupiah yang semula Rp415 per dolar AS melemah menjadi Rp625 per dolar AS pada 15 November 1978.
Sejalan dengan kebijakan devaluasi inilah pemerintahan Soeharto juga mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem mengambang terkendali. Seperti yang telah disebutkan di atas, sistem ini mendasarkan nilai tukar rupiah pada basket of currencies.
Secara harian, Bank Indonesia (PDF) menetapkan kurs indikasi atau pembatas mata uang negara mitra dagang utama. Selanjutnya, nilai tukar dibiarkan bergerak di pasar pada kisaran atau spread yang telah ditetapkan. Bank sentral baru melakukan intervensi apabila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari spread tersebut.
Kebijakan KNOP 15 ini diklaim berhasil meningkatkan perolehan devisa hasil ekspor.
Dalih Pemerintah dan Kebobrokan Pertamina
Namun ada yang dirasa janggal dari kebijakan devaluasi dan beralihnya sistem nilai tukar mengambang terkendali ini. Sebab, pada medio 1970-an, Indonesia tengah berjaya lantaran memiliki cadangan devisa berupa dolar AS yang melimpah.
Itu karena kenaikan harga minyak mentah dunia yang turut dirasakan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak. Embargo minyak yang dilakukan negara-negara Timur Tengah terhadap negara Barat membuat minyak mentah Indonesia diborong negara konsumen.
Pemerintah RI berdalih bahwa devaluasi rupiah ditempuh untuk mendorong kemampuan produksi komoditas non-migas. Selain itu juga untuk mendorong daya saing produk ekspor Indonesia di luar negeri dan melindungi kondisi ekonomi pedesaan dari efek fluktuasi harga minyak bumi.
Catatan Bank Dunia menyebut bahkan sebelum guncangan produksi dan harga minyak bumi yang terjadi pada 1973-1974, arus kas Pertamina telah meningkat ke proporsi yang sangat besar. Perseroan itu kemudian mengambil untung dari kedudukannya sebagai BUMN tambang penghasil laba dengan mulai mengembangkan gurita bisnisnya.
Pertamina yang dikendalikan Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama melebarkan sayap bisnis dengan membangun 2.600 stasiun pengisian bahan bakar. Investasi lain yang dilakukan Pertamina adalah memborong armada kereta tangki; mendirikan pabrik baja; membangun beberapa gedung perkantoran; mendirikan pusat pengolahan data, resor wisata, armada tanker, pabrik pupuk, maskapai penerbangan, dan beberapa perkebunan padi.
Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo menjelma menjadi sebuah agen pengembangan independen.
Guna merealisasikan seluruh invetasinya itu, perseroan kemudian melakukan pinjaman jangka menengah dan panjang dari sumber keuangan internasional. Dalam mencari pinjaman itu, para teknokrat Pertamina berhasil meyakinkan pemerintah untuk menafikan keppres yang mengharuskan BUMN mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Keuangan dan Gubernur BI sebelum menegosiasikan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang dari sumber keuangan internasional.
Pertamina kemudian berdalih bahwa perseroan hanya melakukan pinjaman jangka pendek untuk membiayai pengeluaran modal. Sayang, buruknya manajemen Pertamina serta rentetan kegagalan investasi yang dilakukan membuat perusahaan itu limbung.
Pada pertengahan 1974, ketika pendapatan negara dari hasil minyak bumi menyusut, Pertamina terjebak dalam lilitan utang mahabesar. Perseroan pun gagal memutar pinjaman jangka pendek senilai 40 juta dolar AS. Total kontrak Pertamina baik di dalam maupun di luar negeri menembus angka 10,5 miliar dolar AS. Kontrak-kontrak tersebut diendus harian Indonesia Raya sebagai wujud ketidakberesan kebijakan investasi dan ketiadaan pengawasan keuangan di perusahaan tambang pelat merah ini.
Pemerintah selanjutnya mengambil alih pembayaran utang Pertamina untuk memastikan Indonesia masih bisa melanjutkan akses ke pasar keuangan internasional. Langkah ini menyebabkan menumpuknya utang luar negeri Indonesia pada periode 1974 hingga 1978, tahun ketika kebijakan devaluasi diambil.
Editor: Ivan Aulia Ahsan