tirto.id - Sembari menjadi presiden, Jenderal Soeharto juga menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) hingga 1973. Pada 1971 Soeharto melakukan peremajaan ABRI dengan mengurangi jumlah personelnya. Saat itu tidak terlalu sulit mengurangi jumlah anggota ABRI. Atas dasar terlibat G30S saja, seorang prajurit atau pegawai bisa dihilangkan pekerjaan dan hidupnya. Meski begitu, di masa pemerintahannya, Soeharto tampak berusaha menyejahterakan para prajurit yang tersisa.
Mulanya, personel ABRI—yang di dalamnya ada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari tiga matra dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)—ditambah pegawai sipil pendukung Departemen Pertahanan dan Kepolisian, berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963, adalah peserta Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen). Lembaga asuransi plat merah itu dibentuk pada 17 April 1963.
Ada beberapa hal hingga kemudian anggota ABRI kesulitan dengan Taspen. Pertama, perbedaan Batas Usia Pensiun (BUP) bagi prajurit TNI dan anggota Polri. Kedua, sifat khas prajurit TNI dan Polri memiliki risiko tinggi; banyak yang berhenti karena gugur atau tewas dalam melaksanakan tugas. Ketiga, adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah prajurit secara besar-besaran dalam rangka peremajaan yang dimulai pada pertengahan 1971. Keempat, jumlah iuran yang terkumpul pada waktu itu tidak sebanding dengan perkiraan klaim yang akan diajukan para peserta.
Sebuah asuransi sosial kemudian dicanangkan. Pada 31 Juli 1971 Soeharto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 tahun 1971 tentang asuransi sosial angkatan bersenjata. PP tersebut mulai berlaku pada 1 Agustus 1971. Dari sinilah terbentuk lembaga asuransi bernama Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia—yang disingkat menjadi Asabri.
Menurut PP Nomor 44 tahun 1971, pasal 1(f): “Asuransi Sosial ABRI ialah suatu sistim pemberian proteksi yang mengutamakan kebutuhan-kebutuhan pokok dari pada sebagian besar peserta yang mendahulukan pemberian pembayaran (benefits) atas dasar hak, dari pada atas dasar kebutuhan masingmasing peserta.”
Pasal 2 PP Nomor 44 itu menyebut bahwa semua anggota ABRI dan pegawai sipil di dalamnya wajib ikut serta dalam asuransi tersebut. Pasal 3 PP itu juga menyatakan peserta membayar iuran sebanyak 1,25% (satu seperempat persen) dari penghasilan. Demi menjalankan asuransi sosial ini, sebuah perusahaan umum (Perum) pun didirikan. Jadilah Perum Asabri. Lembaga ini dikenal sebagai lembaga yang mengurusi uang pensiun para prajurit, memberi santunan kepada keluarga prajurit, juga membantu perumahan prajurit.
Badan hukumnya kemudian berubah sesuai perkembangan zaman. Pada 1991 badan hukumnya, menurut situs resmi Asabri, dialihkan dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perubahan bentuk badan usaha dari Perum menjadi Persero telah disertai perubahan pada Anggaran Dasar melalui Akta Notaris Muhani Salim, S.H., Nomor 201 tanggal 30 Desember 1992.
Asabri Tetap Asabri
Setelah ABRI bubar, dengan terpisahnya TNI dan Polri, Asabri tetap Asabri. Di dalamnya tetap berbaris purnawirawan jenderal TNI di kursi dewan direksi dan dewan komisaris. Saat ini Letnan Jenderal Sonny Widjaja, lulusan Akabri Darat Magelang 1982, menjadi Direktur Utamanya. Sonny adalah mantan Komandan Sekolah Staf dan Komando (Dansesko) TNI. Sonny menjalani karier sebagai militer lebih dari tiga dekade. Sebelum Sonny, Direktur Utama dijabat Mayor Jenderal Purnawirawan Adam Rahmat Damiri, mantan Panglima Kodam Udayana, yang memimpin Asabri sejak 2009.
Asabri merupakan perusahaan plat merah yang pernah punya berita buruk terkait korupsi. Direktur Utama Asabri Mayor Jenderal Subarda Midjaja sempat diperkarakan bersama Henry Leo. Waktu itu PT Asabri meminjamkan uang Rp410 miliar kepada pengusaha yang juga rekan bisnis Asabri tersebut. Uang itu digunakan untuk berinvestasi di bidang lain. Subarda pun terancam penjara 4 tahun.
Majalah Tempo (1/10/2007) memberitakan Henry Leo pernah memberikan rumah kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal R. Hartono di Jalan Suwiryo 7, Menteng.
Seperti Subarda, Hartono juga lulusan Akademi Militer Nasional, Magelang tahun 1962. Subarda dan Henry Leo berkenalan pada 1995. Hartono, Subarda, dan Henry Leo membentuk PT Bharinto Ekatama, perusahaan batu bara di Kalimantan. Alumnus AMN Magelang lain, yakni Tiopan Bernhard Silalahi (angkatan 1961), juga disebut-sebut namanya dalam kasus tersebut. Pada era kepresidenan SBY T.B. Silalahi adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang pertahanan dan keamanan dan sempat menjadi Ketua Wantimpres pada 2007-2009.
Kini Asabri kebobolan lagi. Asabri bernasib seperti perusahaan yang di zaman kolonial menyediakan asuransi untuk serdadu KNIL, Jiwasraya.
"Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin itu tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya, di atas Rp10 triliun," ujar Menkopolhukam Mahfud MD (10/1/2020).
Aset finansial Asabri di instrumen saham kini tersisa Rp30,8 triliun dari sebelumnya Rp52,538 triliun. Nilai saham Asabri yang ditempatkan pada 12 emiten anjlok hingga Rp21,65 triliun.
Rerata saham yang dibeli Asabri adalah saham-saham dengan kapitalisasi kecil atau biasa disebut small-cap stocks yang memiliki volatilitas harga sangat tinggi. Beberapa di antaranya adalah PT Pelat Timah Nusantara Tbk. (NIKL), PT Indofarma Tbk. (INAF), PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Bank Yudha Bhakti (BBYB), PT Bumi Citra Permai Tbk (BCIB), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk. (LGCP).
Editor: Ivan Aulia Ahsan