tirto.id - Setiap bidak dalam permainan catur adalah gambaran dari komponen-komponen yang ada dalam sebuah angkatan perang.
Bidak yang jumlahnya delapan buah di barisan depan adalah prajurit infanteri. Bidak ini paling sering dikorbankan.
Di barisan belakang ada benteng yang di dunia nyata punya peran seperti pasukan Zeni. Mereka membuka jalan dan mengerjakan pekerjaan konstruksi untuk perlindungan.
Kuda adalah simbol pasukan kavaleri. Sementara itu, bidak yang posisi dekat raja dan biasa disebut peluncur adalah simbol artileri.
Pada zaman ketika mesiu cuma jadi petasan, artileri adalah pasukan pemanah. Tak heran jika panah atau busur sering jadi lambang pasukan artileri. Dalam beberapa peradaban, selain pemanah, ada sebuah peluncur atau ketapel raksasa sebagai bagian dari artileri.
Ketika mesiu sedang dikembangkan sekitar abad ke-14, meriam mulai jadi kekuatan penting dari artileri. Ketika bangsa-bangsa Eropa mulai menjelajahi dunia untuk mencari kekayaan, beberapa kerajaan di Indonesia baru mulai kenal meriam.
"Boleh diperkirakan bahwa meriam-meriam Cina diimpor di nusantara—konon ada sebuah yang ditemukan di Jawa an tertanggal 1421," tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2005, hlm. 208). "Tahun 1602, Francois Martin de Vitre mengunjungi Aceh, tempat dileburnya meriam-meriam."
Pada masa itu, meriam sudah diandalkan dalam pertarungan perebutan dominasi dagang.
Kini, sudah lebih dari 500 tahun manusia manusia memanfaatkan meriam yang daya jangkau tembaknya semakin berkembang. Dapat dipastikan meriam-meriam milik VOC atau KNIL ikut melumpuhkan banyak perlawanan rakyat kampung bersenjata golok yang tidak mau tunduk kepada Belanda di Nusantara.
Diajari Jadi Artileris
Di zaman penjajahan Belanda, ketika banyak orang Indonesia dibutuhkan untuk jadi tentara kolonial, divisi artileri KNIL menerima orang Indonesia. Orang Indonesia dengan pangkat tertinggi di artileri adalah Soerio Santoso (kelahiran 1898). Lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda ini adalah seorang mayor dengan jabatan komandan batalyon artileri di Jagamonyet, Jakarta.
Sebelum jadi mayor, seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988, hlm. 4), Soerio adalah satu-satunya kapten pribumi dari 66 kapten. Pernah ditawari jadi pejabat pertahanan Republik, Soerio memilih kembali ke KNIL. Pangkat terakhirnya di angkatan perang Belanda itu adalah kolonel.
Lebih muda dari Soeriosantoso ada Memet Rahman Ali Soewardi (kelahiran 1906) yang sama-sama lulusan Akademi Militer Breda.
Oerip Soemohardjo, seperti tulis Daud Sinjal dkk dalam Laporan kepada bangsa: Militer Akademi Yogya (1996, hlm. 59), paham soal meriam. Terkait peristiwa 10 November 1945, Oerip pernah dikirim untuk membantu memperkuat artileri di sana. Ia membawa tim yang salah satu anggotanya adalah Abdullah, sersan artileri KNIL.
Mereka yang lebih muda dari Oerip jadi perwira. Alex Kawilarang, dalam AE Kawilarang: Untung Sang Merah Putih (1988, hlm. 15), menuturkan bahwa Raden Askari lalu Raden Mas Pratikno Koesoemo Soerjosoemarno belajar artileri di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung pada 1941. Seingat Kawilarang, Askari adalah penerima tanda Mahkota Perak. Orang Indonesia lainnya yang dapat Mahkota Perak adalah Aminin dan T.B. Simatupang.
Selain itu ada juga keturunan Tionghoa yang terbunuh di zaman Jepang, Tjhwa Siong Pik, yang berasal dari Malang. Tjhwa, seperti diingat Alex dan diberitakan De Indische Courant (16/07/1941) disiapkan sebagai calo perwira artileri.
Di level yang lebih bawah lagi tak sedikit pemuda yang dilatih menjadi seorang artileris untuk KNIL. Ada J. Minggu (yang belakangan memimpin artileri RI dalam Pertempuran 10 November 1945 Surabaya), Djoko Prijono (bekas sersan KNIL yang jadi komandan pasukan PRI dalam 10 November), Giroth Wuntu (yang belakangan jadi tokoh PKI dan budayawan), Rudy Pirngadi (belakangan jadi pensiunan brigadir jenderal yang punya grup Keroncong Tetap Segar), Abdullah (bekas sersan KNIL yang waktu diikutkan Soewardi ke Surabaya diberi pangkat Letnan TNI).
Ketika pecah pergolakan Permesta di Sulawesi Utara pada 1957, para pimpinan Permesta merekrut para bekas anggota KNIL yang makin sepuh sebagai bagian dari personil mereka. Para perwira pemberontak itu nampaknya tahu bahwa di antara sekian banyak bekas KNIL yang sedang menjalani masa pensiun di tanah Minahasa pernah diajari jadi artileris sehingga paham soal meriam era KNIL dulu.
Berdirinya Artileri Republik
Sebelum Jepang kalah perang, Sadikin—setelah tak jadi sersan KNIL—bekerja sebagai sersan mayor di Heiho (pembantu tentara) di Artileri Pertahanan Udara Tentara Kekaisaran Jepang. Dia pernah bertugas di Jakarta. Dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997, hlm. 63), Abdul Haris Nasution mengisahkan bahwa begitu mendengar berita penyerahan diri Jepang pada 16 Agustus 1945 malam, Sadikin bersama kawan-kawannya mengambil-alih kekuasaan atas sarana artileri sambil menyatakan dukungannya sebagai Indonesia yang baru.
Sadikin belakangan tak berkarier di artileri TNI. Dia pernah memimpin resimen infanteri sebelum jadi Panglima Divisi Siliwangi. Jika benar kisah Sadikin versi Nasution itu, maka 16 Agustus 1945, yang mendahului Proklamasi Indonesia, cukup layak dijadikan hari artileri Indonesia. Mirip Marinir Amerika (1775) yang lebih tua dari negaranya (1776).
Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdiri pada 5 Oktober 1945, kekuatan artilerinya belum jelas. Banyak meriam Jepang yang dikuasai pemuda.
Beruntunglah pejuang Surabaya sebelum 10 November 1945 punya Minggu. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya (1985, hlm. 99), Minggu adalah bekas artileris KNIL. Ketika terbentuk batalyon artileri dengan kekuatan 28 meriam penangkis udara, komandannya adalah Minggu. Pasukan meriam ini memperkuat Resimen TKR Gajah Mada di Surabaya. Meriam-meriam pasukan Minggu ikut menembaki tentara sekutu (Inggris) yang menggempur Surabaya beberapa minggu sejak 10 November 1945. Peran Minggu membuktikan bahwa pemuda artileri Indonesia sudah ambil bagian dalam sejarah pertempuran 10 November yang tersohor itu.
Sejarah resmi Angkatan Darat menjadikan hari pendirian Markas Artileri di Yogyakarta pada 4 Desember 1945 sebagai Hari Artileri di Indonesia. Seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989, hlm. 17), kepala bagian artileri saat itu adalah Letnan Kolonel Soerjosoemarno, lulusan Akademi Militer Bandung.
Meski porak-poranda karena Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, arterilis Indonesia belum habis. Pasukan artileri terpaksa jadi pasukan gerilya. Peluru meriam pun sulit mereka dapatkan sejak awal revolusi. Apalagi setelah Letnan Kolonol Soerjosoemarno terbunuh oleh gerombolan pemuda pada 1 Januari 1949. Setelah Pengakuan Kedaulatan pada Desember 1949, barulah divisi artileri Angkatan Darat dibangun lagi.
Sejak 1950, Kapten Abdul Kadir Prawiraatmadja menjadi komandan artileri di Angkatan Darat. Seperti halnya Soemarno, Abdul Kadir juga pernah belajar di Akademi Militer Bandung sebelum Jepang datang. Pada 1950, Angkatan Darat mendapat banyak limpahan instalasi dan alat dari KNIL yang hendak bubar pada tahun yang sama. Termasuk Opleiding Centrum Artillerie di Cimahi yang belakangan dinamai Pusat Pendidikan Artileri (PP Art).
Pada era 1950an, Askari yang lulusan Akademi Militer Bandung pernah diangkat sebagai Inspektur Artileri. Beberapa satuan artileri TNI pada zaman itu sudah ikut serta dalam operasi militer menghalau pemberontakan di daerah-daerah. Sementara Soewardi pada paruh pertama 1950-an malah menjadi Kepala Pos dan Telekomunikasi karena usianya yang sudah tergolong sepuh.
Artileri Indonesia sendiri kemudian berkembang secara organisasi dan persenjataan, meski tidak secanggih negara maju. Indonesia punya satuan artileri medan yang dibina Pusat Kesenjataan Artileri Medan atau (Pussenarmed) dan artileri pertahanan udara yang dibina Pusat Kesenjataan Artileri Pertahanan Udara atau (Pussenarhanud).
Editor: Windu Jusuf