tirto.id - Kapal Andrey Dolgov tampak lusuh. Warna putih yang mendominasi badan kapal mulai digerogoti oleh karat menguning di banyak sisi. Wajar, kapal ini bukanlah jenis kapal yang mewah dan dituntut terawat, melainkan jenis kapal longline pengangkut ikan yang usianya sudah puluhan tahun.
Tetapi siapa sangka kapal ini menjadi buronan Interpol dan berhasil lolos berkali-kali dari penahanan dan pengejaran negara lain di berbagai samudera.
Pada April 2018, perjalanan Andrey Dolgov mengarungi samudra terpaksa harus diakhiri di Selat Malaka, jalur pelayaran utama antara Semenanjung Melayu dan Pulau Sumatra. Penghentian kapal ikan tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia lewat Tim Satgas 115 berisi yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), dan Tim Penyidik Kepolisian.
Dalam satu dekade terakhir, kapal Andrey Dolgov diduga kuat melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di berbagai perairan laut wilayah negara dunia. Dalam sekali perjalanan menangkap ikan, diperkirakan nilai ikan yang ditangkap mencapai 6 juta dolar. Selama beroperasi 10 tahun terakhir nilai ikan yang dikeruk secara ilegal itu ditaksir mencapai 50 juta dolar. Ikan hasil tangkapan dijual di pasar gelap, dicampur dengan hasil tangkapan ikan legal, dan berakhir di rak-rak supermarket, restoran atau meja makan para konsumen.
Saat ditangkap, kapal Andrey Dolgov memiliki 20 Anak Buah Kapal (ABK) yang terdiri dari 14 warga negara Indonesia dan 6 warga Rusia termasuk Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin kapal. Diduga ABK WNI tersebut tidak memiliki dokumen perjalanan antarnegara atau paspor dan terindikasi merupakan korban perdagangan manusia.
Selain itu, tim satgas menemukan 600 buah alat tangkap gillnet (jaring insang) siap pakai yang jika dibentangkan bisa mencapai 30 km. Jenis ikan yang menjadi target tangkapan adalah Antarctic Toothfish dan Patagonian toothfish yang hidup di wilayah perairan Antartika dan Samudra Selatan.
Aktivitas kapal Andrey Dolgov mengeruk ikan di wilayah Antartika dan Samudra Selatan dianggap ilegal karena penangkapan ikan di wilayah tersebut hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera negara anggota Komisi Konservasi Sumberdaya Alam Laut Antartika (CCAMLR) dan memiliki izin penangkapan di kawasan CCAMLR.
Penggunaan gillnet di perairan Antartika sudah dilarang sejak 2006. Jika ikan toothfish punah, diyakini akan sangat mengganggu keseimbangan ekosistem makhluk hidup di Antartika. Di bawah hukum CCAMLR, metode penangkapan ikan yang diizinkan terutama adalah teknik longlining (rawai). Seluruh aktivitas penangkapan ikan juga diwajibkan untuk tidak sampai mengganggu keberadaan burung laut.
Untuk melancarkan aksinya selama ini, kapal yang berstatus tanpa bendera kebangsaan (kapal stateless) kerap menggunakan delapan bendera negara berbeda seperti Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, dan Nambia. Saat ditangkap oleh otoritas Indonesia, tampak bendera Togo berkibar di dek kapal. Mereka menghindari pengawasan aparat penegak hukum dengan melakukan pemalsuan dokumen dan identitas.
Buronan Interpol
Kapal Andrey Dolgov sudah jadi incaran banyak negara dunia dan dimasukkan dalam daftar kapal Illegal, Unreported, And Unregulated (IUU) Fishing. Kapal sebelumnya sudah sempat ditahan oleh Cina, tetapi berhasil melarikan diri.
Setelah itu sempat ditahan di Pelabuhan Maputo, Mozambik dan berhasil kabur lagi. Diwartakan The Maritime Ecxecutive, setelah lolos untuk kedua kalinya, Mozambik meminta bantuan dari semua negara anggota Fish-i Africa untuk membantu menangkap kapal yang jadi buronan itu.
Fish-i Africa adalah sebuah aliansi kemitraan dari delapan negara Afrika Timur (Komoro, Kenya, Madagaskar, Mauritius, Mozambik, Seychelles dan Somalia) yang mendorong pertukaran informasi dan kerja sama regional untuk memerangi penangkapan ikan ilegal.
Pengejaran kapal Andrey Dolgov yang kabur dan menjadi buronan Fish-i Africa akhirnya melibatkan banyak pihak seperti Fusion Centers di Madagaskar dan Singapura, Sea Shepherd Conservation Society, Republik Serikat Tanzania dan Republik Indonesia.
Selama beberapa hari, kapal Andrey Dolgov dikejar di perairan Seychelles oleh kapal MY Ocean Warrior milik Sea Shepherd dan otoritas Tanzania. Sayangnya, Angkatan Laut Tanzania tidak memiliki wewenang untuk naik dan memeriksa kapal itu ketika di perairan Seychelles. Foto dan bukti lain yang dikumpulkan selama pengejaran lantas diteruskan ke pihak berwenang Indonesia.
Butuh dua hari untuk Indonesia menangkap kapal Andrey Dolgov. Dikutip dari siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kronologinya pada 5 April 2018, Satgas 115 mendapat permintaan resmi dari Interpol melalui NCB Indonesia untuk memeriksa kapal STS-50. Menindaklanjuti informasi tersebut, Kapal AL Simeuleu melakukan operasi “Hentikan, Periksa, dan Tahan” (Henrikan).
Keesokan harinya, 6 April 2018 tim satgas, termasuk mengerahkan drone dan pesawat pengintai yang berputar-putar di atas kapal, berhasil menangkap kapal tersebut sekitar pukul 17.30 WIB ketika berada di sekitar 60 mil dari sisi tenggara Pulau Weh, Aceh. Puncak dari operasi pengejaran dan penangkapan kapal Andrey Dolgov selama berbulan-bulan akhirnya berakhir.
"Kapten dan kru terkejut saat ditangkap," kata Andreas Aditya Salim, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal kepada BBC. "Mereka mencoba mengatakan bahwa mereka tidak sedang menangkap ikan karena kulkas dan bagian-bagian lain di kapal sedang rusak."
Menurut data terakhir MarineTraffic pada Agustus 2018, kapal Andrey Dolgov masih berada di Pulau Weh di dekat Pelabuhan Balohan dengan status sedang berhenti.
Asal-usul Kapal Andrey Dolgov
Kapal Andrey Dolgov adalah bagian dari jaringan kriminal internasional terorganisir yang tumbuh subur di antara garis hukum maritim yang kabur dan pejabat yang korup.
Sebenarnya nama terakhir kapal ini bukanlah Andrey Dolgov, melainkan STS-50. Kapal ini punya panjang 54 meter dengan berat kotor mencapai 570 ton. Dalam perjalanannya, kapal ini memang kerap berganti-ganti nama, kepemilikan, dan bendera.
Dari dataIUU Vessel List, kapal Andrey Dolgov dibuat tahun 1985 di galangan kapal Kanasashi Zosen di Pelabuhan Shimizu, Jepang. Sampai tahun 1995, kapal itu bernama Shinsei Maru No. 2 berbendera Jepang dan milik perusahaan Maruha Corporation yang bekerja untuk operator Taiyo A&F Co Ltd. Kepemilikan, pergantian nama, negara dan operator mulai kerap terjadi selepas 1995. Dalam rentang 1995 sampai 2002, kapal ini dimiliki secara berturut-turut oleh Taiyo Namibia, Taiyo Suisan KK, Taiyo Susan dan Taiyo A&F Co Ltd. Registrasi benderanya juga ganti dari Namibia lalu Jepang.
Dari 2002 sampai 2008 nama kapal berubah menjadi Sun Tai No. 2, berbendera Filipina, milik Sun Tai International Fishing Corp dan di bawah operator Sun Tai International Fishing Corp. Nama kapal berganti lagi menjadi STD No. 2 meski hanya bertahan singkat tidak lebih dari dua bulan. STD No. 2 tercatat berbendera Korea Selatan, dimiliki oleh Dongbu Fisheries Co., Ltd dengan operator Mr. Boo-In Park.
STD Fisheries Co Ltd menjadi pemilik sekaligus operator kapal STD No. 2 dari 2008 sampai 2010. Mulai 2010 sampai 2014, kepemilikan dan operator kapal beralih di tangan Dongwon Fisheries Co., Ltd. Baru pada 2015 sampai 2017, kapal berubah nama menjadi Andrey Dolgov, milik Red Star Co Ltd dengan operator Dongwon Fisheries Co., Ltd serta registrasi bendera Kamboja.
Namun, dari Mei 2016 sampai Maret 2017, kapal ini berstatus stateless alias tidak teregistrasi di negara manapun. Nama kapal juga tercatat diganti dengan Sea Breeze atau Sea Breez 1 dari Januari-Oktober 2017. Antara Maret sampai April 2017, kapal sempat berbendera Togo milik Marine Fisheries Corporation Co Ltd dan diperatori Poseidon Co Ltd sejak Juli 2015.
Pada Oktober 2017 sampai Maret 2018, nama kapal berubah menjadi Ayda dan tidak berbendera negara manapun. Pada Juni 2017 nama kapal sempat diubah lagi menjadi STS-50 dan disebut terus mengibarkan bendera Togo meski masa berlaku telah lewat dan tidak diperpanjang.
Keberadaan kapal-kapal yang diduga mengeruk ikan dengan cara ilegal dalam beberapa tahun ini menjadi perhatian banyak negara termasuk Indonesia. Penangkapan ikan secara ilegal adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing tanpa izin di wilayah hukum perairan suatu negara atau mengabaikan status perairan sebagai kawasan lindung.
Tindakan penangkapan ikan ilegal atau bisa disebut pencurian ikan dampaknya dapat meruntuhkan perekonomian nelayan lantaran menipisnya stok ikan di suatu wilayah. Selain itu, penangkapan ikan ilegal kerap melibatkan praktik perbudakan para ABK yang dipenjara di kapal laut dan jauh dari rumah mereka di daratan.
"Sekitar 20 persen dari semua tangkapan global adalah ilegal, tidak dilaporkan atau tidak diatur," jelas Katie St John Glew, seorang ahli biologi kelautan di National Oceanography Centre di University of Southampton.
Apakah kapal Andrey Dolgov akan bernasib sama dengan kapal FV Viking dan kapal-kapal lainnya yang ditenggelamkam, setelah hampir setahun ditangkap?
Editor: Suhendra