Menuju konten utama

Seberapa Efektif Kenaikan Tunjangan Kinerja untuk ASN?

Presiden menaikkan besaran tunjangan kinerja kepada tiga kementerian pada tahun ini. Perlukah?

Seberapa Efektif Kenaikan Tunjangan Kinerja untuk ASN?
Aktivitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). FOTO/Antara

tirto.id - Layaknya seorang pegawai di suatu perusahaan, Aparatur Sipil Negara (ASN) selain mendapatkan gaji juga mendapatkan tunjangan kinerja (Tukin). Pemberian tunjangan kepada ASN diatur dengan peraturan presiden. Jumlah Tukin ini bisa meningkat dari tahun ke tahun. Namun, kenaikannya hanya diberikan apabila kementerian atau lembaga berhasil melakukan perbaikan reformasi birokrasi.

Pada Desember 2017 ini, ASN dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan "jatah" untuk kenaikan tukin dari sebelumnya Rp1,9 juta-Rp26,3 juta, kini menjadi Rp2,53 juta-Rp33,24 juta. Kenaikan tukin tersebut tertuang di Peraturan Presiden No. 131/2017 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tukin baru ini mulai diberikan terhitung mulai Februari 2017.

Tukin diberikan kepada ASN sesuai dengan tingkat kinerja. Pembayaran dilakukan setiap bulan berdasarkan pada kinerja yang bersangkutan pada bulan itu. Dengan kata lain, besaran tunjangan yang diterima pegawai berbeda-beda, tergantung pada kelas jabatan, capaian kinerja dan besaran Tukin pada level Kementerian/Lembaga (K/L).

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 81/2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025, tunjangan kinerja diberikan kepada ASN di kementerian dan lembaga yang telah melaksanakan reformasi birokrasi.

Baca juga: Ada 4,37 Juta Orang Bekerja Sebagai PNS, Efektifkah?

Setiap tahun, Kementerian PAN-RB melakukan evaluasi terhadap K/L terkait progres reformasi birokrasi. Untuk K/L yang baru melaksanakan reformasi birokrasi, biasanya hanya memperoleh Tukin sebesar 40 persen dari standar yang ditetapkan.

“Jika kualitasnya membaik diberikan peningkatan, misalnya menjadi 60% dari standar dan seterusnya,” kata Didid Noordiatmoko, Sekretaris Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian PAN-RB kepada Tirto.

Terkait kenaikan besaran Tukin di K/L, pemerintah sebelumnya sudah melakukan evaluasi, mulai dari sisi birokrasi, efisiensi penggunaan anggaran, penilaian kelas jabatan hingga penyusunan ukuran kinerja individu. Proses itu dilakukan sekitar 7 bulan.

Setelah melakukan evaluasi, Kementerian PAN-RB akan menghitung skor yang didapat pada setiap K/L, yang mana akan dimasukkan ke dalam kategori penilaian, yakni AA= >90-100, A= >80-90, BB= >70-80, B= >60-70, CC= >50-60, C= >30-50 dan D= >0-30.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebanyak 27 kementerian telah mendapatkan kenaikan besaran Tukin. Dari 27 kementerian itu, sebanyak empat kementerian mendapatkan kenaikan Tukin sebanyak 2 kali.

Empat kementerian itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Pada 2017, hanya sebanyak tiga kementerian yang mendapatkan kenaikan besaran Tukin, yakni KKP pada 15 Desember 2917, Kementerian Ketenagakerjaan pada 17 Juli 2017, dan Kementerian Hak Asasi Manusia pada 15 Desember 2017.

Secara umum, ketiga kementerian itu mendapatkan rapor yang cukup baik. Pada 2016, KKP mendapatkan nilai BB. Kemudian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebesar BB. Adapun, Kementerian Ketenagakerjaan mendapat nilai B.

Baca juga: Efektifkah layanan publik PNS

Infografik remunerasi pemerintahan jokowi

Pendapat Masyarakat

Lantas, apakah perbaikan reformasi birokrasi di ketiga kementerian itu memberikan manfaat bagi masyarakat?

Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai reformasi birokrasi yang telah dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan secara umum mampu memberikan manfaat bagi para pekerja.

“Hanya saja kalau dirunut ke bawah, ternyata tidak seluruh direktorat jenderal yang ada di kementerian, telah menciptakan proses pelayanan publik yang baik,” kata Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal OSPI kepada Tirto.

Salah satu yang disorot OSPI yakni Direktorat Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Menurut Timboel, direktorat tersebut belum mampu menindaklanjuti laporan yang ada di lapangan secara optimal.

Misalnya, adanya laporan terkait pekerja yang tidak menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Kemudian, ada juga perusahaan yang tidak membayar upah pekerja sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP).

Lalu, adanya perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan jaminan sosial, baik BPJS tenaga kerja maupun kesehatan. Selain itu, ada juga perusahaan yang tidak mematuhi Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan.

Selain itu, direktorat lainnya yang juga disorot OSPI adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas. Menurut OSPI, direktorat itu masih belum mampu meningkatkan kualitas Balai Latihan Kerja (BLK).

“Pada akhirnya, upaya untuk menciptakan angkatan kerja yang memiliki skill menjadi kurang maksimal. Padahal, kita ini sudah masuk dalam era sertifikasi. BLK harus bisa digenjot lagi,” tutur Timboel.

Di lain pihak, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai reformasi birokrasi yang dilakukan KKP cukup baik, terlihat dari banyaknya kebijakan yang diterbitkan. Hanya saja, manfaat yang dirasakan bagi nelayan belum signifikan.

Menurut KNTI, kondisi nelayan saat ini masih terpinggirkan, dan belum menjadi bagian penting dalam pengelolaan laut nasional. Padahal, nelayan memiliki fungsi strategis dalam penyedia pangan yang murah bagi Indonesia.

“Melihat kepentingan itu, seharusnya nelayan ditempatkan sebagai stakeholder utama dalam pengelolaan sumber daya alam di laut. Namun, nelayan justru masih terabaikan,” ujar Martin Hadiwinata Ketua DPP KNTI kepada Tirto.

Abainya pemerintah, terlihat dari belum adanya produk peraturan turunan dari Undang-Undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Ada lima hal dari UU No. 7/2016 itu yang seharusnya sudah diatur atau dibuatkan beleid oleh pemerintah, termasuk oleh KKP. Pertama, pengawasan terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan.

Kedua, tata cara pemberian subsidi. Ketiga, mekanisme perlindungan atas risiko. Keempat, fasilitas asuransi perikanan atau peserta asuransi pergaraman. Kelima, partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pemberdayaan.

“Oleh karena itu, undang-undang No. 7/2016 ini akan menjadi sia-sia apabila tidak ada ketentuan operasional yang jelas dari setiap klausul penting dalam undang-undang itu,” jelas Martin.

Baca juga: Menpan-RB Anggap Wajar Anggaran Gaji PNS Capai 25% APBN

Di sisi lain, KNTI sangat mengapresiasi upaya KKP dalam menanggulangi ilegal fishing. Namun, penanggulangan ilegal fishing belum cukup dengan ditenggelamkan. Pasalnya, jumlah kapal ilegal yang ditenggelamkan malah bertambah banyak setiap tahunnya.

Pada 2015, jumlah kapal ilegal yang ditenggelamkan ada sebanyak 113 kapal. Pada tahun berikutnya, jumlah itu bertambah sedikit menjadi 115 kapal. Lalu, jumlah kapal ilegal yang ditenggalamkan hingga Oktober 2017 mencapai 181 kapal.

Melihat kondisi itu, bisa dibilang langkah penenggelaman kapal ilegal tidak menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih sistematis dan menyeluruh serta upaya penegakan hukum luar biasa ke depannya.

ASN memang berhak untuk mendapatkan kenaikan Tukin. Namun, kenaikan tukin diharapkan dapat seimbang dengan hasil yang diberikan kepada masyarakat.

Baca juga artikel terkait TUNJANGAN KINERJA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti