tirto.id - Menjelang empat hari UU KPK mulai diberlakukan, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan pentingnya presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu/ Perpu) UU KPK.
"Kita berharap kepada presiden untuk menunda pelaksanaan dari undang-undang ini karena banyak sekali permasalahan," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung Pusat Studi Anti Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan pada Senin (14/10/2019).
Tenggat waktu tanda tangan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) akan jatuh pada 17 Oktober 2019.
KPK merangkum setidaknya ada 26 masalah yang potensial terjadi jika revisi UU KPK disahkan. Salah satu yang disorot Syarif ialah soal status pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dan penuntut umum.
Artinya, pimpinan tak akan memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, termasuk mengeluarkan surat perintah penyidikan atau mengeluarkan surat perintah untuk upaya paksa seperti penggeledahan dan penahanan.
"Ini betul-betul langsung memangkas kewenangan Komisioner KPK ke depan," kata Laode.
Laode pun menyoroti soal keberadaan Dewan Pengawas. Dia menyatakan KPK tidak takut diawasi, tapi dalam revisi UU KPK Dewan Pengawas memiliki kewenangan penegakan hukum misalnya memberi persetujuan penyadapan dan penyitaan.
Di sisi lain, revisi UU KPK pun tidak menyatakan bahwa Dewan Pengawas adalah penyidik atau penuntut umum. Hal itu kata Laode akan menimbulkan kerancuan yang berpotensi membuat KPK rentan terhadap gugatan praperadilan.
"Bagaimana bukan seorang penegak hukum bisa memberikan otorisasi tentang tindakan-tindakan hukum. Ini akan sangat mempengaruhi kerja KPK ke depan," kata dia.
Laode juga masih menyayangkan penyusunan revisi UU KPK yang terburu-buru. Indikasi paling kuat ialah adanya kesalahan ketik dalam salah satu pasal.
Selain itu, revisi UU KPK juga tidak memberikan ketentuan peralihan yang membuat pelaksanaannya menjadi rancu pada saat awal-awal berlaku nanti.
Misalnya, Laode mempertanyakan, bagaimana proses kerja KPK ketika revisi UU KPK resmi berlaku padahal Dewan Pengawas pun belum dibentuk.
"Terus terang inilah akibat dari proses perundang-undangan yang dibikin rahasia dan tertutup akhirnya menimbulkan kerancuan-kerancuan baik itu dari segi terminologi maupun dan tata kerja," tandasnya.
Adapun 26 masalah revisi UU KPK yang dirangkum KPK antara lain :
1. Pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus.
2. Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.
3. Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
4. Standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.
5. Dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
6. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
7. Salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.
8. Pemangkasan kewenangan penyelidikan.
9. Pemangkasan kewenangan penyadapan.
10. Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
11. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
12. Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam UU KPK.
13. Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.
14. Berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
15. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.
16. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak).
17. Terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap.
18. Harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
19. Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma.
22. Hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.
23. Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
24. KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara.
25. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan.
26. Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri