tirto.id - Malapetaka 15 Januari atau Malari 1974 adalah salah satu peristiwa yang disesalkan oleh pemerintah Orde Baru. Menurut mereka, akibat kejadian itu tahun 1980-an kondisi Indonesia menjadi semrawut. Menurut laporan Kompas (23/11/1982) yang dikutip dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku VI 1981-1982 (2008), Presiden Soeharto pernah melontarkan peringatan dan menegaskan bahwa kemerosotan itu tak boleh diteruskan.
Oleh karena itu, Soeharto sebagaimana dilaporkan Antara (23/10/1978), mengajak seluruh rakyat Indonesia meningkatkan disiplin. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat tergantung pada kesanggupan mengendalikan diri dan tidak hanyut dalam gaya hidup konsumtif. Soeharto bahkan berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang sederhana.
"Gaya hidup seperti itu tidak selaras dengan kepribadian bangsa kita yang lebih mementingkan kewajaran dan keseimbangan," ujarnya pada Oktober 1978.
"Dengan kemampuan mengendalikan diri pasti tidak sulit kita mewujudkan hidup sederhana, mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan menegakkan hidup disiplin, sebagai unsur-unsur yang sangat penting bagi kelanjutan pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun mendatang," imbuhnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, soal disiplin kemudian melekat dalam pikiran Soeharto. Dalam pidto kenegaraan pada 16 Agustus 1982, Soeharto menekankan, "Tingkatkan disiplin nasional dalam pembangunan..!" Setelah itu, hampir dalam pelbagai kesempatan, ia terus menyampaikan tentang disiplin kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan keinginannya, seperti dilansir Antara (07/05/1988), ia kemudian mengundang Menteri Koordinator Politik Keamanan (Menkopolkam) Laksamana Sudomo di Binagraha, Jakarta, untuk membahas masalah disiplin di Indonesia.
Tiga tahun sebelum tumbang dari kursi kepresidenan, Soeharto mencanangkan Gerakan Disiplin Nasional (GDN) yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1995. Gerakan ini berdasarkan pada Surat Keputusan Presiden RI nomor 33 tahun 1995 tentang Pembentukan Panitia Gerakan Disiplin Nasional yang dirilis pada 23 Mei 1995.
Ketua panitia gerakan ini adalah Menkopolhukam yang saat itu dijabat oleh Jenderal Soesilo Soedarman. Sementara anggotanya terdiri dari semua menteri dalam kabinet dan Panglima ABRI. Sementara sekretarisnya diambil dari jajaran Menkopolkam. Ketua panitia ini harus memberikan laporan berkala kepada presiden daripada Soeharto.
Jakarta sebagai Percontohan
Menurut Mayor Jenderal Soerjadi Soedirdja yang kala itu sebagai Gubernur DKI Jakarta, wilayah yang dipimpinnya ditunjuk sebagai proyek percontohan Gerakan Disiplin Nasional yang bertugas memasyarakatkan budaya tertib dan budaya kerja.
"Prioritas pelaksanaan di DKI Jakarta ditujukan untuk meningkatkan disiplin antri dan tertib berlalu lintas oleh semua pengguna jalan. Sedangkan pada budaya kerja diutamakan pada disiplin untuk mematuhi jam kerja pegawai pemerintah daerah DKI Jakarta,” ujarnya.
Abidin Kusno dalam Di Balik Pascakolonial: Arsitektur, Ruang Kota dan Budaya Politik di Indonesia (2006:119) mencatat, untuk mendukung kampanye Gerakan Disiplin Nasional yang dicanangkan Soeharto, ABRI menerahkan dua ribu personilnya untuk disiagakan di sejumlah ruas jalan di Jakarta. Hal itu dilakukan untuk memastikan tidak ada yang tidak taat aturan. Masyakarat dituntut untuk menjaga kebersihan, menyeberang jalan di tempat yang telah disediakan, dan sebagainya.
Tidak hanya dalam sikap, cara berbahasa pun masuk dalam kampanye Gerakan Disiplin Nasional. Dalam Sepanjang Jalan Kenangan (2016:445), Wardiman Djojonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan, “Salah satu imbauan Presiden dalam Gerakan Disiplin Nasional tersebut agar penggunaan bahasa Inggris di tempat umum diganti dengan bahasa Indonesia.”
Dalam pelaksanaannya, Soerjadi Soedirdja mengaku bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengerti dan memahami tentang Gerakan Disiplin Nasional, sehingga sulit diharapkan peran sertanya. Meski penyuluhan diadakan, tetapi kebanyakan masyarakat saat itu akses informasinya sangat terbatas.
Gerakan Disiplin Nasional kemudian redup seiring lengsernya sang penggagas presiden daripada Soeharto. Masyarakat dengan cepat melupakan kampanye tersebut yang berlalu bersama angin.
Bagi pendukung Soeharto yang memimpikan kembalinya kejayaan Orde Baru, barangkali gerakan ini juga dirindukan. Sebab bagi mereka rakyat yang disiplin adalah rakyat yang dapat diatur, dibekap, dibatasi hak-haknya, demi melanggengkan kekuasaan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi