Menuju konten utama

SBY & Prabowo: Rekonsiliasi Dua Angkatan atau Koalisi Kardus?

Persaingan antara SBY dan Prabowo adalah bagian dari “tradisi” di Akmil, yakni persaingan antar-angkatan yang tahun kelulusannya berdekatan.

SBY & Prabowo: Rekonsiliasi Dua Angkatan atau Koalisi Kardus?
Aris Santoso. tirto.id/Sabit

tirto.id - Masuknya kubu Cikeas (SBY) dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto sempat disambut lega sebagian masyarakat. Dalam beberapa pertemuan, tampak SBY dan Prabowo saling berjabat erat dan hangat. Meski sedang mengenakan pakaian sipil, Prabowo tak segan memberi hormat ala militer terlebih dahulu pada SBY, mengingat SBY setingkat lebih tinggi pangkatnya dan juga lebih dulu lulus Akmil.

Pertemuan dua figur tersebut bisa juga dibaca sebagai “rekonsiliasi” dari dua komunitas, yakni lulusan Akmil 1973 (kelas SBY) dan Akmil 1974 (kelas Prabowo). Saat masih berdinas aktif, dua angkatan ini selalu bersaing memperebutkan pos-pos strategis di TNI. Persaingan Prabowo dan SBY sejak masih taruna, merupakan manifestasi dari persaingan tersebut.

Namun kemesraan itu kini terancam gagal di tengah jalan. Padahal, usia jabat erat antara Prabowo dan SBY belum genap seminggu. Publik bisa melihat sendiri soal perkembangan yang demikian cepat selama jam-jam terakhir ini, ketika turbulensi politik demikian tinggi. Salah satunya karena ujaran fungsionaris Partai Demokrat yang menyebut Prabowo sebagai “jenderal kardus”.

Rekonsiliasi Sesaat

Nampaknya rekonsiliasi SBY-Prabowo dalam bentuk koalisi hanya berlangsung untuk kepentingan sesaat demi kekuasaan. Persaingan antara SBY dan Prabowo sudah sistemik dan menjadi bagian dari “tradisi” di Akmil, yakni persaingan antar-angkatan yang tahun kelulusannya berdekatan.

Dalam Pilpres 2009 ketika Prabowo maju sebagai cawapres mendampingi Megawati, misalnya, hanya terdapat satu orang purnawirawan dari Akmil 1973 di tim suksesnya, yakni Brigjen (Purn) Glenny Kairupan. Sementara purnawirawan Angkatan 1973 lainnya umumnya berkumpul di kubu pasangan SBY-Boediono, yang kemudian memenangkan pilpres.

Prabowo sendiri sebenarnya bisa disebut sebagai eksponen Akmil 1973 karena masuk sebagai taruna bersamaan dengan Akmil 1973, yaitu tahun 1970. Namun, Prabowo sempat tinggal kelas, sehingga kelulusannya sebagai letnan dua juga tertunda setahun. Selain Prabowo, ada nama lain juga yang sempat tinggal kelas, yakni Ryamizard Ryacudu (kini Menhan).

Di sinilah uniknya, perwira yang sempat tinggal kelas justru muncul sebagai figur kuat di kemudian hari. Buku kenangan Akmil 1973 berjudul ABRI Profesional dan Dedikatif yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan pada 1998 memuat lampiran daftar lulusan. Nama Prabowo dan Ryamizard tercantum di sana. NRP (nomor induk anggota) lulusan tahun 1973 didahului dengan angka 26. SBY, misalnya, punya NRP bernomor 2618. Sementara bagi yang lulus tahun 1974, NRP-nya dimulai dengan angka 27, seperti Prabowo (27082) dan Ryamizard (27259).

Kedudukan dan nama besar yang diraih Prabowo atau SBY merupakan anugerah, karena tidak semua jenderal bisa sampai di sana. Capaian tersebut merupakan gabungan dari beberapa faktor: prestasi di lapangan, intelektualitas, kharisma, latar belakang keluarga, dan seterusnya. Beberapa KSAD bahkan dilupakan orang setelah periode jabatannya berakhir. Inilah yang dialami Jenderal Agustadi SP (Akmil 1974) dan Jenderal Pramono Edhi Wibowo (Akmil 1980).

Kubu Cikeas pernah berharap pada Pramono Edhi Wibowo, untuk melanjutkan dinasti politik trah Sarwo Edhi Wibowo. Namun, tampaknya figur Pramono kurang memiliki “nilai jual” ke publik. Fenomena kharisma memang mirip konsep wahyu dalam tradisi kejawen, yang tidak otomatis melekat pada orang dengan jabatan tinggi sekali pun. Akhirnya kubu Cikeas memutuskan untuk segera mengorbitkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang rela mengorbankan masa depan karier cemerlangnya di TNI.

Menyiapkan AHY

Publik terkejut saat AHY memutuskan mengundurkan diri dari TNI karena akan maju sebagai Cagub (calon gubernur) DKI Jakarta Raya. Bagaimana tidak, selain latar belakang keluarga yang sangat kuat (ayah dan kakeknya adalah jenderal yang sangat tersohor), AHY juga dikenal sebagai perwira muda yang cemerlang secara akademis.

Pilihan AHY untuk pensiun dini adalah proses politik yang masih akan terus berlangsung. Publik masih menanti performa AHY di “palagan” yang baru. Salah satu figur yang bisa dijadikan rujukan peta jalan AHY adalah Lee Hsien Loong (PM Singapura), yang kebetulan juga pensiun dini sebagai brigjen—itulah sebabnya panggilan akrab Lee adalah BG Lee.

AHY dan Lee sama-sama datang dari keluarga terpandang. Prestasi keduanya pun lebih menonjol secara akademis. Dalam hal pengalaman operasi tempur, AHY dan Lee bisa disebut sama-sama minim pengalaman, mengingat operasi tempur (khususnya di Timor Leste) sudah menjadi bagian inheren dari pengalaman generasi Akmil terdahulu.

Bila masih ingin mengikuti jalur Lee, maka yang perlu diperkuat pada AHY adalah pengalaman sebagai pejabat publik. Pengalaman AHY selama ini, pasca-pensiun (dini), hanya berputar-putar di lingkungan kubu Cikeas dan Partai Demokrat, belum teruji di wilayah luar yang lebih menantang. Bila benar AHY bisa maju sebagai Cawapres, tentu akan menjadi capaian luar biasa bagi AHY untuk menambah “jam terbangnya”.

Masalahnya, tidak ada jaminan AHY akan menang, sebab hasil pilpres sulit diramalkan, meskipun sudah ada survei. Karenanya perlu disiapkan skenario cadangan seandainya AHY gagal. Salah satunya mengusahakan AHY masuk kabinet mendatang. SBY bisa melakukan manuver, merapat pada kubu lawan untuk sekadar menitipkan AHY. Tak perlu muluk-muluk, ambil saja posisi kabinet yang relatif ringan dan selama ini dianggap bukan pos strategis, misalnya Mensos atau Menpora.

Tapi penyesalan selalu datang belakangan. Sepertinya bukan hanya TNI yang menyayangkan pilihan AHY untuk pensiun dini. Saya pun begitu. AHY sebetulnya hanya butuh sedikit bersabar, misalnya dengan cara menunda setidaknya setengah tahun agar bisa mencapai pangkat letkol. Sebagaimana yang terjadi pada SBY maupun Prabowo, dalam pangkat letkol, keduanya sudah mencapai kematangan sebagai komandan pasukan.

Tidak Mengusik Nama Prabowo

Ujaran Andi Arief (AA) bahwa Prabowo adalah "jenderal kardus" sudah terlanjur viral dan tidak mungkin ditarik kembali. Namun dalam pandangan saya pribadi, nama besar Prabowo di hadapan simpatisannya akan sulit tergerus sekeras apapun ejekan AA.

Argumentasi ini berdasarkan posisi AA yang ambigu terhadap Prabowo. Sebagai salah seorang korban penculikan, AA tidak pernah menggugat Prabowo. Dalam bahasa yang lebih populer, AA sudah terpapar apa yang biasa disebut sebagai stockholm syndrome.

Sejatinya apa yang dilakukan AA adalah wajar. AA harus melakukan itu (mengejek Prabowo) sebagai caranya membalas budi pada SBY. Politisi lapis kedua (second liner) di parpol lain tentu akan melakukan hal yang sama, bila ada pihak lain yang menyerang figur sentral partainya (dalam hal ini SBY). Tentu AA sangat siap menjadi perisai bagi SBY, karena dia telah memperoleh banyak hal dari SBY, dalam hal ini jabatan dan kesejahteraan.

Dengan mengikuti logika seperti itu, AA tentu tidak akan menolak bila ada limpahan kesejahteraan dari Prabowo, meskipun dirinya dulu korban penculikan. Jika kemudian AA berlabuh di lingkaran SBY, mungkin itu bagian dari takdirnya.

Bayang-bayang PSI

Sesuram apa pun prospek hubungan Prabowo dan SBY, tetap ada ruang bagi keduanya bertemu. Jika hubungan keduanya sejak taruna sampai ketika menjadi jenderal tidak selalu mulus, kita bisa mencari titik temu SBY dan Prabowo di ranah lain: orientasi politik.

Baik Prabowo maupun SBY bisa bertemu di lapangan ideologi: ayah Prabowo (Sumitro Djojohadikusumo atau Pak Cum) dan mertua SBY (Sarwo Edhi Wibowo) kebetulan sama-sama berorientasi pada PSI (Partai Sosialis Indonesia).

PSI adalah fenomena unik dalam politik di tanah air. Meski secara resmi sudah bubar pada awal 1960-an, dan tokoh utamanya Sutan Sjahrir sendiri sudah meninggal pada 1966, PSI sebagai tradisi dan aliran politik tidak pernah mati. Figur Sutan Sjahrir masih memiliki pengikut setia, dari generasi ke generasi, bahkan bagi generasi milenial.

PSI cenderung elitis sehingga pengaruhnya hanya terasa pada tokoh-tokoh terkemuka. Beberapa jenderal ternama di masa lalu sejak lama diketahui berada di orbit pengaruh PSI, misalnya Jenderal Soemitro (Pangkopkamtib), HR Dharsono (Pak Ton), Soewarto (Komandan Seskoad), Kemal Idris, dan seterusnya.

Pada periode yang yang nyaris bersamaan, publik juga mengenal para perwira pendukung Soekarnoisme. Beberapa di antaranya bahkan masuk kategori die hard, misalnya Ibrahim Adjie (Panglima Siliwangi legendaris) dan Mussaninif Ryacudu (Pangdam Tanjungpura, ayah dari Jenderal Ryamizard). Singkatnya, sejak dulu sampai sekarang, perwira dengan orientasi politik berlainan adalah hal biasa. Soal motivasi, tentu sangat subyektif, tergantung kepentingan masing-masing.

Entah hanya faktor kebetulan atau memang sudah didesain, AHY hari ini juga dikelilingi oleh penasehat-penasehat politik yang dikenal dekat dengan tradisi PSI, misalnya Rocky Gerung dan Rachlan Nashidik. Nama lain yang bisa disebut adalah Robertus Robet, salah seorang deklarator PSJ (Pemuda Sosialis Jakarta, Desember 2000), yang sempat menjadi konsultan politik AHY saat maju sebagai Cagub Jakarta.

Bila benar AHY masuk dalam atmosfer PSI, lebih khusus lagi dalam tradisi intelektualnya, tentulah ini kabar baik. Beberapa tokoh terkemuka PSI seperti Dayino (Yogyakarta) atau Soebadio Sastrosatomo (Jakarta) dikenal dengan kehidupannya yang sangat bersahaja, sebuah perilaku yang mudah-mudahan masuk dalam “radar” AHY. Sehingga AHY mampu mengadopsi dua tradisi PSI, yakni etika intelektual dan gaya hidup sederhana dari sebagian tokoh-tokohnya dalam satu tarikan nafas.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.