Menuju konten utama
Buni Yani

"Saya Nggak Berani Masuk Penjara"

Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Apa yang sebenarnya terjadi sebelum, sesaat dan setelah ia mengunggah video Ahok tentang Surat al-Maidah?

Terlapor kasus dugaan pengeditan video Ahok, Buni Yani (kedua kanan), didampingi kuasa hukumnya menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan usai memenuhi panggilan Bareskrim Polri di Jakarta, Kamis (10/11). Buni Yani di periksa Bareskrim Polri selama 4 jam sebagai saksi terkait dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd/16.

tirto.id - Buni Yani mendadak terkenal dua bulan belakangan. Namanya disebut di sana-sini, omongannya dikutip sana dan sini oleh media. Wajahnya pun kerap muncul di layar kaca. Kemarin namanya mencuat karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi.

Semua itu gara-gara video berdurasi 31 detik yang merekam aktivitas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu 27 September silam. Buni dituding telah mengedit dan menyebarluaskan video tersebut sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Saya lihat Facebook di handphone murah saya. Di timeline saya muncul dari mediankri. Terus saya tonton, saya klik. Saya terkejut,” ujar Buni menceritakan awal mula dia mendapatkan video yang disebarkannya.

Dosen di London School of Public Relation ini tidak menyangka video yang diunggahnya berbuntut panjang. Dia merasa hidupnya kacau semenjak namanya diseret-seret dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok. Banyak orang yang menyerangnya, bahkan ia mengaku diteror. (Di dunia maya, banyak yang ingin Buni Yani dipenjarakan. Baca kisahnya: Ribuan Orang Dukung Buni Yani Diproses Hukum)

Simak wawancara Buni dengan Adrian Taher dari tirto.id pada 7 November 2016 di Wisma Kodel, Jakarta.

Dari mana awalnya Anda tahu video pidato Ahok soal al-Maidah itu?

Dari Pemda, kan, awalnya. Terus beredar di mana-mana, terus ada orang yang potong. Dari edisi panjang jadi edisi pendek.

Saya pulang ngajar jam 9 hari Kamis tanggal 6 Oktober, saya pulang jam 9 malam sampai di rumah jam 11 malam. Jam 10 atau 11 dari Sudirman ke Depok. Makan dulu. Sambil makan sambil saya lihat Facebook di handphone murah saya. Di timeline saya muncul tuh dari mediankri. Terus saya tonton, saya klik. Saya terkejut. Wuih. Sebagai orang yang pernah belajar jurnalisme, pernah jadi wartawan, segala macam itu motif beritanya tinggi banget. Kok ada pejabat publik kayak begitu, ya, Mas?

(Sudah banyak orang dipenjara karena dugaan penistaan agama. Simak cerita lengkapnya: Mereka Dipenjara Karena Menista Agama)

Saat itu tahu video tersebut sudah ngehits?

Gak tahu saya. Mungkin karena di mediankri sudah banyak yang nge-like sama share juga

Kapan Anda tahu kalau video yang anda bagikan itu menjadi heboh?

Ya kemudian ada diskusi sana-sini. Kemudian ada share saya jadi provokator, menyebarkan SARA, itu yang hari Jumat (7 Oktober) sudah menyebar. Jumat besoknya. Sorenya saya dilaporkan ke polisi. Dalam sekian jam saya sudah dilaporkan ke polisi.

Sebenarnya video itu Anda edit atau tidak, sih?

Saya tidak mempunyai kemampuan editing, tidak punya alat editing. Saya sibuk mengajar seminggu penuh pada hari-hari itu.

Anak atau istri ngomong apa kepada Anda saat awal-awal heboh?

Mereka saya batasi. Kita nggak punya tv di rumah. Ada tv tapi nggak nonton. Sama sekali zero tv.

Jadi awalnya keluarga gak ada yang tahu?

Enggak ada sama sekali. Istri saya nggak main Facebook, punya akun tapi sudah gak lagi. Nggak tahu apa-apa. Nggak punya tv.

Bagaimana respons keluarga saat tahu Anda dilaporkan ke polisi?

Terkejut. Ya, gimana gitu. Tetapi anak-anak kan nggak mengerti apa-apa.

Anda punya anak berapa?

Yang nomor satu sudah kelas 2 smp, satunya lagi masih kelas 2 SD.

Ada tekanan kepada anak-anak?

Nggak sih. Mereka senang-senang saja. Ya, teman-temannya yang biasa nanya, temannya kan nonton TV. Oh bapaknya Buni Yani ya? (tertawa) Rupanya teman-temannya yang tahu, baru anak saya yang tahu.

Tahu hari itu juga?

Ya enggak, setelah sekian hari. Sekitar tanggal 11 (Oktober), lah.

Keluarga komplain?

Ada tekanan, ya. Istri saya sangat tegar, tapi beberapa terakhir serangannya itu di luar batas, kalau dilihat kalau buka google ketik Buni Yani itu sudah 99 persen [negatif].

Sekarang masih mengajar?

Saya mengundurkan diri. Sudah sebulan yang lalu. Nggak ngajar sebulan. Dilaporkan polisi hari Jumat sore (7 Oktober), besoknya, Sabtu, saya ke kampus. Saya diteror di kampus. Akhirnya saya mengundurkan diri.

Diteror siapa?

Saya tidak tahu, tapi saya lihat mungkin ada operasi tertentu yang menyasar ini. Saya sudah nggak punya pekerjaan, di keluarga saya jadi banyak pikiran, segala macam. Sepertinya saya dijadikan target operasi. Bayangin, saya di-bully 24 jam di Twitter—sudah sebulan. 24 jam. Gila! masa orang nggak tidur, sih?

(Jika para penentang Ahok menuntut Ahok menjadi tersangka, maka para pendukung Ahok banyak mendesak polisi untuk mentersangkakan Buni Yani. Perang opini berlangsung sengit. Bahkan ada duel dan perang petisi online. Baca kisahnya: Duel Dua Petisi Untuk dan Tentang Buni Yani).

Sudah berapa lama mengajar di London School of Public Relation?

12 tahun. Tahun 2004.

Mengajar apa?

Saya sudah dua tahun ngajar Ilmu Komunikasi Pembangunan sama Sistem Media Indonesia. Di kuliah Sistem Media Indonesia, saya mengajar undang-undang tadi.

Saya sudah khatam 2 tahun sama mahasiswa, jadi tahu isi UU ITE bersama mahasiswa, UU Penyiaran, UU Pokok Pers nomor 40/99, UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, itu sudah semua kita bahas. Terus apakah saya bodoh masuk penjara? Apakah betul saya masuk penjara karena otak-atik itu?

Anda sudah tidak bertemu mahasiswa, dong?

Ada mantan mahasiswa. Ada wartawan di Metro tv, mantan mahasiswa saya kerja di Metro tv jadi wartawan, nanya saya via chat. Ada yang lewat Whatsapp, macam-macam bentuknya.

Dari rekan kerja?

Gak cuma itu. Kalau Anda lihat dukungan ke saya itu banyak sekali. Itu dari Sabang sampai Merauke, dari Australia, dari Amerika, kawan-kawan lama. Bahkan ada yang menawarkan pengacara itu kawan lama.

Anda merasa dukungan pada Anda kuat?

Oh, ya. Saya nggak bisa jalan sendiri, Mas. Itu tadi dari Bandung ada yang datang. Kita enggak kenal, loh. Dikiranya bukan untuk wartawan, makanya dia datang. Kalau kita ini bisa penuh itu.

Setelah keluar dari London School Public Relation sebagai pengajar, mau ngapain?

Saya menulis, undangan diskusi. Saya juga menulis tesis S3 saya di Belanda.

Apakah Beasiswa Anda terganggu karena proses hukum Anda saat ini?

Nggak. Saya kira tidak ada kaitannya. Kalau ini murni warga negara. Sekolah, sekolah saja. Ini kan bukan kasus hukum, tapi karena ini dikaitkan dengan politik saja.

Anda sempat dekat dengan orang Jasmev (jaringan relawan Jokowi)?

Nggak. Saya sempat berkomunikasi lewat media sosial. Teman, sih.

Kenal karena waktu Pilgub 2012 Anda mendukung Jokowi-Ahok?

Oh, iya. Kita sama-sama dukung Pak Ahok dan Jokowi, tapi teman-teman tidak melihat itu.

Saya dulunya pendukung Pak Jokowi sama Pak Ahok. Sejak gubernur, saya sudah menjadi pendukung. Waktu Pilpres 2014, saya masih di Belanda, saya nyoblos di Kedubes Indonesia Deen Haag. Itu yang saya coblos Pak Jokowi. Tapi setelah Pak Jokowi nggak terlalu baik, kita kritik.

Begitu pula dengan Pak Basuki. Ada hal-hal baik, ya, kita puji. Sekarang penggusuran, berkata kurang baik kita kritik, termasuk video kemarin, kita kritik. Orang keluar konteks.

Sempat ditawari jadi tim sukses?

Nggak sama sekali. Mereka tidak melihat potensi dalam diri saya (tertawa). Saya enggak ke sana. Anda lihat wajah saya ini? (tertawa). Saya pokoknya sudah jadi guru, Mas. Saya senang mengajar, membimbing. Itu sudah indah.

Saya nggak berani masuk penjara, Mas. Sudah punya istri.

Baca juga artikel terkait KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Mild report
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS