tirto.id - Nama pemilik akun Facebook Buni Yani mendadak tenar setelah mengunggah rekaman video gubernur DKI Jakarta (non-aktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengutip surat Al Maidah ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu, akhir September lalu. Rekaman yang ditranskip dan diberi judul “Penistaan terhadapa agama?” itu langsung viral di media sosial.
Singkat cerita, unggahan Buni menuai polemik karena mengandung isu SARA, di mana Ahok tertuduh sebagai orang yang telah menistakan agama lantaran dinilai telah menghina Alquran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa terkait hal ini.
Relawan Ahok yang tergabung dalam Komunitas Advokat Pendukung Ahok-Djarot (Kotak Adja) pun melaporkan Buni Yani ke Polda Metro Jaya karena dinilai secara sengaja mengedit rekaman video Ahok soal surat Al Maidah 51 yang kemudian diartikan sebagai tindakan penghinaan terhadap Islam.
Buni tidak terima dirinya dilaporkan ke polisi. Ia bersama kuasa hukum dari Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) yang diketuai Aldwin Rahadian melaporkan balik Ketua Kotak Adja, Muannas Al Aidid dan Anggota Bidang Kampanye dan Sosialisasi Tim Pemenangan Ahok-Djarot, Guntur Romli. Mereka dilaporkan dengan dugaan memfitnah dan mencemarkan nama baik Buni.
Saat ini, kasus yang menjerat Buni telah memasuki babak baru. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Polisi Boy Rafli Amar mengatakan, pemilik akun Facebook Buni Yani berpotensi menjadi tersangka dalam dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
“Buni Yani dilaporkan sebagai terlapor. Itu berpotensi dia menjadi tersangka juga dengan mengunggah video dan penyebarluasan lewat Facebook dia. Itu bisa menjadi sesuatu yang viral, dan kemudian menyulut kemarahan publik,” kata Boy.
Apalagi dalam sebuah program talkshow yang disiarkan stasiun televisi swasta, pengunggah pertama rekaman video Ahok tersebut mengakui ada kesalahan saat mentranskrip kata-kata Ahok dalam video hasil tayang ulangnya. Kesalahan yang dimaksud adalah tidak adanya kata "pakai".
Dalam kasus ini, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah memeriksa Ahok sebagai saksi pada Senin (7/11/2016). Bareskrim juga memastikan akan memeriksa Buni, orang yang telah mengunggah potongan rekaman video Ahok saat mengutip surat Al Maidah yang mengundang polemik itu.
Namun, polisi belum menetapkan status Buni dalam proses hukum perkara penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok ini. “Pasti akan dimintai keterangan. Standar penyelidikan. Ini akan dilaksanakan di Polda Metro,” kata Kepala Bareskrim Polri, Komjen Pol Ari Dono Sukmanto seperti dikutip Antara, Senin (7/11/2016).
Cari Dukungan Lewat Petisi
Di tengah proses hukum yang sedang berjalan, Paguyuban Diskusi dan Masyarakat Keadilan Indonesia berlomba-lomba menggalang dukungan melalui petisi di laman www.change.org. Tuntutan antara keduanya bertolak belakang satu sama lainnya. Jika yang satu mendorong agar Buni diproses hukum, maka yang lainnya justru mendesak agar proses hukum Buni dihentikan.
Misalnya, Paguyuban Diskusi meminta agar aparat kepolisian dan kejaksaan memproses Buni Yani sebagai biang keladi yang telah memelintir ucapan Ahok dan kemudian menjadi sumber dari kegaduhan. Petisi ini telah ditandatangani oleh 133.671 pendukung (data per 7 November, pukul 10.17 WIB).
Mereka menilai transkrip editan Buni ini menjadi pedoman utama untuk melaporkan Ahok ke pihak berwajib, yang mana Ahok sendiri sudah bersedia untuk diperiksa dan telah minta maaf atas salah kaprah dan kekisruhan yang ditimbulkannya. Sementara Buni sebagai sumber utama kegaduhan justru belum diproses hukum. Padahal perbuatannya memelintir transkip video tersebut telah menyebabkan kegaduhan dan membodohi publik.
Karena itu, dalam petisi yang diinisiasi oleh Paguyuban Diskusi ini menegaskan, Buni dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan delik aduan penipuan.
Apalagi, dalam transkrip yang ia sebarkan melalui akun Facebook itu disertai judul bombastis dari tautan yang dibagikannya, yaitu dengan kalimat pertanyaan “Penistaan Agama?” yang tidak bisa tidak memang mempertajam pesan kepada calon gubernur petahana, Ahok, sebagai pelaku penistaan agama.
Dalam petisi itu juga disebutkan, bisa saja Buni berkelit bahwa bukan dirinya yang pertama mengunggah video tersebut. Akan tetapi, yang pertama kali menggunakan kalimat “penistaan agama”, walaupun dalam bentuk tanda tanya, adalah pria kelahiran Lombok, 16 Mei 1969, itu.
Apa yang dilakukan lulusan magister Ohio University menimbulkan efek yang mengakibatkan bangkitnya kemarahan mayoritas Muslim. Atas dasar itulah, petisi yang diinisiasi Paguyuban Diskusi mendesak pihak kepolisian agar segera melakukan proses hukum terhadap Buni.
Sementara petisi lain justru meminta aparat kepolisian menghentikan proses hukum yang menjerat Buni Yani. Melalui petisi di laman www.change.org, Masyarakat Keadilan Indonesia menggalang dukungan publik agar menandatangani petisi dengan judul “Save Buni Yani: Setop Proses Hukumnya.”
Petisi yang telah ditandatangani oleh 11.777 pendukung (data per 7 November, pukul 10.17 WIB) ini tidak sepanjang petisi yang diinisiasi Paguyuban Diskusi. Namun, petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian itu memuat pesan kuat: Buni tidak bersalah dalam mengunggah video Ahok.
Mereka menilai, Buni Yani hanya menjalankan tugasnya sebagai warga negara, akademisi dan peneliti media yang dijamin oleh kebebasan berpendapat sesuai dengan UUD 1945. “Segala tuntutan kepadanya akan merupakan preseden yang buruk bagi penegakan hukum, kebenaran dan keadilan di Tanah Air,” demikianlah petisi tersebut dipungkasi.
Bagi mereka, Buni Yani tidak ada urusannya dengan kemaraham umat Islam kepada Ahok. Bukan tindakan Buni Yani yang jadi pangkal soal, tapi mulut Ahok sendiri yang menjadi pemicu. Pendeknya, tindakan Buni Yani itu bukanlah penyebab kemarahan umat Islam.
Kekuatan Petisi
Pertanyaannya adalah seberapa besar petisi di laman www.change.org itu memengaruhi kebijakan?
Sebagai negara demokrasi, pemerintah tentu harus memperhatikan aspirasi publik. Konstitusi menjamin hak untuk menyampaikan pendapat dan hak itu dilindungi sebagai salah satu prinsip demokrasi. Bentuknya bisa macam-macam, bisa berupa dukungan, saran, atau bahkan penolakan pada sebuah keputusan atau tindakan yang terjadi.
Di era teknologi informasi, medium yang bisa digunakan untuk menyampaikan aspirasi pun beragam, salah satunya melalui internet atau petisi online. Saat ini, salah satu instrumennya adalah website petisi online www.change.org yang banyak digunakan di berbagai negara sejak mulai diperkenalkan secara global pada tahun 2012. Di Indonesia, www.change.org mendapatkan respons yang sangat baik.
Apakah efektif memengaruhi kebijakan? Tidak semua petisi di laman www.change.org efektif, namun tidak sedikit contoh kasus dukungan yang memengaruhi opini publik sehingga mendorong proses hukum lebih lanjut. Misalnya, kasus Prita Mulyasari dengan gerakan dukungan “Koin Prita” atau sengketa KPK vs Polri yang lazim disebut “Cicak vs Buaya”.
Contoh terbaru adalah petisi dukungan terhadap Gloria Natapraja Hamel sebagai Paskibraka 2016. Petisi yang ditandatangi oleh 25.138 pendukung ini akhirnya meluluhkan hati pemerintah yang semula tidak mengizinkan Gloria menjadi bagian Paskibraka yang bertugas dalam upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2016.
Bagaimana dengan adu petisi untuk Buni? Secara garis besar, ada dua kelompok yang saling berlawanan dan mencari dukungan melalui petisi di laman www.change.org. Mereka mencoba memengaruhi publik dan menekan pihak kepolisian agar memenuhi harapan mereka. Sukses tidaknya petisi tergantung sejauh mana dukungan publik untuk memengaruhi kasus yang sedang diproses di kepolisian ini.
Dalam konteks ini, Polri diuji keprofesionalannya untuk menangani kasus yang sedang menjadi perhatian publik. Sementara publik hanya bisa berharap, kasus yang melibatkan Buni Yani ini diselesaikan secara profesional, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa dipengaruhi oleh tendensi dan kepentingan politik.
Mustahilkah hal itu?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS