tirto.id - Sosok Said Didu cukup sering mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi termasuk soal pembelian 51 persen saham Freeport oleh BUMN Inalum sebesar Rp56 triliun. Bagi pemerintah, capaian akuisisi Freeport sebagai prestasi, tapi bagi Said Didu dianggap biasa aja karena ada peran pemerintah sebelumnya.
Kritiknya yang keras di tengah posisi Said Didu yang berada dalam jajaran komisaris BUMN tentu membuat pemegang saham gerah dan ia dianggap "tak sejalan". Menteri BUMN Rini Soemarno mencopot jabatan Said Didu sebagai komisaris PT Bukit Asam Tbk. akhir Desember 2018 lalu.
Kini, Said Didu tercatat menjabat sebagai Perekayasa Madya di BPPT sebagai karier awalnya. Ia sempat menjadi Stafsus Menteri ESDM 2014-2016, Ketum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) 2009-2012, Ketum Alumni IPB 2008-2013, Ketua ICMI 2003-2005, dan DPR/MPR 1997-1999.
Pengalamannya yang pernah menjabat Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010, tentu sangat paham dengan jeroan BUMN-BUMN, sehingga menentukan sikapnya dalam merespons kinerja BUMN masa kini. Apakah BUMN jadi alat kekuasaan penguasa atau benar-benar untuk kepentingan negara, seperti yang jadi anggapannya?
Tirto berkesempatan berbincang dengan Said Didu di kediamannya yang berlokasi di Jakarta Selatan, pada Senin (31/12) lalu.
Anda dianggap tidak sejalan dengan pemerintah sebagai orang yang ada di pemerintah, tanggapan Anda?
Jadi begini ceritanya itu. Saat RUPSLB [PT Bukit Asam Tbk.], salah satu deputi bilang ke saya bahwa Bu Menteri BUMN [Rini Soemarno] memutuskan saya tidak lagi di dalam. Saya bilang bagus itu. Lalu, saya lihat berita acaranya, namun ternyata tidak disebutkan alasannya.
Perlu Anda ketahui, bahwa saya lah yang membuat apabila ada komisaris atau direksi yang diganti namun belum habis jabatannya, maka sesuai UU itu harus diberitahu alasannya secara tertulis. Itu ditandatangani.
Waktu saya masih Sekretaris Kementerian BUMN (Sesmen), ada dua berita acara yang disiapkan. Satu yang menerima, satu lagi yang tidak menerima. Kalau tidak menerima, saya persilakan ia untuk PTUN-kan saya. Ini agar tidak menjadi sewenang-wenang.
Lalu setelah itu, deputi tersebut bicara dengan Bu Menteri, sehingga akhirnya keluar alasan pemberhentian saya, yakni tidak sejalan dengan kementerian BUMN. Nah, yang menarik, baru kali ini ada alasan istilah tidak sejalan.
Waktu saya masih Sesmen, itu saya membuat bahwa semua orang harus kontrak kinerja. Supaya tidak ada subjektivitas saat mengambil keputusan. Jadi jika kinerja tidak tercapai, itu bisa diberhentikan. Supaya fair. Jadi tidak ada yang namanya tidak sejalan.
Selain itu, alasannya juga diumumkan di RUPSLB. Biasanya tidak pernah diumumkan. Saat RUPSLB, bahkan ada peserta yang bertanya, apa maksud dari istilah tidak sejalan itu. Saya bilang, saya juga tidak tahu.
Meski begitu, saya akui banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan Menteri BUMN. Saya objektif saja, kalau tidak sejalan ya bilang tidak sejalan kalau sejalan ya sejalan.
Apa saja yang tidak sejalan versi Anda?
Ada tiga hal yang utama. Pertama, saya tidak sejalan dengan seenaknya BUMN menambah utang. Kedua, tidak sejalan dengan pemberian beban atau penugasan terhadap BUMN yang melanggar undang-undang. Ketiga, saya tidak sejalan terkait pengangkatan direksi atau komisaris yang prudent. Itu saya tidak sejalan.
Sekarang ini utang BUMN meningkat karena banyak mendapat penugasan dari pemerintah. Untuk bangun jalan tol, padahal tidak layak secara ekonomi. Disuruh bangun kereta api cepat, tapi tidak layak juga.
Selain itu, sebagaimana aturan berlaku, apabila memberikan penugasan kepada BUMN dan tidak layak secara ekonomi maka pemerintah harus mengganti semua biaya ditambah margin yang layak. Nah, ini enggak ada.
Seperti BUMN satu harga, itu Pertamina enggak dapat ganti. Hancurlah Pertamina. BUMN akan hancur kalau begini caranya. Saya kritik ini karena memang saya ingin melindungi BUMN. Jadi clear kok, bahwa ada pelanggaran undang-undang.
Utang BUMN sekarang ini juga sudah naik Rp2.000 triliun, tapi revenue naik Rp100 triliun. Ini berarti ada masalah. Masak utang melonjak seperti itu, tapi revenue naik sedikit. Ini ngeri benar utangnya.
Bukankah utang BUMN demi hal produktif seperti infrastruktur?
Sebenarnya sah-sah saja berutang itu. Saya setuju. Hanya saja, untuk berutang itu perlu ada studi kelayakan. Nah, selama ini enggak ada. Contoh, pembangunan jalan tol. Tahu enggak, jalan tol yang untung di Indonesia itu hanya di Jakarta dan sekitarnya saja. Coba Tol Trans Jawa sekarang, itu sopir truk barang pada mau lewat enggak ? Enggak ada.
Ihwal pemilihan komisaris atau direksi BUMN yang tidak prudent, bisa jelaskan?
Saya kasih tahu bahwa saat ini ada orang yang sudah empat kali menjabat direktur utama di perusahaan BUMN yang berbeda, hanya dalam waktu tiga tahun. Jadi ini pasti tidak prudent. Saya enggak tahu kenapa seperti itu.
Namun, yang pasti, kondisi ini membuat was-was pejabat karena tidak ada kepastian, dan bisa menimbulkan mafia pejabat. Waktu saya masih di Kementerian BUMN, enggak ada yang seperti ini, sudah lima tahun menjabat baru diganti. Kecuali kalau ada masalah betul, baru bisa diganti di tengah jalan.
Pada pemilu 2009, tim sukses dari SBY banyak sekali dari komisaris BUMN. Saya juga kasih pilihan ke tim sukses JK. Mau pilih komisaris atau sebagai tim sukses. Saya siapkan surat pengunduran diri dengan materai. Tinggal tanda tangan.
Mundur sebagai komisaris atau tim sukses, termasuk Sutanto [mantan Kapolri Jenderal Polisi] yang menjabat sebagai komisaris utama Pertamina. Lalu ada lagi Andi Arief, Raden Pardede yang mundur dari komisaris.
Saya maunya BUMN seperti itu. Bukan menjadi badan milik penguasa. Kamu bisa tanya Andi Arief atau lainnya. Sudah saya praktikkan itu, saat saya masih bekerja di Kementerian BUMN.
Saya juga mau cerita. Waktu menjadi Sesmen, saya pernah mendapatkan 1.000 CV dari tim sukses, relawan dan macam-macam. Untuk menjadi komisaris atau direksi BUMN. Saya bilang ini enggak bisa. Harus profesional. Pak SBY juga enggak pecat saya tuh.
Ada lagi kriteria saya buat relawan atau tim sukses yang ingin menjadi komisaris atau direksi. Selain harus profesional, mereka hanya boleh ditempatkan di tempat dengan gaji di bawah presiden, seperti PT Pos Indonesia itu Andi Arief.
Bagaimana SOP dalam memilih komisaris atau direksi BUMN?
Ada itu SOP-nya saya bikin dulu. Ada 10 tahap seleksi. Tapi yang saya dengar kemarin, ada salah satu dirut BUMN terbesar, namun fit and proper tes-nya itu selama perjalanan di mobil saja. Gila ini. Jadi cuma formalitas saja. Habis turun, keluar SK-nya.
Siapa?
Ya sudahlah [enggak dijawab]. Jadi kelihatannya BUMN sekarang ini, yang terjadi adalah si A kalau mau jadi direksi, ditetapkan dulu setelah itu baru dilakukan proses. Jadi proses itu cuma formalitas.
Begitupun saat memberhentikan. Ditetapkan dulu pemberhentian, baru dicari alasannya. Buktinya saya kan. Ini kan lucu, aneh sekali. Jadi memang keputusan yang diambil itu betul-betul subjektif.
Ihwal akuisisi saham Freeport Anda anggap terlalu dibesar-besarkan, kenapa?
Jadi begini, saya sebenarnya ingin menghindari pembangunan yang mengarah ke overdosis politik. Itu yang saya tidak mau terjadi. Namun, agaknya malah sudah terlihat gejala-gejala pemimpin yang menyalahkan pemimpin sebelumnya.
Saya sering buat kultwit supaya masyarakat bisa berpikir jernih. Jokowi selama ini sudah sering menyalahkan SBY [Susilo Bambang Yudhoyono]. Padahal, ia melanjutkan hal-hal yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.
Sama seperti jalan Tol Trans Jawa. Itu kan sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan Soeharto. Saya lihat pemerintah sekarang ini kerap mengecilkan pemerintahan sebelumnya. Ini enggak boleh.
Istilahnya begini, orang lain mencangkul, lalu pada saat ada orang lain memanen, mengaku juga ikut mencangkul. Padahal, ia memanen itu karena waktunya memanen, bukan karena setelah mencangkul.
Soal pembelian 51 persen saham Freeport. Siapapun pemerintahannya, [pembelian 51 persen saham Freeport] ini sebenarnya pasti terjadi..pasti terjadi. Nah, saya lihat, gaya pemerintahan sekarang seperti itu. Ini juga kerap dilakukan terhadap tol, bandara, kereta api, pelabuhan.
Jadi Anda meyakini akuisisi 51 persen saham Freeport suatu keniscayaan siapapun yang berkuasa?
Saya katakan semua orang ingin 51 persen, sejak era Soeharto. Sejak kontrak karya tahun 1991. Semua ingin 51 persen, termasuk saya. Itu tujuannya. Namun, caranya berbeda-beda. Saat era SBY, kala itu pemerintah menghadapi simalakama.
UU Minerba ditetapkan 2009 dan berlaku pada 2014. Namun, kontrak karya yang sudah berjalan tidak bisa diganggu. Karena kontrak karya baru habis 2021. Untuk itu, SBY tidak bisa melakukan pembelian. Kemudian, pemerintah SBY membuat semacam MoU.
MoU ini dilakukan supaya nanti pada 2019 bisa terjadi perundingan. Jadi itu adalah basis perundingan. Lucunya, basis perundingan tersebut dipakai Jokowi, tapi kok SBY yang justru disalahkan.
Akuisisi 51 persen saham Freeport oleh BUMN Inalum dengan utang, ada yang salah?
Sebenarnya banyak skenario yang bisa ditempuh untuk mengambil 51 persen saham Freeport itu. Pada waktu 2016, apabila ingin masuk sekaligus, maka kita harus ikut investasi. Nilainya itu sampai US$25 miliar.
Kalau kita masuk kala itu, bisa-bisa kita menghadapi persoalan keuangan yang sangat besar. Kita enggak mau begini. Lalu kami cari cara lain. Skenario pertama adalah menekan dari sisi lingkungan. Supaya bisa dapat diskon besar-besaran.
Lalu kalau tidak bisa, kita coba bayar sebagian dividennya, tapi bebas investasi. Masuk bertahap istilahnya. Ketiga, masuk sesuai dividen saja lah, supaya tidak kena beban investasi, tapi tujuannya tetap 51 persen.
Itu kira-kira skenarionya dulu itu. Kalau skenario sekarang, masuk sekaligus tidak melalui uang negara, tapi utang. Saya bilang kalau ada yang bilang Jokowi berhasil [karena akuisisi Freeport], SBY justru lebih berhasil.
Kenapa? Pertama, SBY berhasil mengambil Inalum 100 persen pakai APBN enggak pakai utang. Dulu ambil Cemex (perusahaan semen global yang berpusat di Meksiko) oleh swasta enggak ada ribut-ribut, enggak dijadikan pencitraan. Ini [akuisisi Freeport] ambil dari utang tapi dijadikan pencitraan.
Akuisisi Freeport oleh BUMN Inalum apa plus minusnya?
Untuk Freeport sedikitnya mendapatkan 5 keuntungan. Pertama, mendapatkan uang sebesar Rp56 triliun. Kedua, mendapatkan hak pengendali meskipun minoritas. Ketiga, mendapatkan kepastian perpanjangan sampai 2041. Keempat, mendapatkan kepastian pajak. Lalu terakhir, terbebas dari ancaman denda lingkungan.
Sementara bagi Indonesia, hanya mendapatkan utang, saham, dan harapan serta kewajiban investasi. Jadi apakah ini adil buat Indonesia?
Editor: Suhendra