tirto.id - Nama saya Ichsan Rachmat Taufiq dan ini adalah kisah perjalanan saya menjadi juara FIFAe World Cup 2024 featuring Football Manager.
Tentu, semua perjalanan memiliki titik mula. Bagi saya, titik mula dari semua ini adalah AC Milan dan Manchester United. Saya tumbuh besar ketika kedua klub itu tengah berjaya. Hingga akhirnya, saya pun tunduk di hadapan kedua "Iblis Merah" itu.
Paolo Maldini adalah idola pertama saya. Maka ketika masih bocah dulu, saya sering bermain sebagai bek sembari membayangkan bahwa saya adalah sosok Maldini yang begitu sigap menggalang pertahanan sekaligus menghalau serangan lawan.
Dalam benak saya, lapangan tempat saya bermain dulu pun jadi terasa seperti San Siro yang megah dan bersejarah. Yah, meskipun saya sebenarnya sadar bahwa lapangan-lapangan itu sering kali jauh dari kata layak. Namun, apalah arti kenyataan ketika dihadapkan pada imaji seorang bocah?
Maldini bukan satu-satunya idola saya. Seiring bertambahnya usia, muncullah pula kekaguman pada sosok Edwin van der Sar yang kala itu tengah membela Manchester United. Kebetulan, di usia itu saya sudah mulai beralih dari sepak bola ke futsal. Alhasil, saya pun mencoba menjadi sosok Van der Sar lewat olahraga ini.
Meski mencintai sepak bola dan cukup rajin bermain, olahraga ini tak pernah benar-benar saya tekuni. Seperti kebanyakan orang Indonesia, saya cuma menjadikannya sebagai hobi. Sementara itu, keseharian saya, ya, seperti kebanyakan orang Indonesia juga. Bangun di pagi hari, lalu bekerja, sebelum akhirnya pulang pada sore hari. Begitu setiap hari sampai akhirnya saya mendapat hadiah tak terduga.
Suatu hari di akhir 2023, saya mendapatkan sebuah notifikasi dari Apple Arcade bahwa gim Football Manager (FM) Touch edisi 2023 telah digratiskan. Tanpa pikir panjang, saya pun mengklaim gim gratisan tersebut dan ternyata saya memang ditakdirkan untuk memainkan permainan ini.
Saya yang sama sekali tak pernah menyentuh gim FM langsung ketagihan. Saya tak cuma ketagihan mengulik taktik, pemilihan pemain, sistem latihan, serta kondisi keuangan klub, tapi juga kemudian ikut bergabung dalam komunitas pemain FM. Di Indonesia, komunitas terbesar bisa Anda temukan di Discord dalam server @fmciki.
Lewat @fmciki saya belajar banyak sekali. Para sesepuh di sana benar-benar tak pelit ilmu. Mulai dari pemilihan peran pemain, bagaimana cara melatih pemain, sampai menentukan perubahan strategi di tengah pertandingan, semua saya pelajari dari mereka. Sampai akhirnya, muncul rasa haus dan penasaran yang baru. Sebab, saya menyadari bahwa FM yang saya mainkan kala itu memang bukan “FM sungguhan".
FM Touch sendiri merupakan versi Football Manager yang khusus dirilis untuk Nintendo Switch serta gawai Apple via Apple Arcade. Selain itu, ada FM Mobile yang diperuntukkan bagi pengguna smartphone, khususnya Android, serta FM Console yang diciptakan untuk para gamer konsol seperti Xbox dan PlayStation. Semua versi ini tidaklah selengkap "FM sungguhan" yang memang cuma bisa dimainkan melalui PC atau laptop.
Maka ketika FM 24 akhirnya dirilis, saya tak lagi memilih untuk mendapatkan versi mininya. Saya benar-benar membeli versi lengkapnya dari Steam untuk dimainkan di komputer. Dan ini, bagi saya, adalah point of no return. Pada titik ini, FM menjadi bagian yang benar-benar tak terpisahkan dari hidup saya.
Menjajaki Kompetisi
Awalnya, FM 24 menjadi cara saya untuk menyalurkan rasa penasaran terhadap Manchester United yang performanya tak kunjung beres di bawah komando Erik ten Hag. Saya menggunakan formasi 4-2-3-1, persis seperti pelatih asal Belanda itu. Namun, ada beberapa perubahan yang saya terapkan dalam taktik saya.
Hasilnya seperti apa, itu tidak penting. Yang penting adalah, dari sini, saya mulai percaya diri untuk mengikuti kompetisi.
Saya memberanikan diri ikut kompetisi untuk pertama kalinya pada Januari 2024 lalu. Jika sebelumnya cuma aktif di komunitas, kali ini saya benar-benar menerjunkan diri ke Kawah Candradimuka.
Mengapa saya menyebut kompetisi FM itu sebagai Kawah Candradimuka? Karena, tim asuhan saya babak belur di keikutsertaan yang pertama, ha ha ha.
Sewaktu kualifikasi, saking buruknya performa saya, saya harus rela bermain di divisi tiga. Sudah begitu, di musim pertama itu, saya pun gagal juara divisi tiga.
Pengalaman itu tidak menyurutkan tekad saya untuk terus berbenah. Sekitar tiga bulan kemudian, musim kedua saya pun dimulai dan hasilnya jauh lebih baik. Tak cuma bisa berlaga di divisi satu, saya juga bisa melalui musim tanpa kekalahan dalam 22 pertandingan. Keberhasilan ini membuat saya semakin yakin akan kemampuan saya menangani tim di FM.
Sampai akhirnya, tibalah pengumuman dari PSSI dan komunitas Football Manager Indonesia (ID FM) itu. Di bulan Juli, FM resmi dijadikan salah satu cabang e-sports oleh FIFA dan Indonesia masuk dalam daftar negara yang diundang untuk ikut serta. Pengumuman dari PSSI dan ID FM itu merupakan pengumuman untuk ikut dalam seleksi nasional yang pemenangnya nanti bakal jadi wakil Indonesia di Piala Dunia FM pertama.
Jadilah kemudian saya mendaftarkan diri. Dari 300 pendaftar, terpilihlah 112 orang untuk berkompetisi di Jakarta. Semua peserta waktu itu diwajibkan menggunakan tim yang sama, yaitu Timnas Indonesia. Lalu, dari 112 peserta tadi tersaringlah 13 peserta teratas plus tiga wild card. Tiga wild card itu merupakan para sesepuh FM Indonesia yaitu FM Garuda, Tumini, dan Nagabara. Jadi, total ada 16 peserta yang berlaga di babak utama.
Nah, sejak di babak utama ini, kami sudah menggunakan sistem kompetisi yang nantinya bakal digunakan pula di Piala Dunia. Setiap peserta diharuskan menjalani career mode dan hasilnya kemudian dinilai oleh dewan juri berdasarkan poin-poin yang sudah ditentukan. Misalnya, juara liga bernilai 50 poin dan juara Liga Champions bernilai 15 poin. Kira-kira seperti itu.
Ketika itu, karena keterbatasan waktu, kami hanya bisa memainkan satu musim career mode. Kemudian, dari 16 peserta yang berlaga, tersaring delapan peserta dan dititik ini kami mulai menggunakan mode fantasy draft sampai babak final.
Teman-teman mungkin sudah bisa menebak akhir dari cerita seleksi di Jakarta tadi. Saya, Ichsan, keluar sebagai pemenang, sementara posisi runner-up diraih Budi Muhamad Manar Hidayat atau Manar. Kami berdualah yang akhirnya menjadi wakil Indonesia di FIFAe World Cup 2024 featuring Football Manager. Saya bertindak sebagai manajer dan Manar sebagai asisten manajer.
Menuju Piala Dunia FM Pertama
Harus diakui, persiapan kami waktu itu memang serba mepet dan mendadak karena, ya, kompetisi Piala Dunia FM ini baru pertama kali digelar. Bahkan, saking mendadaknya, saya dan Manar hampir saja gagal berangkat karena terganjal visa. Untungnya, PSSI benar-benar suportif.
Rencana awalnya, saya dan Manar bakal didampingi dua perwakilan dari PSSI. Namun, persoalan visa tadi membuat PSSI mengalihkan fokus sepenuhnya kepada kami. PSSI bahkan sampai harus berkirim surat langsung ke Football Association (FA) untuk meminta bantuan agar visa kami segera diterbitkan.
Akhirnya, hanya sepuluh jam sebelum waktu keberangkatan, visa kami akhirnya terbit. Visa itu pun hanya untuk saya dan Manar sehingga kami sama sekali tidak mendapat pendampingan dari PSSI.
But the show must go on. Saya dan Manar ketika itu tidak langsung mendarat di Liverpool karena memang tidak ada penerbangan menuju ke sana. Kami berdua harus mendarat di Manchester sebelum dijemput oleh perwakilan FIFA menuju Liverpool.
Sebenarnya, tidak ada target apa pun yang dibebankan oleh PSSI kepada saya dan Manar. Sekali lagi, karena Piala Dunia FM ini baru pertama kali digelar, kami cuma diberi pesan supaya memberikan yang terbaik. Ini, sedikit banyak, membuat kami tidak merasa begitu terbebani. Pokoknya, bagi kami, yang paling penting adalah mengerahkan kemampuan terbaik.
Meski begitu, bukan berarti segalanya berjalan mulus. Ketiadaan pendamping dari PSSI membuat kami sedikit kerepotan ketika berkomunikasi. Pasalnya, jujur saja, saya agak kesulitan mencerna ucapan bahasa Inggris berlogat Britania.
Walhasil, seorang penerjemah dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Liverpool pun akhirnya harus didatangkan untuk membantu kami berkomunikasi, terutama saat harus berhadapan dengan wartawan.
Selain itu, persoalan lain yang mesti kami hadapi adalah intensitas dukungan dari suporter tim-tim lawan. Pemain dari Prancis dan Jerman, khususnya, waktu itu mendapat dukungan luar biasa besar dari suporter mereka. Walaupun ini "cuma" Piala Dunia FM, tetap ada suporter yang ikut mendukung perwakilan negara-negara peserta. Sementara itu, di venue, seingat saya tidak ada satu suporter pun yang hadir.
Untungnya, karena pertandingan disiarkan secara live melalui YouTube, kami jadi bisa berinteraksi dengan para penonton Indonesia yang ikut memantengi siaran tersebut. Jadi, bisa dibilang, meskipun tidak hadir secara fisik, kehadiran para suporter Indonesia secara virtual memberi kami suntikan tenaga ekstra.
Berlaga di Piala Dunia FM 2024
Di Piala Dunia FM 2024 kemarin, saya dan Manar “ditugasi” menangani Sporting CP. Selama tiga hari, kami diharuskan menyelesaikan tiga musim. Kami harus bersaing dengan peserta dari empat negara lain untuk lolos ke empat besar. Pada fase grup, klasemen ditentukan lewat poin pencapaian masing-masing pasangan manajer. Kami sukses memuncaki grup sehingga berhak lolos ke babak berikutnya.
Saya dan Manar sendiri berbagi tugas layaknya pasangan manajer dan asisten manajer sungguhan. Taktik sepenuhnya menjadi urusan saya, sementara Manar bertanggung jawab atas proses rekrutmen pemain. Meski begitu, kami selalu tektokan dan berdiskusi untuk membicarakan langkah terbaik yang harus ditempuh untuk kebaikan tim.
Di babak empat besar, seperti halnya seleksi nasional, sistem yang digunakan adalah fantasy draft. Sederhananya, setiap manajer dibekali uang dengan nominal tertentu dan mereka bisa memilih pemain sesuai kebutuhannya. Menariknya, tak ada satu manajer pun yang memiliki pemain yang sama karena apabila seorang pemain sudah dipilih, manajer lain tak bisa memilihnya.
Pada babak semifinal, kami menghadapi tuan rumah Inggris. Sebelumnya, keempat peserta di semifinal itu diundi secara acak dan hasilnya kami harus berhadapan dengan tuan rumah. Pada setiap babak, kami harus bertanding dua kali dan akhirnya bisa menang melawan Inggris dengan skor agregat 5-3.
Di final, yang jadi lawan kami adalah Jerman. Kali ini, kami sukses meraih kemenangan yang lebih telak lagi, yaitu dengan agregat 8-2. Hasil ini sekaligus menepis adanya faktor luck dari engine gim FM itu sendiri.
Bagi saya pribadi, kunci dari kemenangan itu adalah mengidentifikasi kekuatan terbesar lawan lalu menegasikannya. Misalnya, saya dengan sadar mengincar pemain terbaik milik lawan dengan memberinya pressing atau marking ketat. Dengan begitu, permainan lawan akan mandek dan kami bisa memanfaatkannya untuk mencetak gol-gol kemenangan.
Setelah Itu Apa?
Keberhasilan mengalahkan Jerman itu membuat saya dan Manar menjadi juara dunia. Inilah untuk pertama kalinya Indonesia bisa menjadi juara dunia dalam event yang diselenggarakan oleh FIFA. Saya pun sangat bangga bisa menjadi orang yang mewujudkannya.
Kesuksesan menjadi juara dunia ini sekaligus membuat PSSI langsung memasang target tinggi untuk Piala Dunia FM tahun depan. Saya dan Manar memang tak dibebani target apa pun, tapi karena kami berhasil jadi juara, secara otomatis peserta tahun depan pun bakal dibebani target yang sama.
Lantas, apakah saya bakal menjadi wakil Indonesia lagi tahun depan? Entahlah. Masih ada banyak waktu untuk memikirkan langkah berikutnya. Yang jelas, kalaupun harus ikut serta lagi, saya tidak mau menjadi wild card. Saya ingin melewati seleksi seperti sebelumnya supaya tidak ada perdebatan lagi bahwa wakil dari Indonesia memang merupakan yang terbaik.
Untuk saat ini, saya sendiri masih ingin menikmati keberhasilan yang saya dapatkan bersama Manar. Saya juga ingin membantu mengembangkan FM menjadi cabang e-sports yang dikenal dan diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia.
Saya sudah melihat komitmen dari PSSI maupun komunitas, khususnya ID FM. Tujuan utamanya, tentu saja, supaya Indonesia bisa memiliki sistem kompetisi yang sehat dan teratur agar siapa pun nantinya yang terpilih menjadi wakil adalah hasil dari kompetisi tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa kemajuan FM sebagai cabang e-sports tidak cuma menjadi urusan federasi dan komunitas. Para pemain pun harus terus mengasah kemampuan dan, menurut saya, tidak ada cara yang lebih baik untuk mengasah kemampuan di dunia FM selain dengan banyak bertanya.
Ketika memulai kiprah sebagai pemain FM kompetitif, itulah yang saya lakukan dan sampai sekarang pun saya masih terus melakukan itu. Semoga, dengan begitu, saya dan Manar tidak akan menjadi juara dunia FM terakhir dari Indonesia.
Saya yakin, dengan rasa penasaran yang terus diasah, ditambah dengan ekosistem kompetisi yang sehat, Indonesia akan senantiasa bisa berbicara banyak di ajang ini.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.