tirto.id - Pada 2019, perusahaan gim video asal Jepang, Konami, mulai menambahkan embel-embel "eFootball" pada seri andalan mereka, Pro Evolution Soccer (selanjutnya ditulis PES). Sebuah penambahan yang dimaksudkan untuk menunjukkan fokus seri ini sekarang, gim sepak bola online.
Pada judul berikutnya yang dirilis tahun ini, mereka betul-betul meninggalkan nama "PES" dan merilis eFootball 2022. Gim yang free-to-play dan lintas platform kini jadi dagangan andalan Konami. Mereka bahkan mengambil jeda satu tahun, antara eFootball PES 2020 dan eFootball 2022 (dengan hanya merilis update musim 2021 untuk judul pertama), demi fokus pada gim untuk konsol-konsol next gen.
PES punya sejarah penjualannya disalip oleh gim rival ketika konsol-konsol next gen rilis pada masa lalu. Kini, dengan persiapan semacam itu, seri ini tampak siap merebut kembali takhta gim sepak bola nomor satu dari FIFA, atau yang lebih realistis, menyaingi seri bikinan Electronic Arts (selanjutnya ditulis EA) tersebut.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sejak dirilis akhir September lalu, eFootball 2022 tak hanya dianggap sebagai gim terburuk seri ini, dari era Castolo sampai Lobato, tetapi juga menjadi gim dengan peringkat terburuk di Steam.
Tag teratas yang disematkan para pengguna adalah "Psychological Horror", label yang nyaris tidak ada hubungannya dengan gim simulasi sepak bola. Dari 17.530 ulasan yang ada di Steam sejak artikel ini ditulis, hanya 10% yang positif--secara keseluruhan ia dianggap "overwhelmingly negative".
Berbagai komentar negatif terhadap eFootball 2022 dari segi teknis, grafis, gameplay, dan segalanya turut melebar dan memicuroasting besar-besaran di media sosial. Dari para jurnalis gim yang telah menjajalnya, ada yang bilang ia memang seburuk itu, tapi ada pula yang bilang kalau ulasan-ulasan jelek itu kelewat berlebihan.
Konami sendiri segera melayangkan permintaan maaf dan menyatakan bakal segera melampirkan update bulan ini juga.
Untuk salah satu gim waralaba yang telah terjual di atas 100 juta kopi, ini bisa dibilang bencana. Niat untuk kembali bersaing dengan FIFA (yang telah terjual di atas 300 juta kopi) pun bisa jadi tinggal niat belaka.
Rivalitas PES & FIFA
Saya ingat memainkan FIFA di PlayStation dan warna-warnanya hilang jadi monokrom. Barangkali ada urusannya dengan pembagian region dalam gim video, kalau bukan CD bajakan kepunyaan rental PS yang jelek saja. Itu belum soal gameplay, di mana kita bisa menekel kiper lawan--tentu berujung kartu merah (atau hitam karena gimnya tidak berwarna). Pada seri FIFA awal yang dirilis pada 1993 (FIFA International Soccer) kau bahkan bisa kabur dari kejaran wasit yang hendak mengganjar pemainmu dengan kartu. Memainkan Roberto Carlos sebagai striker di PES pun jadi terasa masuk akal.
Pendahulu PES dirilis pada 1996 dengan nama Goal Storm atau nama Jepangnya World Soccer Winning Eleven (selanjutnya disebut WE). Goal Storm kemudian berganti nama menjadi ISS Pro Evolution yang lantas berubah lagi menjadi Pro Evolution Soccer pada 2001. PES pertama ini juga dikenal di Jepang sebagai WE 5.
Judul perdana PES yang mengiringi rilisnya PlayStation 2 mulai menyaingi FIFA. Pada dekade 2000-an, PES (atau WE) menjamur di setiap rental PS dan turnamen-turnamen digelar rutin. Keberlanjutan seri PES dan popularitasnya di seluruh tempat yang saya tinggali membuat saya terus memainkan gim ini ketimbang menjajal FIFA. Dalam eFootball PES 2020, saya masih memainkan mode Master League sampai musim 2040-an sekian, di mana Gianluigi Buffon sudah dua kali pensiun. Sementara di kantor Tirto, rekan-rekan saya bahkan masih memainkan PES 2019.
Di luar sana, EA dengan FIFA-nya tumbuh perlahan, sementara PES melaju pesat. Pada PES 3, Konami bahkan dengan penuh percaya diri memajang wasit seperti Pierluigi Collina sebagai sampul kaset alih-alih para pemain beken dari Real Madrid atau Manchester United.
Ketika FIFA adalah soal lisensi yang luas, PES adalah perkara gameplay--terasa "lebih sepak bola". Sebagai ganti dari keterbatasan lisensi, para pemain PES sendiri dibebaskan untuk memodifikasi tim dan pemain dalam mode edit.
Memasuki medio 2000-an, penjualan PES 5 dan PES 6 berturut-turut mengungguli lawannya, FIFA 06 dan FIFA 07. Konten PES 6 (atau WE 10) bahkan terus dimodifikasi dan masih jamak ditemukan di lapak-lapak gim hingga kini. Lagu-lagu pengiringnya diganti dengan lagu-lagu Indonesia, sedangkan kover asli bergambar Shunsuke Nakamura dan Zico sudah sejak lama berubah jadi pemain-pemain mana saja selama ia menyimbolkan transfer dalam game ini yang sudah di-update.
Demi menyingkirkan kesan bahwa PES tertinggal dari FIFA (contohnya: saat EA merilis FIFA 06 pada 2006, Konami baru sampai pada PES 5), Konami lantas mengubah tradisi penamaan mengikuti tahun rilisnya. Tidak ada PES 7 atau WE 11, yang ada adalah PES 2008 dan WE 2008. Penggunaan nama ini berlanjut hingga seri terakhir PES dirilis dengan nama eFootball PES 2020.
Dari segi penjualan, FIFA 08 berhasil menyalip PES 2008. Gim sepak bola EA diestimasikan terjual 9,49 juta kopi, sementara gim sepak bola Konami terjual 8,56 juta. Selisihnya memang tak terlalu lebar, tetapi momentum ini berhasil dimanfaatkan FIFA sebaik mungkin. Penjualan FIFA nyaris selalu mengalami peningkatan (puncaknya ada pada FIFA 15 yang terjual 18,03 juta kopi) sementara penjualan PES menukik (PES 2019 hanya terjual sekitar 500 ribuan kopi).
Faktor utama dari perubahan arah angin itu adalah kesiapan EA dalam menghadapi rilisnya konsol-konsol next gen saat itu seperti PS3 dan Xbox 360. Dengan engine baru, tak hanya sekadar peningkatan grafis, FIFA berhasil menyamai PES dalam urusan gameplay, jualan utama gim simulasi sepak bola Konami selama ini.
Sejak saat itu FIFA tidak pernah menoleh ke belakang, bahkan tak perlu mendongak lagi untuk melihat PES.
Kian Tertinggal
Ketika FIFA memiliki lisensi (hal yang tidak dipunyai PES) dan gameplay yang sama baiknya, maka pertarungan pun selesai. Sepertinya sudah tidak banyak pemain yang mau repot-repot mengganti Man Blue menjadi Manchester City dan memainkan seragam polos macam jersei murah yang mengerut usai dua kali masuk mesin cuci.
"EA menyalin segala hal yang baik yang ada dalam PES lawas dan mengimplementasikannya pada FIFA," ujar Steve Merrett, humas Konami pada 2001 sampai 2018.
Kemunculan mode Ultimate Team (FUT) sejak FIFA 09 kian memperbesar jurang antara FIFA dan PES. Belum lagi tambahan seperti tim-tim perempuan dan The Journey, mode di mana para pemain bisa menjalani kehidupan sebagai pesepak bola dengan berbagai lika-likunya, yang melebihi Become A Legend, mode serupa yang telah hadir terlebih dulu di PES.
Dengan mode-mode yang inovatif dan semarak, itu bahkan sudah bukan pertarungan soal siapa yang punya gameplay lebih baik. Berkat mode Ultimate Team, EA mampu menjadikan gim mereka bahan perbincangan di internet.
Simbiosis antara FIFA dengan klub-klub dan pemain sepak bola di dunia nyata juga turut andil meningkatkan popularitas FIFA. Ambil contoh unggahan media sosial atau video-video respons dari pemain menyikapi rating terbaru mereka dalam gim itu.
Konami lantas terjaga dan mencoba mengais lisensi-lisensi tersisa dengan mendapatkan hak eksklusif seperti stadion Camp Nou, kandang Barcelona, dan tentunya yang paling menghebohkan, hak penggunaan nama Juventus, yang membuat tim asal Turin harus dinamai Piemonte Calcio dalam FIFA 20. Ini sebelumnya sama sekali bukan titik fokus PES.
Seperti yang sudah diterangkan dalam awal tulisan ini, Konami juga mengambil jeda satu tahun demi fokus pada eFootball 2022. Mereka tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya saat konsol-konsol next gen rilis. Sayang, sekali lagi, momentum comeback ini gagal total.
Bagi para pemain kasual seperti rekan-rekan saya di kantor, mereka mungkin bakal terus memainkan PES 2019 dan memindahkan secara manual para pemain tiap musim berganti. Namun pemain dan fans hardcore kedua gim tentu berharap FIFA dan PES terus mendorong satu sama lain menjadi lebih baik lagi alih-alih terjerembap, demi pengalaman bermain yang kian memuaskan.
Editor: Rio Apinino