Menuju konten utama

Satu Tahun Tidak Cukup Pulihkan Daerah Terdampak Gempa di Sulteng

Dampak bencana di Sulawesi Tengah lebih parah dibanding dampak bencana di Lombok, NTB.

Satu Tahun Tidak Cukup Pulihkan Daerah Terdampak Gempa di Sulteng
Tim SAR mengevakuasi jenazah di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Pakar Geoteknik dan Manajemen Konstruksi dari Universitas Indonesia (UI), Budi Susilo Supanji memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan wilayah terdampak gempa dan tsunami di Palu, Donggala dan sekitarnya lebih dari satu tahun.

"Saya pikir lebih dari satu tahun, kurang dari 5 tahun. Itu perkiraan saya yang masih awam, saya enggak mengatakan harus 2 tahun, tapi tidak cukup 1 tahun karena ada psikologikal sosial yang harus dibenahi," ujar Budi di Sekolah Ilmu Lingkungan UI Jakarta pada Senin (8/10/2018).

Pasalnya, kata Budi, ada banyak hal yang perlu diperbaiki seperti infrastruktur, psikologi sosial masyarakat terdampak bencana, maupun aspek ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa dampak bencana di Sulawesi Tengah tersebut melebihi dampak bencana yang terjadi di Lombok, NTB. Sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar.

Selain itu, kata Budi, kondisi tanah di Palu sekitarnya juga berpotensi mengalami likuifikasi atau pencairan tanah. Likuifikasi adalah suatu fenomena perilaku tanah yang jenuh atau sebagian jenuh, secara substansial kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, biasanya gempa bumi yang bergetar atau perubahan lain secara tiba-tiba.

"Dari laporan kawan-kawan di daerah permukiman berpotensi likuifikasi dan pada waktu 7,4 magnitude terjadi likuifikasi," ujarnya.

Budi juga mengatakan, bantuan konstruksi tahan gempa oleh pemerintah berupa Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) atau Rumah Instan Kayu (RIKa) tidak cukup efisien untuk mengembalikan kondisi pemukiman warga yang rusak.

Pasalnya, menurut dia, pemerintah juga perlu memperbaiki struktur tanahnya terlebih dahulu. "Menurut saya enggak cukup RISHA atau RIKa itu, lihat gempanya kaya gitu, kelihatannya beda, perlu melakukan studi," ucap Budi.

Ia mengatakan masyarakat juga harus diberi edukasi mengenai adanya potensi likuifikasi sehingga tepat dalam menyusun rencana rekonstruksi pemukiman yang layak dan baik untuk masyarakat.

"Ya mau dia (masyarakat) tetap di situ atau dia mau pindah, ada dua pilihan. Perlu dialog, pemerintah meninjau enggak bisa 2 jam (ditentukan)," ucapnya.

Apabila masyarakat masih ingin tetap bertahan, ia mengungkapkan ada cara yang bisa dilakukan pemerintah, yakni dengan cara pemadatan struktur tanah. "Tinggal mau diperuntukkan untuk apa di situ. Harus diskusi dengan melibatkan beberapa ahli di sosial, ekonomi, sehingga teknik mendengarkan dulu," ucapnya.

Di sisi lain, apabila masyarakat sudah trauma dan menolak tinggal di wilayah yang sama, maka pemerintah harus melakukan relokasi masyarakat ke tempat dengan wilayah lebih aman. Kemudian, wilayah permukiman yang berpotensi likuifikasi dapat dijadikan hutan kota.

"Misalnya lho ya itu. Itu mencangkup perubahan tata ruang," ujar Budi.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto