Menuju konten utama

Satu Peta, Satu Nusantara

Kebijakan Satu Peta akan berperan penting dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pembangunan, memudahkan investasi, serta mengantisipasi sengketa pemanfaatan lahan dan konflik perizinan

Satu Peta, Satu Nusantara
Ilustrasi advertorial BIG. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada Sidang Kabinet Desember 2010, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menyampaikan data yang berbeda tentang luas hutan lindung Indonesia. Sebabnya: peta dasar yang dijadikan acuan tak sama.

Itu baru satu perkara. Ketiadaan peta yang bisa dijadikan acuan standar nasional bisa punya implikasi yang panjang, mulai dari sengketa lahan, konflik perbatasan antar daerah, hingga pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Maka dirancanglah sebuah peta dasar yang disebut Informasi Geospasial (IG), dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penanggungjawabnya.

Badan Informasi Geospasial (BIG) sebelumnya dikenal dengan nama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional atau Bakosurtanal. Badan ini pertama kali didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1969, tepatnya pada 17 Oktober 1969. Status hukumnya kemudian diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial pada 27 Desember 2011 dan dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011. Undang-undang inilah salah satu dasar perubahan nama menjadi BIG.

Menurut Undang-Undang tentang Informasi Geospasial, BIG memegang peran sentral untuk menjamin ketersediaan dan akses terhadap informasi geospasial yang dapat dipertanggungjawabkan; mewujudkan penyelenggaraan informasi geospasial yang efisien dan efektif melalui kerja sama, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi; serta mendorong penggunaan informasi geospasial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Untuk mencapai hal tersebut BIG telah mencanangkan Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu pendekatan berbasis portal informasi dan komunikasi digital untuk memastikan setiap produk informasi geospasial dapat diintegrasikan secara mudah dan akurat dalam perencanaan pembangunan nasional.

Infografik Advertorial BIG

Melalui kerjasama selama ini, terlihat masih perlu perbaikan dan pembaruan terhadap kondisi dan kualitas data geospasial serta kesepakatan bersama antar Kementerian/Lembaga (K/L) untuk merumuskan upaya penyelesaian terhadap kondisi data geospasial yang saling tumpang tindih. Maka diperlukanlah Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (PKSP). Kunci keberhasilan dari kegiatan ini terletak pada komitmen dari Kementerian/Lembaga yang ditunjuk sebagai walidata yang harus memandang kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini sebagai kegiatan prioritas.

“Inisiasi pelaksanaan PKSP akan menjadi momentum besar bagi negara untuk melakukan perbaikan data geospasial di seluruh Indonesia. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dalam pengambilan kebijakan nasional,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, yang juga Ketua Tim Percepatan Pelaksanaan KSP (PKSP).

Kepala BIG Hasanuddin Zainal Abidin yang sekaligus Ketua Tim Pelaksana KSP menyebut banyaknya peta tematik di Indonesia yang dibuat oleh K/L berdasarkan peta dasar yang sumbernya beragam telah menimbulkan banyaknya permasalahan. “Terutama untuk proses perencanaan pembangunan secara nasional,” katanya. Sebagai gambaran, banyaknya peta tematik semacam itu kerap menimbulkan tumpang tindih lahan yang kemudian menyebabkan konflik sosial. Selain menghambat pembangunan, konflik semacam itu juga dinilai Hasan menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya alam.

“Kebijakan Satu Peta akan berperan penting dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pembangunan, meningkatkan kemudahan berinvestasi, serta menyelesaikan sengketa pemanfaatan lahan dan konflik perizinan,” kata Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian.

Diketahui, Kebijakan Satu Peta dilaksanakan dalam 3 kegiatan utama, yaitu (1) Kompilasi—pengumpulan peta tematik; (2) Integerasi—koreksi peta tematik terhadap peta dasar, dan (3) Sinkronisasi—penyelesaian permasalahan tumpang tindih antar peta tematik. Sekretariat Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta telah menyelesaikan Kompilasi untuk 82 dari 85 peta tematik (96%) pada 19 Kementerian/Lembaga Wali Data dan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota di 34 provinsi. 3 peta tematik belum terkompilasi karena belum tersedia secara nasional.

Pada tahun 2018, pengumpulan peta dari 19 Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah di 34 Provinsi telah selesai. Semua peta tematik yang telah terintegrasi disimpan di laman Geoportal Kebijakan Satu Peta. Rencananya, bulan ini, Geoportal Kebijakan Satu Peta akan diluncurkan oleh Presiden. Seluruh data dapat diakses oleh semua K/L/D sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kewenangan akses data akan diatur pada Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Tentang Protokol Berbagai Data Kebijakan Satu Peta.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis