tirto.id - Politik uang alias money politic rentan terjadi jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Padahal, politik uang sendiri merupakan pelanggaran hukum dengan konsekuensi pidana.
Berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, sanksi berat bagi pelaku politik uang dalam Pilkada, baik untuk penerima maupun pemberi. Lantas apa saja sanksi bagi pelaku politik uang dalam Pilkada dan hukuman bagi penerima serta pemberi?
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) semakin gencar mengantisipasi politik uang jelang pemungutan suara Pilkada serentak 2024. Hal ini dilakukan untuk mengawal agar pilkada berjalan sesuai asas jujur dan adil.
Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, Benny Sabdo, mengatakan bahwa pihaknya akan mulai melakukan patroli untuk mencegah politik uang.
"Kami juga melibatkan sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Mulai malam nanti kita juga akan melakukan patroli di seluruh titik di Jakarta ini," katanya, seperti yang dikutip dari Antara, Selasa (26/11/2024).
Lebih lanjut, Sabdo mengatakan tidak akan segan menindak siapapun yang melakukan praktik politik uang, seperti membagikan sembako, amplop, voucher, dan sebagainya.
Apa Itu Politik Uang?
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politik uang adalah upaya memengaruhi pilihan pemilih/masyarakat atau penyelenggara pemilihan dengan memberikan imbalan materi atau lainnya.
KPK menyebut bahwa politik uang jelang pemilu di Indonesia sering dikenal dengan sebutan serangan fajar. Serangan fajar adalah money politic yang dilakukan sebelum pemungutan suara.
Money politic termasuk dalam bentuk suap. KPK menilai bahwa praktik politik uang akan melahirkan para pemimpin yang hanya mempedulikan kepentingan pribadi dan golongan.
Hal ini karena, para pelaku politik uang cenderung ingin meraih jabatan dengan tujuan mencari keuntungan. Mereka rentan menghalalkan segala cara agar bisa "balik modal" dari pengeluaran fantastis saat kampanye. Inilah mengapa, politik uang dijuluki sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.
Benny mengibaratkan politik uang sebagai racun yang merusak kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Politik uang itu bisa kita ilustrasikan sebagai racun bagi kehidupan demokrasi kita. Kalau sebagai racun, maka politik uang ini bisa membunuh kehidupan demokrasi," katanya.
Sanksi Politik Uang bagi Penerima dan Pemberi
Politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan korupsi. Hal ini membuat praktik politik uang dilarang secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaku politik uang baik penerima dan pemberi, bisa dikenai sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku. Adapun sanksi bagi pelaku politik uang dalam pilkada tercantum dalam 187A ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016.
Berdasarkan pasal tersebut, pihak yang terlibat politik uang, yaitu penerima dan pemberi, terancam pidana penjara minimal 36 bulan (3 tahun) hingga 72 bulan (6 tahun) serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Hukuman pidana dan denda tersebut berlaku baik bagi penerima maupun pemberi politik uang.
Penulis: Olivia Rianjani
Editor: Yonada Nancy & Dipna Videlia Putsanra