tirto.id - Poster daring "Dzikir dan Tausiyah Nasional 112" itu bukan saja berisi ajakan untuk datang ke masjid, melainkan juga "menyatukan kembali" soliditas umat untuk merespons peristiwa politik terkini terkait Pilkada DKI, dan terlebih lagi Ahok.
Dan, bicara soal masjid ini, saya teringat Kuntowijoyo. Nama ini oleh festival buku dan musik MocoSik di Yogyakarta pada 12-14 Februari 2017 diberi tempat yang istimewa berupa "Tribute To". Bukan saja karena ia wafat di bulan Februari (22 Februari 2005), tapi juga kiprahnya sebagai cendekiawan Islam, budayawan, sejarawan, dan sekaligus sastrawan.
Salah satu refleksi Kunto yang paling mengesankan adalah soal posisi masjid. Masjid, sebagaimana tertera di poster para penyelenggara pengajian akbar di Masjid Istiqlal, adalah tempat yang melahirkan peradaban. Hal paling dekat dan mingguan dari masjid, tentu saja, sebagai tempat salat dan pengajian reguler. Termasuk zikir 112 dengan muatan politik yang menjadikan masjid sebagai ruang politik umat.
Kunto yang juga pegiat Muhammadiyah semasa hidupnya, tapi secara kultural lebih dekat dengan NU ini, juga melihat hal yang sama bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan siyasah tak pernah benar-benar saling memunggungi karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat siar.
Ini berbeda dengan, misalnya, Ulil Abshar-Abdalla dalam buku kumpulan esai Membakar Rumah Tuhan (1999). Ulil yang dalam Pilkada DKI Jakarta sedang memerankan diri sebagai "petugas partai" ini malah menegaskan bahwa masjid yang menjadi kegiatan politik adalah rumah tuhan-palsu dan karena itu rumah si tuhan-palsu mesti dibakar sampai puing terakhir.
Kunto berbeda. Ia memperlebar perspektif dengan mengajukan tanya: bagaimana dengan mereka yang secara akidah adalah muslim tapi tak punya "masjid"?
Bacalah esai Kuntowijoyo berjudul "Muslim Tanpa Masjid" (1999)! Esai itu dibuka dengan peristiwa ketegangan massa di Gedung DPR/MPR Senayan pada pekan kedua November 1998 yang, tak hanya melahirkan peritiwa berdarah Semanggi, menjadi tonggak lahirnya laskar Islam yang menguasai demonstrasi jalanan selama hampir dua dekade belakangan.
Dua massa yang bentrok itu, yakni mahasiswa yang menguasai Senayan dan menolak Sidang Istimewa MPR maupun laskar (Islam) Pam Swakarsa, dipandang Kunto sebagai ketegangan sosiologis dengan menjadikan "masjid" sebagai kata kunci untuk memahaminya. Maklum, laskar (Islam) Pam Swakarsa memulai demonstrasinya dari masjid (Al-Azhar dan Istiqlal). Dan, Anda tahu masjid di Kebayoran ini adalah masjid umat, sementara Istiqlal adalah masjid negara. Tujuan laskar yang pembentukannya direstui Kongres Umat Islam (KUI) ini adalah membela Habibie yang menjadi representasi Islam yang, dalam konteks politik di Senayan, didudukkan sebagai pendukung SI MPR.
Mahasiswa penolak Habibie dipandang umat bermasjid ini sebagai "bukan orang Islam!". Atau, Kunto menyebutnya dengan sebutan yang lebih moderat: muslim tanpa masjid. Sebab, mereka juga berasal dari keluarga muslim dan, misalnya, mendirikan salat di garasi Universitas Atmajaya saat waktu terawih tiba dalam situasi demonstrasi berlangsung hingga malam hari.
Kunto menaruh perhatian kepada "muslim tanpa masjid" atau MTM ini bukan tanpa alasan historis. Sebab, mengabaikan lapisan umat MTM ini, akan menjadikan Islam selalu sebagai pecundang dalam konstestasi politik. Kunto sangat sadar jumlah mereka luar biasa besarnya ketimbang "muslim yang bernaung di masjid umat". Tak hanya menjauhkan dari kemenangan yang nyata, mengabaikan MTM akan makin menjauhkan usaha mengenali karakternya, tipologisnya, suaranya, bahasanya hingga metode menyentuh pedalaman jiwa mereka.
Kunto secara eksplisit memang menyebut MTM ini terselip di organ-organ yang kerap dituduh "umat bermasjid" sebagai, kalau bukan organ kafir ya organ kuminis, macam SMID di Yogya atau Forkot di Jakarta. Kalau horisonnya saya perluas, MTM ini bisa jadi juga terselip di sektor buruh, nelayan, petani, pedagang kecil, prajurit, mahasiswa kritis. Dan, pegiat "masjid umat" bukan saja kehilangan bahasa dan metode dakwah atas muslim tanpa masjid ini, tapi juga larut memusuhi mereka. Alih-alih mendekatkan, malah membuat benteng.
Maka, lewat tilikan Kunto soal "masjid umat" versus "muslim tanpa masjid" ini saya bisa memahami mengapa ketika ada isu musala petani dibakar di Rembang, para ustaz yang selama ini identik dengan imam-imam "masjid umat" nyaris tak bersuara. Sebab, pembelahan binaan "masjid umat" dan "masjid bukan umat" tertanam begitu kuat.
Fenomena ini disebut Kunto sebagai menguatnya identitas "kami versus mereka" dan bukannya "kita". "Kami/mereka" adalah melakukan eksklusi, sementara "kita" adalah mengajak.
Perjuangan umat Islam sejak SI, Masjumi, PPP, hingga PKS dan 11 partai yang mengidentikkan diri Islam yang serentak muncul pada Pemilu 1999 adalah garis sejarah yang sangat panjang dan perlu terus direfleksikan ulang. Terutama konteks peran dan sekaligus kegagalannya mendapatkan dukungan suara "muslim tanpa masjid" dalam konstetasi politik. Sebab, kalau kita objektif, bahkan di partai komunis dan sosialis sekali pun terselip lapisan besar "muslim tanpa masjid" ini.
Bukankah sedari Indonesia Merdeka, Islam sudah menjadi agama dengan pemeluk terbanyak? Tapi, mengapa partai sekular semacam PNI yang "nonumat" menjadi jawara di Pemilu 1955, dan selama lima kali pemilu di masa Orba yang panjang itu malah Golkar yang meraksasa tanpa tanding? Bahkan, ketika reformasi sudah berjalan dua dekade lebih, partai-partai yang identik dengan "partai kepunyaan umat" menjadi medioker.
Nah, sampai di sini refleksi Kunto saya kira masih relevan, walaupun sudah 12 tahun ia meninggalkan kita. Semoga, aksi yang sudah berlalu itu, yakni Dzikir dan Tausiyah Nasional 112 yang bertajuk "karena peradaban bermula dari masjid", bukanlah pamer kekuatan palsu semata: merasa diri sebagai raksasa, tapi sesungguhnya raksasa yang berkaki lempung. Sekali tebas, lalu lemas.
Akur, ya, umat? Mari kirimkan Alfatihah untuk Kuntowijoyo, "sang imam besar muslim tanpa masjid".
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.