tirto.id - Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno kerap menebar janji saat safari politik ke sejumlah daerah. Kepada warga Telagamurni, Bekasi, Jawa Barat, misalnya, ia berjanji menurunkan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL).
Janji yang diucapkan Sandiaga itu diamini Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar. Ia mengatakan harga kedua komoditas energi itu masih dirasa memberatkan masyarakat.
Dahnil mengklaim tarif listrik golongan terbawah selama Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjabat telah naik 3 hingga 4 kali lipat. Karena itu, kata Dahnil, jika Prabowo-Sandiaga terpilih, masyarakat akan menerima subsidi.
Namun, Dahnil menuturkan bantuan itu hanya akan diberikan pada mereka yang berhak menerimanya. Tak hanya itu, Dahnil juga mengklaim tidak akan membebankan subsidi BBM dan listrik kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti Pertamina dan PLN.
“Kami akan lakukan efisiensi pengelolaan PLN dan Pertamina. Jangan sembunyikan [subsidi] jadi beban korporasi,” kata Dahnil saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).
Dahnil juga menjelaskan soal kekhawatiran capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyebut Indonesia akan impor BBM 100 persen pada 2025. Menurut Dahnil ketergantungan pada migas akan dikurangi dengan diversifikasi energi terbarukan.
Meski saat ini biaya energi terbarukan masih tergolong mahal, tapi Dahnil mengklaim jika volume penggunannya naik, harganya akan berangsur terjangkau.
“Negara harus ngotot memperjuangkan pembangunan energi terbarukan. Kita tidak boleh bergantung pada migas terlalu lama,” kata Dahnil.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Johnny G. Plate menampik bila TDL saat ini tergolong mahal.
Plate bahkan mengklaim tarif listrik Indonesia relatif lebih murah dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, hingga Thailand.
Selain itu, Plate menilai langkah penurunan harga BBM juga tidak semudah yang dijanjikan Sandiaga lantaran penentuan harganya menyesuaikan dengan harga minyak dunia. Lagi pula, solusi pemberian subsidi juga bukan hal baru.
Plate mengklaim mekanisme pemberian subsidi yang diterapkan pemerintah Jokowi-JK saat ini lebih baik. “Kalau turunin tarif listrik, APBN bisa habis subsidi semuanya. Subsidi BBM kami juga berbeda dari zaman dulu [yang terlalu membebani APBN]” kata Plate.
Sementara terkait penggunaan energi terbarukan, kata Plate, pemerintah Jokowi-JK sudah lama melakukannya. Salah satunya adalah kebijakan mandatori B20, geotermal atau panas bumi untuk PLTP, dan tenaga surya untuk PLTS.
Karena itu, Plaet menilai janji penerapan energi terbarukan bukan ide baru dan telah dilakukan di era Jokowi. Menurut dia, jika Jokowi terpilih kembali, pemerintah akan melanjutkan program tersebut.
“Kami akan upayakan iklim investasi sektor ini [energi baru terbarukan] semakin baik,” kata Plate.
Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai pembebanan subsidi ke BUMN saat ini masih tergolong realistis. Sebab, jika seluruhnya ditanggung APBN, itu dapat membebani anggaran.
Hanya saja, kata Fahmy, keinginan pemerintah untuk mengontrol harga BBM penugasan juga turut menyebabkan keuangan Pertamina bermasalah. Kendati demikian, kata Fahmy, hal itu masih dapat diterima lantaran perusahaan pelat merah itu masih dapat meraup untung.
“Dia [Prabowo-Sandiaga] enggak mau bebankan subsidi ke BUMN, ya, akan sulit. APBN jadi kurang produktif. Apalagi subsidi masih sering salah sasaran,” kata mantan anggota tim reformasi tata kelola migas ini.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan subsidi TDL selayaknya diberikan bagi rumah tangga miskin dan di pedesaan ketimbang memukul rata pengguna tarif 450 Watt.
Sebab, kata Fabby, dengan cara pemberian subsidi difokuskan pada rumah tangga miskin di pedesaan, maka subsidi yang diberikan pemerintah tidak membebani APBN.
Tarif dasar listrik, kata Fabby, juga sepatutnya mencerminkan biaya produksi PLN. Alasannya, PLN tetap memerlukan margin untuk kebutuhan investasi pengembangan listrik.
Hal itu, kata Fabby, dapat dimungkinkan bila PLN mampu menciptakan harga yang kompetitif melalui efisiensi rantai pasok dan harga batu bara.
“Tarif listrik jangan dikorbankan. Ini supaya tidak jadi beban PLN atau subsidi,” kata Fabby.
Namun terkait energi baru terbarukan, Fabby pesimistis. Sebab, jika ingin mencapai target 23 persen bauran pada 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kata Fabby, paling tidak Indonesia perlu 4-5 gigawatt kapasitas baru EBT tiap tahunnya.
Padahal, kata Fabby, saat ini realisasi selama 2015-2018, Indonesia baru mampu menambah 250 megawatt tiap tahunnya.
Ini diperburuk dengan semakin tidak menariknya investasi EBT di Indonesia.
Penyebabnya, kata Fabby, saat ini EBT masih dipaksakan untuk bersaing dengan murahnya harga batu bara, sehingga menyebabkan risiko investasi sektor EBT meningkat. Padahal, EBT membutuhkan biaya besar.
Karena itu, Fabby mendesak siapapun yang terpilih pada Pilpres 2019 nanti, harus mampu mendorong investasi dari segi regulasi dan insentif.
“Ekosistem investasi kita buruk jadi minat investor turun. EBT jadi tidak mengalami perkembangan,” kata Fabby.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz