Menuju konten utama

Sama dengan Kekerasan Lainnya, KDRT Finansial Kerap Terjadi

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) finansial atau pelecehan finansial (financial abuse) dapat menyusup ke dalam hubungan romantik dengan cara diam-diam.

Sama dengan Kekerasan Lainnya, KDRT Finansial Kerap Terjadi
Ilustrasi Kekerasan. foto/istockphoto

tirto.id - Tirto.id mendapati kisah seorang perempuan, sebut saja saja JJ. Sebagai sesama penjual sayur, ia dan suami bertemu ketika belanja di pasar.

Setelah menikah, suaminya memutuskan tidak lagi mau berjualan sayur. Sehari-hari sang suami hanya duduk leha-leha di rumah, bahkan tidak mau dimintai tolong beberes rumah atau jaga anak. Seluruh pengeluaran bulanan jadi tanggungjawab JJ, termasuk membayar cicilan rumah dan menafkai orangtua suaminya.

Saat tirto.id menghubungi Senior Financial Planner, Bareyn Mochaddin, S.Sy., M.H, RFA, RIFA, terkait kasus di atas, katanya, “Kasus ini masuk ke dalam KDRT Financial dalam hal penelantaran; ada pengekangan dan eksploitasi di situ.”

Sayangnya, JJ sebenarnya tidak menyadari bahwa dirinya sudah mendapati KDRT finansial dari sang suami.

KDRT finansial memang tidak seterkenal bentuk-bentuk kekerasan lainnya, sehingga tak sedikit masyarakat kita yang tidak sadar sudah mendapat pelecehan finansial.

Di negara adidaya pun alami hal yang sama, setelah ditelusuri lebih dalam melalui survei, barulah ditemukan 99% kasus kekerasan dalam rumah tangga melibatkan juga kekerasan finansial.

Hal ini dikutib dari NNEDV (National Network To End Domestic Violence), Amerika Serikat yang merujuk pada studi University of Wisconsin-Madison 2011.

Berdasarkan hasil survei terhadap penyintas, kekhawatiran atas kemampuan mereka untuk menafkai diri sendiri dan anak-anak adalah salah satu alasan untuk tetap tinggal atau kembali ke pasangan yang melakukan kekerasan finansial.

The Guardian pun pernah melakukan survei yang hasilnya 1 dari 10 pasangan menikah di Amerika Serikat ternyata mengalami kekerasan dalam finansial.

Bahkan KDRT finansial bisa dikatakan sebagai pencetus perceraian di Indonesia. Bareyn pun berpendapat serupa berdasarkan data. Pada tahun 2022, dari data yang diberikan oleh BPS dan disarikan oleh Goodstats, ada 516.334 perceraian yang terjadi di Indonesia.

Sekitar 110 ribu-nya perceraian yang terjadi karena masalah ekonomi. Sedangkan, masalah ekonomi dalam sebuah perceraian, sebagaimana dinyatakan oleh Hakim Agung Kamar Agama Yasardin dalam sebuah dialog Yudisial MA RI dan Federal Circuit and Family Court of Australia: Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian, faktor ekonomi dalam perceraian itu beberapa contohnya adalah tidak memberi nafkah atau tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan.

Sehingga, bisa dikatakan, perceraian yang terjadi adalah karena adanya kekerasan finansial berupa penelantaran.

Penyintas KDRT Finansial Dilindungi Negara

Pakar hukum Hendrawarman, S.H, M.Si, Managing Partner BANA & Co. – Law and Strategic Firm, menjelaskan istilah KDRT Finansial bukanlah istilah hukum yang genuine dalam suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia.

KDRT finansial adalah istilah popular di masyarakat mengenai salah satu kekerasan dalam rumah tangga dalam hal memperolah penghasilan, menggunakan, dan menyimpan sumber keuangan.

“Namun ini penting dan seharusnya menjadi bentuk KDRT tersendiri selain fisik dan psikis,” ujarnya.

Secara normatif, ketentuan KDRT diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang biasa dikenal sebagai UU PKDRT.

Cara atau bentuk KDRT yang tertulis dalam UU PKDRT tersebut, diantaranya: (a) Kekerasan fisik; (b) Kekerasan psikis; (c) Kekerasan seksual; dan (d) Penelantaran rumah tangga.

“Dalam hal terjadi KDRT Finansial berupa penelantaran rumah tangga, negara telah memberikan perlindungan hukum berdasarkan UU PKDRT tersebut, namun tidak seluruh KDRT Finansial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ter-cover dalam UU PKDRT tersebut karena payung normatif-nya berupa larangan penelantaran rumah tangga,” ujar Hendrawarman yang kini menjabat sebagai Direktur LBH Depok, Jawa Barat.

Ia pun meluruskan mengenai KDRT yang tidak hanya berhubungan dalam cakupan pernikahan saja. Tetapi juga rumah tangga dalam hubungan yang sangat luas, yakni suami istri, orangtua, anak, termasuk juga orang yang bekerja dalam rumah tangga seperti asisten rumah tangga, supir, atau babysitter.

Infografik KDRT Finansial

Infografik KDRT Finansial. tirto.id/Quita

Kasus-kasus Kekerasan Finansial

Jika merujuk pada data yang ditemukan, Bareyn menjelaskan bahwa kekerasan finansial yang sering terjadi adalah penelantaran, seperti tidak memberi nafkah.

Tetapi tidak jarang ada beberapa kekerasan lain seperti pelarangan kerja bagi perempuan, atau bahkan ada juga yang cukup ekstrim adalah menjual pasangannya untuk menjadi objek pemuas nafsu seksual.

Hendrawarman, S.H, M.Si, membenarkan berdasarkan UU di Indonesia, yang termasuk dalam KDRT finansial adalah penelantaran rumah tangga, yaitu adanya ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban KDRT berada di bawah kendali pelaku KDRT, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) UU PKDRT.

Kita kembali pada kasus pelecehan JJ di atas. Financial Planner, Bareyn melihat adanya penelantaran, pengekangan, dan eksploitasi, yang terjadi karena biasanya tidak ada komunikasi atau keterbukaan sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Suami-istri tidak komunikasi sebelum menikah perihal kehidupan pernikahan, misalnya apa saja yang menjadi tanggung jawab siapa. Pada kasus JJ, baru ketahuan prinsip sang suami: menggantungkan hidupnya pada istri kalau dia sudah nikah.

Berbeda dengan kasus milik AD, yang diminta suami untuk tidak bekerja kantoran lagi, termasuk tidak diizinkan menghasilkan uang dari rumah. Suaminya berdalih, ia bisa menikmati saja hasil jerih payahnya dan agar ia tidak lelah karena akan program hamil.

Menurut Bareyn, hal ini perlu didalami lebih lanjut apakah masuk dalam KDRT finansial atau tidak. Kenapa? Karena suami masih memberikan nafkah ke istri. Mengenai suami mengekang istri atau tidak, tujuan suami baik supaya program kehamilan lancar.

AD menambahkah kisahnya mengenai ia tidak tahu berapa gaji suami, terengutnya kehidupan ia dulu setelah menikah (tidak bisa membeli keperluan pribadi seperti dulu, tidak punya asuransi, dan tidak bisa memberi uang ke orangtua. Ia pun tidak diperbolehkan lagi memegang buku tabungan, kartu ATM, kartu kredit milikinya lagi (semua dipegang suami).

Merespon kisah AD ini, Bareyn mengajak untuk setiap pasangan memerlukan keterbukaan dan kemampuan untuk berkomunikasi yang baik dengan pasangannya terkait kebiasaan finansial masing-masing. Jika AD tidak diperbolehkan pegang buku tabungan/ATM/CC-nya memang dirasa berlebihan.

Lalu bagaimana berkomunikasi yang baik terhadap pasangan yang jelas-jelas melakukan KDRT finansial?

Psikolog, Pengajar dan Dosen Universitas Sanata Dharma, Brigitta Tri Anggadewi M.Psi, mengingatkan sebaiknya tidak langsung menginterupsi pelaku pelecehan finansial karena justru memperparah situasi.

“Sebaiknya tunggu hingga ia selesai bicara, kemudian ajukan pendapat atau keinginan Anda dengan memberikan alasan-alasan yang logis,” ujarnya.

Cerita lain dari KD yang harta waris dari orangtua digunakan suami tanpa sepengetahuannya.

Ketika ia membutuhkan untuk membayar sekolah anak, ia baru tahu uang warisannya habis ludes. Bahkan ketika ia ingin melakukan pinjaman, BI checkingnya jelek lantaran suaminya diam-diam utang menggunakan namanya.

“Suami sudah menggunakan harta bawaan, ini adalah uang istri. Karena kalau dilihat dalam kompilasi hukum Islam, ada harta bawaan (harta yang didapatkan sebelum menikah) dan harta bersama (harta yang didapat ketika sepasang suami-istri mendapatkan penghasilan). Dan uang itu digunakan untuk sesuatu yang istrinya tidak menyetujui."

"Apalagi BI checking istri jelek karena adanya pinjaman yang diajukan suami tanpa sepengetahuan istri. Padahal ketika sudah menikah jika ingin melakukan pinjaman harus ada persetujuan pasanganannya. Ini bisa masuk dalam ranah kekerasan dalam finansial. Artinya ada yang ditutupi dalam finansial,” ujar Bareyn.

Ada juga kasus KDRT finansial lain, yaitu seorang istri melaporkan suami karena dirasa mengontrol semua penghasilannya dan hanya memberikan uang bulanan terbatas. Namun setelah diusut, ternyata sang istri masuk ke dalam kategori orang yang boros, bahkan beberapa kali mengindahkan kebutuhan sekolah anak.

Tak heran jika suami mengontrol sendiri penghasilannya dan memberi jatah secukupnya pada istri. Alih-alih mereka tidak memiliki kondisi keuangan yang baik, sebaiknya ia mengontrol perilaku belanja boros istrinya.

Kenapa KDRT Finansial bisa Terjadi?

Secara umum, alasan di balik pelecehan finansial terjadi karena minimnya kemandirian finansial sehingga membuat seseorang terjebak dalam pola kekerasan finansial. Namun tak sesederhana itu saja, ada beberapa hal yang dirasa bisa memicu KDRT finansial, menurut Bareyn, seperti ketidakmampuan.

Artinya, ketidakmampuan suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga suami menelantarkan keluarga atau memaksa istri untuk bekerja pada sesuatu pekerjaan yang tidak dibenarkan.

Kedua, faktor ketidaktahuan. Dalam hal ini, ketidaktahuan bisa dari sisi suami yang tidak tahu bahwa istri boleh bekerja, tidak tahu bahwa ketiadaan nafkah itu adalah kewajiban dia.

Dan ketiga, faktor kepercayaan pada sebuah prinsip. Kepercayaan pada sebuah prinsip suami dan istri. Suami bisa saja memegang prinsip yang melarang istri bekerja. Sedangkan istri, bisa saja karena kepercayaan penuh pada sesuatu yang menyatakan bahwa harus bisa menerima apapun kondisi dan nurut dengan suami, dan ini dimanfaatkan.

Menurut NNEDV (National Network To End Domestic Violence), Amerika Serikat, sama halnya dengan bentuk KDRT lainnya, kekerasan finansial bisa terjadi di semua kelompok sosisl-ekonomi, pendidikan, ras dan etnis.

“Tetapi memang korban utamanya adalah perempuan, namun berlaku umum terhadap laki – laki maupun perempuan,” menurut Hendrawarman.

Fakta lainnya, korban KDRT finansial tidak hanya merasakan dampak secara finansial; kondisi finansial yang berantakan, tujuan keuangan yang tidak tercapai, atau penelantaran finansial akibat perselisihan, dampak psikologis juga dapat dialami oleh korban.

“Dampak psikologis yang muncul bisa beraneka macam, tergantung dari ketahanan mental seseorang itu sendiri,” ungkap Brigitta, Pengurus Ikatan Psikologi Klinis DIY.

Namun secara umum korban akan merasa tidak percaya diri, merasa tidak mampu dan tidak berdaya karena keterbatasan finansial atau keterbatasan pada akses sumber finansial. Sehingga mengakibatkan mereka cenderung mengalami ketidakmandirian dan kesulitan untuk berada pada tempat tinggal yang aman. Dalam jangka panjang, bisa saja mereka juga mengalami masalah kesehatan mental yang lebih serius.

Belum lagi mengobati jiwa yang terluka, membutuhkan daya usaha dan juga waktu. Bagi yang memutuskan untuk kembali bersama, perlu ada kesadaran diri mau berusaha untuk memulihkan kepercayaan terhadap pelaku.

Bareyn menambahkan bahwa korban perlu juga mempersiapkan diri untuk lepas dari jerat kekerasan dengan mempersiapkan diri secara finansial dan non finansial.

Hal ini bisa dilakukan dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit atau dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang bisa menambah skill dan menghasilkan penghasilan.

Pengasuh akun @uang_kita, Bareyn memberikan saran pada kita semua untuk mengingat kata kuncinya, yaitu keterbukaan dan kesamaan prinsip. Caranya dengan mencari tahu kondisi finansial dan non finansial pasangan/calon pasangan.

“Pastikan huruf K dalam KDRT bukan Kekerasan, melainkan Keharmonisan. Tentunya, keharmonisan ini tidak bisa dibangun salah satu pihak, harus keduanya, antara suami dan istri. Keharmonisan juga dibangun dengan - salah satunya- memahami tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Sehingga, dalam hal ekonomi tidak ada penelantaran dan/atau kekerasan finansial dalam bentuk yang lain,” tutup Bareyn.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Natalia Dian

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Natalia Dian
Penulis: Natalia Dian
Editor: Lilin Rosa Santi