tirto.id - Booth, si anak emas itu, masih berkutat dengan buku sastra dan koleksi buku-buku ayahnya. Sang ayah memang menuntutnya untuk hafal di luar kepala beragam syair dan karya-karya para penyair dan sastrawan besar. Di saat anak-anak lain seusianya masih belajar lagu-lagu dan puisi-puisi sederhana anak-anak, Booth sudah hafal naskah-naskah drama gubahan Sheakespeare.
Ambisi ini ada pada keluarga Booth bahkan sebelum ia dilahirkan. Saat mengandung Booth, ibunya pernah berdoa dan meminta diberi gambaran soal masa depan si janin. Ia mengisahkan, dalam mimpinya kemudian tampak api yang membentuk gulungan mirip kertas. Saat gulungan itu terbuka, terlihat tulisan “negara”. Sang ibu pun menafsirkan janin yang dikandungnya bakal jadi tokoh yang akan melalui perjuangan berat, dan akhirnya akan menjadi pahlawan.
Beberapa puluh tahun sesudahnya, Booth memang terkenal dan disebut-sebut oleh banyak orang di seluruh belahan dunia. Ia menjadi aktor tampan yang digandrungi banyak perempuan, tapi bukan karena itu dunia mencatat namanya.
Booth, atau yang kita kenal sebagai John Wilkes Booth, pada 14 April 1865 menembak mati presiden Abraham Lincoln ketika sang presiden menghadiri sebuah pertunjukan di teater Ford. Booth adalah aktor yang pro-konfederasi, membenci kulit hitam, dan menolak dihapuskannya perbudakan dari Amerika Serikat.
Ia tertangkap setelah terpojok di sebuah gudang dan mati pada tahun itu juga. Empat tahun berikutnya, jasadnya digali dan diperiksa dua kali untuk memastikan bahwa itu benar jasad Booth.
Namun, hal yang menggemparkan terjadi pada 1907. Seorang pengacara bernama Finis Bates mengatakan bahwa Booth masih hidup dan bukanlah orang yang tertembak. Ia memiliki nama alias John St. Helens dan mengakui identitas aslinya kepada Bates. Pada 1903, ia bunuh diri. Mayat Booth kemudian dimumikan dan dimasukkan ke dalam tur nasional sebagai “orang yang menembak Lincoln.”
Untuk mengonfirmasi perkara ini, para kerabat Booth mendapat izin untuk menggali kembali saudara laki-laki Booth. Mereka berharap dapat membandingkan DNA yang ada di tulang belakang yang dikumpulkan selama autopsi 1865 dan disimpan di Museum Nasional Kesehatan dan Kedokteran di Maryland. Sayangnya, museum tersebut menolak menyerahkan tulang-tulang Booth yang akan rusak oleh uji DNA. Pengadilan juga menolak semua usaha untuk menggali lagi jasad Booth.
Menggali Jasad untuk Uji DNA
Penggalian jasad orang-orang terkenal memang telah sering dilakukan. Jasadnya digali untuk mempelajari bagaimana mereka hidup dan meninggal. Terakhir, seorang pelukis surealis, jasad Salvador Dali digali kembali untuk diuji garis keturunannya. Dalam kasus Dali yang lahir pada 11 Mei 1904, tepat hari ini 118 tahun silam, terdapat perempuan Spanyol bernama Maria Pilar Abel yang mengaku sebagai putrinya.
Di sisi lain, dunia mengenal Dali sebagai laki-laki yang sangat takut dengan seksualitas. Bahkan dengan istrinya sendiri ia tidak dekat dan tidak mempunyai anak. Sementara itu, Abel mengaku bahwa ia adalah anak Dali dari perempuan yang lain.
Perkara Abel dan Dali dapat diperiksa secara forensik dengan pengujian DNA (DNA testing). Tes yang juga dikenal dengan istilah penyidikan genetik ini dalam prosesnya melibatkan teknik biologi molekuler.
Dalam kasus Abel dan Dali, profil DNA dari sumber mereka berdua dicocokkan untuk menunjukkan keterkaitan biologis berbagai materi uji, sehingga dapat mendukung suatu pembuktian forensik.
Prinsip dasar pengujian DNA adalah pencocokan data atau genetik dari kejadian yang diselidiki.
Sampel-sampel tersebut dapat dikumpulkan dari tubuh korban maupun barang pribadinya, seperti sikat gigi atau sisir pribadi. Bisa juga berasal dari kerabat vertikal (kakek, nenek, orang tua kandung, anak kandung, serta cucu) maupun horisontal (saudara kandung atau tiri), atau dari bank sampel (seperti bank sperma atau bank jaringan) yang menyimpan jaringan pihak-pihak yang terlibat.
Dalam kasus pengambilan jasad yang telah dikuburkan beberapa tahun, sampel yang bisa diambil untuk pengujian DNA bisa dari tulang tengkorak, gigi, maupun rambut jasad.
DNA adalah molekul yang stabil dan tidak mudah terurai oleh gangguan fisik atau kimia. DNA yang dimiliki oleh satu individu selalu sama profilnya, tidak peduli dari bagian tubuh mana sampel diambil, asalkan terdapat sel tubuh terikut pada sampel tersebut. Ini menjadi keunggulan uji DNA, dibanding sidik jari ataupun sidik gigi dalam kasus yang melibatkan bagian-bagian tubuh yang terpencar.
Kasus yang paling umum dalam menggunakan pengujian DNA adalah penentuan orang tua atau penyelidikan pemerkosaan dan pembunuhan. Penerapan teknik ini juga dipakai untuk materi uji dari hewan maupun tumbuhan, khususnya bila keduanya dapat masuk dalam skenario pembuktian, seperti dalam kasus penyelundupan atau narkotika.
Metode pengujian ini pertama kali dipublikasikan 1986 oleh Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris. Teknik ini dikomersialkan pada tahun 1987 ketika perusahaan teknik kimia ICI membuka pusat pengujian DNA di Inggris. Metode ini sekarang menjadi prosedur forensik rutin di banyak negara.
Pengujian DNA sejatinya lebih dari sekadar pengungkap kasus kriminal, tetapi juga digunakan sebagai sumber pembelajaran mengenai alam.
Beberapa hewan paling terkenal juga penah digali untuk tujuan pembelajaran. Adalah gorila yang dipelajari oleh penjelajah National Geographic, Dian Fossey, pada tahun 1970-an.
Fossey meneliti kera selama 18 tahun di Rwanda dan dibunuh di sana pada tahun 1985, setelah secara aktif mempertahankan wilayah tersebut melawan para pemburu.
Kini, beberapa gorila yang ia amati telah ditemukan untuk dipelajari lebih lanjut. Dikombinasikan dengan data Fossey dan catatan rinci para ilmuwan lainnya, kerangka tersebut memberikan pandangan tentang bagaimana perubahan lingkungan atau kelompok sosial mempengaruhi kesehatan dan perkembangan gorila.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 25 Juli 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi