Menuju konten utama
Seri 78 Tahun Kemerdekaan

Sakit Kronis Ekonomi Sukarno-Soeharto: Inflasi, Utang, Korupsi

Kondisi ekonomi era Sukarno dan Soeharto sarat dengan hiperinflasi dan krisis. Kasus korupsi juga turut andil hambat pertumbuhan ekonomi.

Sakit Kronis Ekonomi Sukarno-Soeharto: Inflasi, Utang, Korupsi
Header sisi gelap ekonomi Sukarno-Soeharto. tirto.id/Quita

tirto.id - Tahun ini Indonesia genap 78 tahun merdeka. Kini Tanah Air diakui menjadi calon poros ekonomi masa depan, karena memegang banyak potensi mulai dari prospek pangsa pasar, tenaga kerja, hingga limpahan sumber daya alam. Namun, situasi berbeda dialami pascakemerdekaan.

Kondisi ekonomi Indonesia pada awal masa kemerdekaan merupakan salah satu yang tersulit dalam sejarah berdirinya republik ini. Kala itu, harga barang-barang pokok pernah melambung tinggi mencapai 500% pada 1965. Inflasi dan korupsi termasuk masalah utama pada masa kepemimpinan Sukarno, tulis Abdul Hakim dalam penelitian berjudul Perbandingan Perekonomian dari Masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009).

Sebenarnya, ini adalah sakit kronis yang terlambat disadari pemerintah setelah merdeka. Terlebih pada masa-masa awal, era Sukarno lebih sering berkecamuk di gejolak perpolitikan. Dalam rangka menekan inflasi, pemerintah sempat mendevaluasi Rupiah sebesar 75% pada 1959 dan cara itu sempat membuahkan hasil.

Nilai uang kertas pecahan Rp500 dan Rp1.000 diturunkan satu persepuluh dari nilai nominalnya. Kemudian, deposito bank dibekukan dan utang diperbolehkan. Strategi ini terbukti mengurangi uang beredar dari yang semula Rp34 miliar menjadi Rp21 miliar. Kurun enam bulan, persediaan uang dan inflasi kembali stabil.

Era Sukarno Politik Tekan Ekonomi

Menurut Andi Ika Fahrika dan Zulkifli dalam buku berjudul Perekonomian Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (2020), kebijakan luar negeri dan gejolak politik domestik pada masa-masa awal kemerdekaan menyebabkan perekonomian buruk meskipun pernah tumbuh berfluktuasi di angka 7% per tahun selama 1950-an.

Namun memasuki periode 1960-an, ekonomi Tanah Air merosot dengan rerata pertumbuhan tahunan 1,9%. Bahkan hampir tidak tumbuh, nyaris stagflasi di 1965-1966 karena pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing hanya 0,5% dan 0,6%. Di sisi yang sama, neraca pembayaran serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus defisit.

Sepanjang 1955-1965, rata-rata pendapatan negara Rp151 juta per tahun. Sedangkan pada periode yang sama, pengeluaran pemerintah mencapai Rp359 juta per tahun atau lebih dua kali lipat.

Cadangan devisa dan emas juga turut menipis. Dari semula USD408,9 juta menjadi minus USD4,5 juta pada 1960-1965. Kurs rupiah merosot dari Rp186,67 per USD jadi Rp14.083 per USD. Memasuki 1966, inflasi tembus 650%. Rupiah terus dicetak, sementara produktivitas barang merosot. Kebijakan berdikari ala Sukarno melarang segala bentuk impor pangan.

Meski angkanya beda, World Bank juga mencatat masa-masa sulit perekonomian RI semasa itu. Pada 1961, pertumbuhannya masih sanggup menjulang 5,7%. Namun pertumbuhannya kian merosot di level 1-3% per tahun, bahkan sempat negatif.

Melalui penelitian berjudul Kebijakan Ekonomi Soekarno pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Akhmad Syaekhu Rakhman coba menggambarkan perekonomian Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Saat itu, kondisinya sangat rumit. Belanda berupaya kembali menjajah RI selepas Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Sebelum dan selama sistem Demokrasi Terpimpin, ekonomi Indonesia menghadapi bermacam masalah. Penghasilan yang rendah menyebabkan tingkat kemiskinan begitu tinggi. Struktur perekonomian masih mengadopsi sisa-sisa kolonial dan banyak perusahaan dimonopoli asing. Intinya, situasi 1945-1950 sangat tidak menguntungkan.

Di tengah gempuran inflasi, praktik korupsi era Sukarno menambah kelam perekonomian. Berdasarkan kesimpulan Hikmatus Syuraida dalam makalah berjudul Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama hingga Era Reformasi (2015), korupsi semasa itu dipengaruhi kecilnya gaji serta dampak sistem politik yang belum stabil.

Energi pemerintah banyak terbuang mengatasi gejolak yang terjadi pascakemerdekaan RI, sehingga tak optimal mengawasi praktik rasuah. Penegakannya tidak transparan dan terkesan tertutup. Mirisnya, hukuman yang dijatuhkan terhadap para koruptor juga terbilang rendah, tidak sebanding kerugian negara akibat perbuatan mereka.

Dalam penelitian ini, Hikmatus Syuraida menemukan beberapa catatan kasus korupsi semasa Orde Lama – sebutan zaman Soeharto untuk masa kepemimpinan era Sukarno. Mulai dari perkara belasan pegawai negeri pada 1960, Yayasan Masjid Istiqlal pada 1961 hingga Rumah Sakit Umum Pusat Semarang pada 1964.

Dari sekian kasus, peneliti hanya menemukan sebagian kecil yang terpublikasi media. Faktornya tak lepas dari prosedur saat itu, seperti hasil penanganan korupsi sebatas disampaikan ke kejaksaan, sehingga abai dari perhatian publik. Cara ini dicap sebagai siasat pemerintah menutup aroma busuk tubuhnya.

Korupsi di masa Orde Lama juga disinggung dalam penelitian Ervanda Rifqi Priambodo dan sejawat yang berjudul Mengapa Korupsi Sulit Diberantas (2020). Dari keterangan yang dihimpun peneliti, tersirat betapa lemah penanganan kasus kerah putih era Sukarno.

Soeharto "Akrab" dengan Asing

Setelah menggenggam kuasa, Soeharto langsung mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Orde Baru merajut hubungan baik dengan gurita Barat: United Nations, World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Wajah perekonomian yang dulu bernuansa sosialisme era Soekarno kini berorientasi kapitalisme.

Masih dalam buku Perekonomian Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (2020), Andi Ika Fahrika dan Zulkifli menjelaskan bahwa transformasi yang dilakukan Soeharto sempat memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan bisa menahan tekanan inflasi. Tetapi, semua itu harus dibayar mahal di kemudian hari.

Di bawah rezim Soeharto, Indonesia menjadi sangat bergantung pada modal asing dan gemar berutang. Kondisi ini lantas membuat perekonomian RI rentan terhadap intervensi Barat. Kesenjangan sosial juga begitu kentara. Meskipun persentasenya turun, jumlah orang miskin masih tetap banyak dan ada di mana-mana.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi penduduk miskin era Soeharto tercatat 70 juta jiwa pada 1970. Jumlahnya pernah turun menjadi 54,2 juta pada 1976 dan setelah itu konsisten di angka 40-an juta sampai 1981. Populasi orang miskin sempat susut 22,5 juta pada 1996, tapi merangkak naik lagi jadi 49,50 juta pada 1998.

Menurut data World Bank, stok utang luar negeri Indonesia terus mengalami tren peningkatan. Pada 1970, nilainya masih setara USD3,43 miliar dengan kurs saat ini. Tapi sejak saat itu, utang negara kita terus bertambah signifikan hingga mencapai USD136,34 miliar pada 1997 dan tembus USD151,48 miliar pada 1998.

Jika dipersentasekan, total stok utang luar negeri terhadap pendapatan nasional bruto juga terbilang tinggi. Pada 1970, porsi utang 38,1% dari PDB. Angkanya lalu menjulang sejak 1982 dan tembus 72,7% pada 1987 serta puncaknya 168,2% pada 1998.

Dalam Memorandum of Economic and Financial Policies Indonesia tanggal 15 Januari 1998, dijelaskan bahwa utang luar negeri Indonesia telah mencapai USD140 miliar atau sekitar dua pertiga PDB pada akhir 1997. Sebanyak USD20 miliar di antaranya berupa utang jangka pendek dan pembayarannya mendekati sepertiga ekspor barang dan jasa.

Memorandum itu turut membeberkan kondisi perbankan di Indonesia pada penghujung rezim Soeharto. Ekspansi pesat sistem keuangan sejak akhir 1980-an menyebabkan tingkat non-performing loan bank begitu tinggi dan membebani likuiditas. Bahkan pada beberapa kasus, situasinya telah mengancam masa depan lembaga keuangan tersebut.

Ekonomi Positif Penuh Noda

Meskipun dipenuhi beban utang luar negeri, tampaknya itu menjadi pelumas andalan era Orde Baru. Merujuk data World Bank, PDB Indonesia konsisten tumbuh di kisaran 5-7% secara tahunan.

Bahkan pertumbuhannya sempat di atas 10%, angka pertumbuhan yang tidak pernah dibukukan usai Soeharto lengser. Sayangnya krisis moneter, membuat PDB RI Anjlok dari 4,7% di 1997 kemudian kontraksi -131% pada 1998

Lebih lanjut, industrialisasi era Soeharto berpengaruh minim bagi PDB Indonesia. Sampai 1985, sektor pertanian masih dominan menyumbang 24%, sedangkan industri non-migas kurang dari 14%. Pada 1970-an, rezim Orde Baru juga beberapa kali mendevaluasi Rupiah.

Devaluasi pertama merupakan dampak kebijakan AS pada 1971. Saat itu, Indonesia menurunkan nilai Rupiah dari Rp378 per USD jadi Rp415 per USD. Kebijakan devaluasi setidaknya diterapkan empat kali. Saat Radius Prawiro menjabat Menteri Keuangan era Soeharto, Indonesia bahkan pernah mendevaluasi mata uang hingga 48%.

Dalam kajian berjudul Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan (2014), Zulkarnain Nasution menjelaskan bahwa pertumbuhan pesat ekonomi RI sejak 1980 hingga 1990-an sebagian besar ditopang hasil eksploitasi sumber daya alam. Perkembangan ini juga didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat dan penanaman modal asing.

Infografik Sisi Gelap Ekonomi Sukarno Soeharto

Infografik Sisi Gelap Ekonomi Sukarno-Soeharto. tirto.id/Quita

Meski tumbuh positif, ketimpangan ekonomi justru meluas. Baik antara penduduk Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur, antara perusahaan besar dan perusahaan kecil, antara orang kota dan orang desa, maupun antara etnis yang satu dengan lainnya. Tak jauh beda dengan era Sukarno, rezim Soeharto juga sarat praktik korupsi.

Kembali mengutip isi penelitian Ervanda Rifqi Priambodo yang berjudul Mengapa Korupsi Sulit Diberantas (2020), korupsi tumbuh subur di masa Orde Baru. Soeharto pernah membentuk sejumlah tim untuk memberantas tindak rasuah. Tapi semua itu sekadar formalitas belaka. Faktanya, kasus-kasus jarang ditindaklanjuti dan kewenangan tim sangat terbatas.

Menurut Sri Handayani Retna Wardani dalam penelitian berjudul Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Korupsi Mendiang Presiden Soeharto dalam Rangka Mewujudkan Cita-Cita Reformasi (2022), begitu banyak kasus Soeharto yang belum tuntas. Di antara yang paling mencolok adalah perkara korupsi tujuh yayasan milik penguasa Orde Baru.

Kasus itu menyangkut penggunaan uang negara oleh sejumlah yayasan Soeharto, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan dan Yayasan Trikora.

Menyengatnya aroma korupsi rezim Soeharto juga tercium dari polemik kerugian yang dialami Pertamina pada era 1970-an. Semasa oil booming berkat kenaikan harga minyak dunia, devisa RI dari sektor ini meningkat hingga 70%. Tapi anehnya, Pertamina justru mengalami kerugian. Bahkan kurun 1974-1975, keuangan Pertamina kritis akibat utang.

Baca juga artikel terkait IR SOEKARNO atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas