tirto.id - Henry Ford, pelopor sistem produksi massal terstandarisasi bernama Fordism sekaligus pendiri Ford Motor Company, percaya bahwa prinsip utama penciptaan produk adalah ketahanan serta kemudahan untuk diperbaiki (repairability). Melalui prinsip ini, sebagaimana dituturkannya dalam memoir berjudul My Life and Work (1922), Ford selalu berusaha membuat produk baru tanpa melupakan produk lama alias berupaya untuk mempertahankan spare-part (suku cadang) lama tetap dapat digunakan bagi produk baru.
"Bahkan, membuat orang-orang yang membeli produk kami sesungguhnya tidak perlu membeli produk baru lagi," imbuh Ford.
Lebih dari lima dekade semenjak masa produktif Ford berinovasi, prinsip tersebut diamini oleh Steve Jobs yang mendirikan Apple bersama Steve Wozniak. Ketika Apple merilis Apple II, komputer personal tersukses pertama di dunia, sebagaimana dituturkannya dalam biografi yang ditulis Walter Isacson berjudul Steve Jobs (2011), Jobs menyertakan buku panduan teknis terperinci untuk memastikan konsumen mengetahui cara menambah (upgrade) atau mengganti suku cadang guna membuat komputer yang dimilikinya memiliki umur yang panjang.
Meskipun prinsip yang dipegang Ford dan Jobs seakan mulia, namun terdapat syarat dan ketentuan yang menggelayutinya. Daniel A. Hanley dalam Fixing America: Breaking Manufacturers Aftermarket Monopoly and Restoring Consumers Right to Repair (2020) menyebut bahwa syarat dan ketentuan dari prinsip itu ditranslasikan Ford dan Jobs melalui "corporate-authorized". Pihak yang berhak mengganti suku cadang, dalam kasus mobil-mobil Ford, adalah bengkel yang direstui oleh Ford. Dalam kasus Apple, suku cadang yang boleh ditautkan dalam beragam port/slot di komputer buatan mereka adalah suku cadang buatan Apple atau ciptaan pihak ketiga yang telah di-baiat Apple.
Prinsip mulia tetapi bersyarat yang memastikan Ford dan Apple, juga hampir semua perusahaan, mendulang untung besar. Perlahan, demi mengejar profit yang lebih tinggi serta didorong oleh konsep bernama planned obsolescence (keusangan yang direncanakan) yang dicetuskan oleh Justus George Frederick--yang berpikir untuk mengurangi umur sebuah produk secara sengaja guna membuat masyarakat harus membeli produk baru--prinsip ketahanan serta kemudahan untuk diperbaiki ala Ford dilupakan.
Hal ini menjadikan produk-produk yang tersedia di pasaran sukar diperbaiki oleh individu/konsumen. Bahkan, karena produk teknologi (dalam bentuk hardware/perangkat keras) saat ini sangat terkait dengan software (perangkat lunak) yang dikandungnya, produsen-produsen teknologi pun membatasi sejauh mana software dapat diperbarui (update). Seperti yang dilakukan Google dengan menolak memberi dukungan pada ponsel-ponsel yang menjalankan Android versi 2.3.7 (Gingerbread) mulai 27 September 2020 mendatang. Juga hampir semua produsen teknologi lain.
Sikap ini, selain melukai banyak pengguna Android serta berhasil memusnahkan prinsip repairability, juga membuat pengguna rentan terpapar serangan keamanan siber dan bumi kian terjerembab ke dalam masalah lingkungan.
Ponsel yang Cepat Usang
Awal Agustus 2020, peristiwa paling membosankan dalam dunia teknologi terulang kembali. Kala itu, Samsung, perusahaan yang didirikan oleh Lee Byung-chul lebih dari 80 tahun lalu, mengadakan acara bertajuk "Unpacked" yang digelar untuk merilis produk teranyar mereka, Samsung Galaxy Note 20 dan varian lainnya (Note 20 Ultra dan Tab S7) beserta aksesoris (Buds Live dan Watch 3).
Saya sebut membosankan karena tidak ada pembaruan fundamental dari teknologi yang dirilis Samsung. "Unpacked" hanya soal menambah spesifikasi: prosesor dipercepat, RAM dan kapasitas penyimpanan ditambah, rasio layar ke cangkang ponsel dibuat semakin menipis, megapiksel kamera diperbesar, dan sejenisnya. Tentu, acara membosankan seperti ini tak hanya digelar Samsung, tetapi juga Google, Xiaomi, OPPO, dan bahkan Apple. Aspek “wow” dalam acara-acara peluncuran produk teknologi--khususnya ponsel--telah hilang semenjak Apple merilis generasi pertama iPhone dan Google/HTC merilis HTC Dream/T-Mobile G1, pada tahun 2007 dan 2008.
Namun, meskipun membosankan, bukan berarti tidak ada informasi penting. Dalam acara "Unpacked" Samsung Galaxy Note 20, mislanya, Federico Casalegno, Senior Vice President Samsung Global menyebut bahwa Samsung berjanji "untuk mendukung sistem operasi pada ponsel Samsung milikmu hingga tiga generasi." Suatu pernyataan yang berbanding terbalik dengan sikap Samsung terkait update sistem operasi bagi ponsel buatannya sebelum itu.
Dalam catatan sejarah Samsung, sebelum Casalegno mengungkap pernyataan soal komitmen update tiga generasi, Samsung merupakan produsen ponsel yang abai terhadap update sistem operasi. Galaxy S8, ponsel premium Samsung dalam seri “S” yang dirilis pada 29 Maret 2017 silam, misalnya, telah masuk dalam kategori “usang”, dan karenanya tak layak untuk tetap digunakan meskipun fisiknya masih enak dipandang mata. Alasannya, ponsel yang lahir dengan mengusung Android 7.0 (Nougat) ini hanya kebagian pembaruan utama (major update) mentok di versi Android 9.0 (Pie), pada Februari 2019 lalu. Artinya, S8 hanya berumur tak lebih dari tiga tahun semenjak dilahirkan.
Seri-seri “S” di bawah S8 mengalami nasib serupa: usang tak sampai 3 tahun selepas peluncurannya. S7 misalnya, ponsel yang versi aslinya mengusung Android 6.0 (Marshmallow), harus legawa hanya kebagian Android 8.0 (Oreo) sebagai versi Android yang paling tinggi. Dan S6, yang diluncurkan pada 2015 dan mengusung Android 5.0 (Lollipop), mentok di versi Android 7.0 (Nougat). Yang terburuk adalah Galaxy S edisi pertama dan S3. Keduanya tidak memperoleh pembaruan utama--minor belaka--semenjak diluncurkan. S, yang versi aslinya adalah Android 2.1, harus puas dengan Android 2.3 sebagai update terakhir dan S3, yang ketika muncul dimotori Android 4.0, harus ikhlas dengan Android 4.3 sebagai OS paling mutahkir yang dapat dipasang.
Tentu, Samsung tak sendirian soal ini. Find, seri premium dari OPPO, misalnya, telah mati pada varian OPPO Find 7. Ponsel yang dirilis pada 2014 dan mengusung Android 4.3 tersebut hanya mentok memperoleh pembaruan utama Android 8, atau usang selepas tiga tahun diluncurkan. Mi, seri premium dari Xiaomi, juga mengalami masalah ini.
Terkadang produsen memang merilis update minor/security patch untuk menambal celah keamanan pada produk usang mereka. Sayangnya, dalam kasus sistem operasi, terdapat perbedaan jauh terkait fitur keamanan antara satu versi dengan lainnya. Android 10, misalnya, memiliki opsi privasi yang lebih ketat dibandingkan Android 9.0. Alih-alih memberikan atau tidak memberikan izin mengakses fitur lokasi pada suatu aplikasi, Android 10 memungkinkan penggunanya hanya “memberikan akses lokasi ketika aplikasi dibuka". Ketika suatu ponsel mentok di versi tertentu suatu sistem operasi dan tidak bisa di-update ke versi paling baru, ketika itulah ponsel berada di titik “usang” meskipun secara fisik masih bagus.
Mentok dalam tempo hanya tiga tahun, tentu saja sangat menggelikan. Pasalnya, umur layak pakai suatu ponsel sesungguhnya bertumpu pada seberapa jauh perangkat itu memperoleh pembaruan sistem operasi, bukan pada seberapa cepat dan seberapa besar prosesor serta RAM terpasang. Ini terjadi karena dengan tidak diberikan update atau didukung sistem operasinya oleh perusahaan pembuat, secara teknis ponsel akan rentan dihampiri makhluk bernama zero-day vulnerability. Yakni suatu rentang waktu (gap) antara celah keamanan yang baru saja ditemukan dalam suatu produk teknologi dengan usaha pemilik/pembuat produk teknologi menambal celah itu. Ketika celah keamanan itu ditemukan dalam produk bertitel "lawas" pemilik/pembuat umumnya tidak peduli, tidak akan menambal celah tersebut.
Membuat ponsel yang tidak di-update dalam tempo lama, kembali menyentil konsep planned obsolescence, masyarakat dipaksa membeli ponsel baru--meskipun rupa dan hardware yang tertanam dalam ponsel milik masyarakat masih layak digunakan. Padahal, sebagaimana dituturkan Brian Merchant, editor "Motherboard"--kompartemen teknologi pada media Vice, dalam The One Device: The Secret History of the iPhone (2017), ponsel merupakan salah satu produk buatan manusia yang rakus material-material bumi. iPhone, misalnya, dari total berat per unitnya 129 gram mengandung berbagai material bumi, aluminium, silikon, emas, timah, besi, lithium, sulfur, serta 22 material lainnya yang menggenapkan berat hingga angka 129 gram, termasuk “material langka” berupa yttrium, neodymium, dan cerium.
Artinya, dengan dipaksa membeli ponsel baru, material-material bumi tersebut terus-terusan dieksploitasi. Suatu pekerjaan yang dalam tataran ekstrim seperti yang ditulis Dennis L. Meadows dalam The Limits to Growth: A Report for the Club of Rome's Project on the Predicament of Mankind (1972), membuat peradaban manusia hancur pada 2030 kelak karena material-material tersebut tak bisa diperbaiki.
Editor: Irfan Teguh Pribadi