tirto.id - Awal Agustus 2020, terjadilah peristiwa paling membosankan dalam dunia teknologi. Samsung, perusahaan yang didirikan oleh Lee Byung-chul lebih dari 80 tahun lalu, mengadakan acara bertajuk "Unpacked" yang digelar untuk merilis produk teranyar mereka. Produk baru itu ialah Samsung Galaxy Note 20 dan varian lainnya (Note 20 Ultra dan Tab S7) beserta aksesoris (Buds Live dan Watch 3).
Saya sebut membosankan karena tidak ada pembaruan fundamental dari teknologi yang dirilis Samsung itu. "Unpacked" hanya soal menambah spesifikasi: prosesor dipercepat, RAM dan kapasitas penyimpanan ditambah, rasio layar ke cangkang ponsel dibuat semakin menipis, megapiksel kamera diperbesar, dan sejenisnya. Tentu, acara membosankan ini tak hanya digelar Samsung, tetapi juga Google, Xiaomi, OPPO, dan bahkan Apple. Aspek “wow” dalam acara-acara peluncuran produk teknologi--ponsel khususnya--telah hilang semenjak Apple merilis generasi pertama iPhone dan Google/HTC merilis HTC Dream/T-Mobile G1, pada 2007 dan 2008 silam.
Yang menggelikan, produk baru nan membosankan itu (tak hanya yang dirilis Samsung, tentu saja) dirayakan melalui kemunculan video-video unboxing dan review dari para Youtuber, serta mencuatnya kata kunci “spesifikasi (sebutkan nama ponsel apapun yang baru dirilis)” dan “harga (sebutkan nama ponsel apapun yang baru dirilis)” di pencarian Google.
Namun, meskipun membosankan, bukan berarti tidak ada informasi penting yang lahir. Dalam acara "Unpacked" Samsung Galaxy Note 20 tersebut, Federico Casalegno, Senior Vice President Samsung Global, menyebut bahwa Samsung berjanji “untuk mendukung sistem operasi pada ponsel Samsung milikmu hingga tiga generasi”.
The Verge melaporkan, janji update sistem operasi itu tak hanya berlaku pada seri Note--sesuai dengan tema utama Unpacked, tetapi juga untuk seri “S” dan “Z”. Jika perangkat keras memungkinkan, Samsung pun berjanji untuk menjamin pembaruan selama tiga generasi sistem operasi pada seri “A”.
Kenapa informasi soal jaminan dari Samsung bahwa seri “N”, “S”, dan “Z” akan up-to-date hingga tiga generasi Android saya sebut penting? Alasannya, umur layak pakai suatu perangkat sesungguhnya bertumpu pada seberapa jauh perangkat itu memperoleh pembaruan sistem operasi.
Zero-Day Vulnerability
Roger Entner, dalam laporan berjudul “International Comparisons: The Handset Replacement Cycle” (2011) mengungkap korelasi kapan orang akan mengganti ponsel lamanya dengan pendapatan per kapita di suatu wilayah. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu wilayah, semakin cepat penduduk di wilayah itu akan mengganti ponselnya. Begitu pula sebaliknya. Pada 2010 pendapatan per kapita Brazil ada di angka $11.239. Sementara itu, penduduknya mengganti ponsel rata-rata setiap 80,2 bulan sekali. Masyarakat India yang pendapatan per kapitanya berada di angka $3.339 mengganti ponsel mereka setiap 93,6 bulan.
Penduduk Kanada, yang memiliki pendapatan per kapita sebesar $39.057, akan mengganti ponsel mereka setiap 33 bulan sekali. Dengan pendapatan per kapita di angka $47.284, orang AS rata-rata mengganti ponsel mereka setiap 21,7 bulan.
Art Swift, dalam rangkuman atas riset yang dilakukan perusahaan analisis Gallup terhadap lebih dari 15 ribu warga Amerika Serikat di tahun 2015 silam, menyebut bahwa rata-rata orang Amerika akan mengganti ponsel mereka setiap 22 bulan. Secara lebih spesifik, 44 persen responden mengungkapkan bahwa mereka akan membeli ponsel baru “tak lama selepas provider telepon selular mengizinkan”. Di AS, sangat lazim orang-orang membeli ponsel bundling, yaitu ponsel yang dijual oleh provider dengan harga lebih terjangkau dengan syarat pembeli mau berlangganan paket seluler/data tertentu selama beberapa tahun. AT&T, provider telekomunikasi di AS yang didirikan Alexander Graham Bell, misalnya, memungkinkan orang dengan uang $21,67 per bulan memiliki iPhone 7 versi 32GB lengkap dengan paket datanya. Perlu kocek sebesar $649,99 untuk memboyong ponsel ini tanpa ikatan kontrak.
Selanjutnya, hanya ada 2 persen responden yang mengaku akan langsung membeli ponsel keluaran terbaru tak lama selepas pabrikan meluncurkan ponsel baru.
Yang menarik, mayoritas responden, atau sekitar 54 persen, mengatakan akan mengganti ponsel “hanya ketika ponsel (yang digunakan saat ini) mati atau telah menjadi usang”.
“Mati,” jelas maksudnya. Ponsel telah tak berfungsi, tidak hidup ketika dinyalakan. Lalu, apa yang dimaksud “usang”? Tidak ada penjelasan lebih jauh soal ungkapan “usang” dalam riset itu. Namun, jika saya diharuskan menjawab, “usang” yang dimaksud ialah batas akhir suatu ponsel memperoleh update. Dalam tulisan ini, update yang saya maksud adalah pembaruan utama (major update), bukan update minor atau security patch. Mengapa? Ada dua alasannya. Yakni zero-day vulnerability dan absennya fitur yang benar-benar baru dalam suatu produk.
Dalam dunia teknologi, zero-day vulnerability merupakan rentang waktu (gap) antara celah keamanan yang baru saja ditemukan dalam suatu produk teknologi dengan usaha pemilik/pembuat produk teknologi menambal celah itu. Sayangnya, ketika celah keamanan itu ditemukan dalam produk lawas, pemilik/pembuat umumnya tidak peduli (baca: tidak akan menambal celah tersebut). Dalam kasus Google sebagai pemilik Android, misalnya, Google sangat mungkin tidak mempedulikan/lambat bereaksi atas celah keamanan yang baru ditemukan di Android 8.0 (Oreo) karena kini versi yang dipelihara oleh Google adalah Android 10--dan mereka tengah menguji Android 11. Penjahat siber bisa memanfaatkan kesempatan jika gap terlalu lama.
Ya, terkadang produsen memang akhirnya merilis update minor/security patch untuk menambal celah keamanan pada produk usang mereka. Kembali ke alasan saya di atas, dengan hanya memperoleh update minor, produk teknologi tidak akan memperoleh fitur-fitur baru secara fundamental. Dalam kasus Android, misalnya, Android 10 memiliki opsi privasi yang lebih ketat dibandingkan Android 9.0. Alih-alih memberikan atau tidak memberikan izin mengakses fitur lokasi pada suatu aplikasi, Android 10 memungkinkan penggunanya hanya “memberikan akses lokasi ketika aplikasi dibuka".
Ketika suatu ponsel mentok di versi tertentu suatu sistem operasi dan tidak bisa di-update ke versi paling baru, ketika itulah ponsel berada di titik “usang” meskipun secara fisik masih bagus. Sialnya, Samsung (dan juga mayoritas ponsel Android ciptaan perusahaan manapun) punya catatan buruk soal ini.
Repotnya Memoles Android
Galaxy S8, ponsel premium Samsung dalam seri “S,” selain seri “N (note)” dan “Z (Fold),” yang dirilis pada 29 Maret 2017 silam dan mempopulerkan konsep layar “Infinity Display”, telah masuk dalam kategori “usang”, dan karenanya tak layak untuk tetap digunakan meskipun fisiknya masih enak dipandang mata. Alasannya, ponsel yang lahir dengan mengusung Android 7.0 (Nougat) ini hanya kebagian pembaruan utama (major update) mentok di versi Android 9.0 (Pie), pada Februari 2019 lalu. Artinya, S8 hanya berumur tak lebih dari tiga tahun semenjak dilahirkan, karena Google kemudian meluncurkan Android 10 pada September 2019.
Tentu, seri-seri “S” di bawah S8 mengalami nasib serupa: usang tak sampai 3 tahun selepas peluncurannya. S7 misalnya, ponsel yang versi aslinya mengusung Android 6.0 (Marshmallow) harus legowo hanya kebagian Android 8.0 (Oreo) sebagai versi Android yang paling tinggi. S6, yang diluncurkan pada 2015 dan mengusung Android 5.0 (Lollipop), mentok di versi Android 7.0 (Nougat).
Yang terburuk adalah Galaxy edisi S pertama dan S3. Keduanya tidak memperoleh pembaruan utama--minor belaka--semenjak diluncurkan. S, yang versi aslinya adalah Android 2.1, harus puas dengan Android 2.3 untuk update terakhir. S3, yang ketika muncul dimotori Android 4.0, harus ikhlas dengan Android 4.3 senagai OS yang terakhir diperbaharui.
Samsung, sebagaimana yang saya singgung di atas, tak sendirian. Find, seri premium dari OPPO, telah mati pada varian OPPO Find 7. Ponsel yang dirilis pada 2014 dan mengusung Android 4.3 tersebut, hanya mentok memperoleh pembaruan utama Android 8, atau usang selepas tiga tahun diluncurkan. Mi, seri premium dari Xiaomi, kini telah mentok di titik Mi 6, ponsel yang dirilis pada 2017. Dengan alasan yang sama, Mi 6, yang versi aslinya menggunakan Android 7.1, mentok di Android 9.0.
Ponsel buatan Huawei bahkan nasibnya lebih buruk karena pemerintah AS melarang perusahaan-perusahaannya, khususnya Google, bekerjasama dengan perusahaan asal Cina ini.
Di dunia Android, Google Pixel termasuk ponsel yang paling beruntung soal pembaruan. Pixel versi pertama (1st generation), yang diluncurkan pada 2016 silam dan mengusung Android 7.1 sebagai bawaan, masih dapat mencicipi Android 10--versi teranyar, sebelum beberapa bulan lagi digantikan Android 11.
Adakah alasan utama mengapa ponsel-ponsel Android hanya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menjadi usang? Jawabannya adalah sifat Android itu sendiri. Android, yang dikembangkan Google, merupakan sistem operasi open source dan bebas digunakan siapa saja. Ketika Google usai mengembangkan versi Android terbaru, ia akan melempar kode pemrograman Android ke publik. Ketika Android tersebut diunduh oleh 100 perusahaan, misalnya, tercipta pula 100 varian Android. Perusahaan pencipta ponsel Android memang senang membuat versi lain dari Android “murni” ala Google, entah hanya sebatas tampilannya saja ataupun secara menyeluruh. Samsung, misalnya, membuat One UI. Xiaomi membuat MIUI. OPPO membuat Color OS. Amazon membuat Fire OS.
Akibat otak-atik Android yang dilakukan perusahaan pembuat ponsel, ada jeda dan biaya yang cukup tinggi jika hendak mengimplementasikan versi terbaru Android.
Di sisi lain, teknisi Android Iliyan Malchev, sebagaimana diungkapkannya pada blog resmi Google, menyebut bahwa ketika Google usai mengembangkan Android versi terbaru, Google akan melemparkan Android terbaru itu ke perusahaan pembuat chip/prosesor. Di sana, perusahaan pembuat prosesor akan menambahkan set fungsi-fungsi dalam tubuh prosesor guna mendukung Android terbaru. Lagi-lagi, perusahaan-perusahaan pembuat ponsel Android pun kini lebih memilih membuat prosesornya sendiri, alih-alih membeli dari pihak ketiga/pihak yang langsung bekerjasama dengan Google. Samsung membuat prosesornya sendiri yang bernama Exynos. Huawei menciptakan Kirin. Xiaomi membuat Surge S1.
Di dunia ponsel, satu-satunya perusahaan yang punya catatan baik soal pembaruan utama produknya adalah Apple. iPhone 6S, iPhone yang dirilis pada 2015 silam, dipastikan masih sanggup menjalankan iOS 14, versi iOS yang bahkan masih dalam pengembangan. Artinya, iPhone 6S dapat dipakai lebih dari 5 tahun semenjak diluncurkan. Ya, iPhone lebih panjang umur karena tak memiliki masalah-masalah yang terdapat di Android. Apple mengembangkan ponsel, prosesor, dan sistem operasi sendiri.
Editor: Windu Jusuf