tirto.id - Nama Montesquieu tak pernah lepas dari buku Spirit Hukum (L’Esprit des lois). Dalam buku itu ia menggagas di antaranya pemisahan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang kini berlaku di nyaris seluruh negara demokrasi. Namanya sejajar filsuf-filsuf Perancis lain yang menjadi emblem Pencerahan: Voltaire, Diderot, dan Rousseau. Serupa ketiganya, buah pikiran Montesquieu di antaranya diutarakan lewat novel filosofis.
Saat usia 26 tahun, pada 1715, Montesquieu sedang galau-galaunya. Raja Louis XIV wafat dan putra mahkota, Louis XV, masih kanak-kanak. Ada banyak pertanyaan di kepala Montesquieu: Apakah Jesuit (yang telah diusir Louis XIV) bakal kembali dan merecoki pemerintahan? Apakah kita sedang mengarah ke pembusukan monarki? Apakah Perancis bakal jadi republik? Zaman apa yang sebenarnya sedang kita alami sekarang?
Menjawab kegelisahan itu, ditulislah Surat-Surat Persia (Lettres Persanes), sebuah novel perjalanan berisi korespondensi antara dua tokoh utamanya, Usbek dan Rica, dengan kawan dan kolega mereka di Persia dan Turki Usmani. Usbek dan Rica dikisahkan melancong ke Perancis, meninggalkan istri-istri mereka di harem.
Isi korespondensi tersebut (jumlahnya ratusan) memuat komentar, refleksi, dan olok-olok tentang masyarakat dan monarki Perancis. Tak jarang pula, Usbek dan Rica gamang menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan serta hubungan antara laki-laki dan perempuan yang lebih bebas—yang mereka bandingkan dengan suasana di Persia.
Montesquieu tak pernah menyaksikan Persia dan Turki. Ia mengandalkan catatan perjalanan Jean Chardin ke negeri-negeri tersebut, yang laris pada masanya dan banyak memengaruhi intelektual Perancis. Persia dalam bayangan sang penulis adalah negeri dengan istana-istana megah, harem, dan para sultan yang sewenang-wenang.
Pada zamannya, Surat-Surat Persia adalah novel bestseller. Namun, karena takut dipersekusi raja dan gereja Katolik, karya tersebut diterbitkan di Belanda, dengan nama Montesquieu sebagai penerjemah, alih-alih penulis.
Orientalisme
Cara paling mudah (dan seringkali keliru) mengukur tingkat keadaban masyarakat adalah membandingkannya mentah-mentah dengan masyarakat lain. Contoh masyarakat yang diambil bisa dianggap lebih bermoral dan maju, atau sebaliknya, terbelakang dan dekaden.
Ukuran maju/terbelakang, bermoral/dekaden, tentu terbuka untuk diperdebatkan. Buat sebagian masyarakat Indonesia, “Amerika” dan “Eropa” bersinonim dengan kemajuan, yang bagi sebagian lain adalah simbol kemerosotan moral. Sebagian masyarakat Indonesia memandang Arab Saudi sebagai contoh pemerintahan yang berakhlak; sebaliknya, bagi yang lain: wujud tirani agama.
Perkara banding-membandingkan ini sudah terjadi berabad-abad dan dianggap lumrah, termasuk oleh Montesquieu dan rekan-rekan sezaman.
Untuk mengkritik bangsawan-bangsawan snob di negerinya, Voltaire misalnya mengarang fiksi L’Ingenu (1767) yang mengisahkan perjumpaan orang asli Amerika (yang digambarkan polos) dengan kebudayaan Perancis. Dalam semesta novel pendek itu, si pemuda lugu mengomentari (dan mengencingi) tetek-bengek norma dan basa-basi ningrat Eropa—pesan yang sebenarnya ingin disampaikan Voltaire sendiri.
Beda kisah dengan Montesquieu. Dalam novel Surat-Surat Persia (1721), Montesquieu membayangkan Timur Dekat, lebih tepatnya Persia, untuk memperingatkan bahaya despotisme, yang salah satunya ia jabarkan dalam novel tersebut melalui simbolisasi harem: sebuah ruang tempat satu laki-laki berkuasa atas banyak perempuan, yang dikawal segerombolan laki-laki lain yang mahkotanya dikebiri.
Tentu yang tak terhindarkan dari perbandingan macam ini adalah stereotip. Gambaran yang buruk dan menindas diasosiasikan dengan Persia, Turki, dan Islam. Baik Montesquieu maupun Voltaire menipiskan latar belakang kebudayaan beserta dinamikanya dari karakter-karakter non-Eropa; dengan kata lain: orientalisme.
Model penggambaran karakter ini bersifat Eropa-sentris, dan dalam sejarahnya telah melahirkan konstruksi terhadap orang-orang non-Eropa yang dipandang serba eksotis, serba polos, dan kadang serba kejam. Kajian-kajian yang ditulis dengan perspektif orientalis umumnya dipakai untuk menopang eksploitasi dan kolonialisme, sebagaimana para intelektual Belanda di masa Hindia Belanda. Namun, ada kalanya pula perspektif serupa juga berlaku untuk memotret subjek-subjek sesama Eropa yang dianggap inferior secara politik, ekonomi, maupun militer, misalnya masyarakat Polandia, Balkan, atau Rusia pra-modernisasi pada pertengahan abad 19.
Despotisme
Islam, dalam imajinasi orientalis Montesquieu (dan banyak intelektual Perancis pada masanya), dipandang sebagai agama penopang kekuasaan despotik. Perspektif ini khas era pra-sekuler: agama dianggap sebagai sumber hukum dan norma keseharian.
Dalam Spirit Hukum yang terbit pada 1748, Montesquieu membandingkan Islam dan Kristen:
“Agama Kristen jauh dari despotisme murni; belas kasih yang dianjurkan dalam Injil bertentangan dengan kesewenang-wenangan despotik di mana seorang pangeran bisa main hakim sendiri dan berlaku kejam … Agama Mohammedan [Islam], yang hanya berbicara dengan pedang, terus memperlakukan manusia dengan semangat destruktif yang menjadi pijakannya.”
Pada masa itu masyarakat Islam, dan kadang juga Tiongkok, seringkali dirujuk sebagai contoh budaya politik yang buruk. Sebabnya macam-macam. Yang paling liar dan umum berasal dari persepsi pasca Perang Salib bahwa Muhammad menyebarkan agama melalui perang dan berkuasa absolut—dan itu diwariskan ke Turki Usmani.
Siapa pun yang ingin berkuasa mutlak di keraton Paris, bakal dituduh terpengaruh Turki, seperti yang terjadi pada abad 16, ketika hakim-hakim Paris menuding Henry III menjalankan pemerintahan mirip “despotisme Turki”.
Pandangan yang lebih intelek, misalnya diwakili oleh Tocqueville (hidup seabad setelah Montesquieu), mengatakan dalam Demokrasi di Amerika (1835) bahwa ajaran Islam terlalu komplet, tak hanya mengatur hubungan dasar manusia dan Tuhan, serta manusia dan manusia, tapi juga segala aspek pemerintahan. Pencerahan dan demokrasi dimungkinkan dalam masyarakat Eropa, demikian Tocqueville, karena aturan-aturan Kristen tak sekompleks dan semenyeluruh Islam.
Montesquieu memang mengkritik despotisme Louis, yang ia sebut—melalui karakter Usbek dalam Surat-Surat Persia—terinspirasi sultan Turki dan kerajaan Timur lain yang menjalankan pemerintahan lebih efektif (Surat 37). Namun ia tak percaya para bangsawan bakal lebih beres mengurus negara, alih-alih memperjuangkan privilese dan kepentingan pribadi.
Di sisi lain, di luar stereotip muslim, Montesquieu justru meletakkan orang-orang Usbek dan Rica sebagai dua turis berpikiran jernih yang memberikan pelajaran penting bagi Perancis agar tak tergelincir ke lubang kekuasaan yang sewenang-wenang.
Dalam Surat 11-14, Usbek menceritakan kepada kawannya, Mirza, tentang keberadaan suatu suku padang pasir. Saking tak bisa diatur, kasar, dan buas, suku ini menunjuk seorang raja asing, yang lantas mereka gulingkan dan ganti dengan republik. Republik itu berumur singkat karena mereka gulingkan lagi dan ganti pemerintahan para hakim. Mereka sempat bahagia sampai akhirnya seseorang berambisi jadi raja, menghabisi para hakim, lalu berkuasa. Demikian siklus itu bergulir sampai akhirnya mereka punah.
Troglodytes, nama suku barbar padang pasir itu, dibahas sebagai contoh bagaimana manusia lahir tidak langsung sebagai orang bijak dan punya rasa keadilan. Karenanya pemerintahan dibutuhkan dan terus berkembang, yang bentuknya bisa lebih beradab, tapi juga kadangkala terperosok ke jurang barbarisme.
Surat-Surat Persia sempat dilarang beredar pada abad 18. Barangkali pikiran-pikiran jernih dari Timur yang memperingatkan rontoknya kedigdayaan Perancis akibat masyarakat yang puas diri dianggap terlalu memalukan buat sensor.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam