Menuju konten utama

Saat Cinta dan Benci Sama Kuatnya, dan Menjadi Problematik

Ambivalensi bisa terjadi karena setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk.

Saat Cinta dan Benci Sama Kuatnya, dan Menjadi Problematik
Ilustrasi pertengkaran orangtua. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam sepuluh tahun terakhir, toxic relationship telah menjadi istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan sebuah hubungan atau relasi yang tidak sehat.

Tak hanya hubungan antar kekasih, tapi istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan hubungan antar anggota keluarga, teman, rekan kerja, bahkan tetangga, yang meresahkan dan mengganggu sampai terus-menerus memunculkan masalah.

Namun dalam beberapa minggu terakhir, ambivalent relationship, sebuah istilah yang digunakan untuk melabeli hubungan yang ambivalen, sedang dibahas di mana-mana.

Walaupun istilah ini sudah lama digunakan, tapi kembali menjadi sorotan setelah Adam Grant, seorang psikolog organisasi dan penulis buku-buku best seller, menulis sebuah esai tentang hubungan ambivalen di New York Times pada Mei 2023.

Dalam esainya, Adam menyebutkan kalau hubungan ambivalen bisa lebih problematik dibandingkan hubungan yang toksik.

Berada di dalam hubungan ambivalen dapat membuat stres orang yang menjalaninya; bahkan telah ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan kalau hubungan yang ambivalen dapat berpengaruh buruk ke kesehatan, salah satunya adalah kalsifikasi arteri koroner.

Jadi, Apa Sebenarnya Hubungan Ambivalen Itu?

Sebuah artikel penelitian berjudul Implicit Ambivalence: A Driving Force to Improve Relationship Problems yang diterbitkan pada 2021 menyebutkan bahwa seseorang dapat memiliki penilaian yang positif dan negatif terhadap objek tertentu.

Ini membuat seseorang tersebut memiliki sikap yang ambivalen atau bertentangan terhadap objek. Tak hanya sekali, rasa yang campur aduk ini bisa muncul berkali-kali.

Jika dikaitkan dengan percintaan, maka seseorang yang terlibat dalam hubungan ambivalen memiliki perasaan campur aduk dan bertentangan antara cinta dan benci terhadap pasangannya.

Sisi negatif yang dibenci dari pasangannya bisa membuat seseorang ingin meninggalkan hubungan tersebut, tapi jika mengingat pasangannya juga punya sisi positif yang membuat bahagia, maka rasanya berat untuk berpisah. Orang tersebut akhirnya terlibat dalam hubungan ambivalen.

Lex dePraxis, relationship coach dan co-founder KelasCinta.com, mengatakan kalau sebenarnya, perasaan yang bertentangan ini hadir dalam hampir semua hubungan dan itu wajar terjadi.

Menurutnya, “Ambivalensi bisa terjadi karena setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk. Seseorang bisa memiliki kelebihan di satu bidang tapi lemah di bidang yang lain. Itu sebabnya setiap hubungan sebenarnya punya kecenderungan untuk ambivalen, tapi tak berarti hubungan tersebut merupakan hubungan ambivalen yang problematik. Untuk itu, kita harus melihat dulu kadar pertentangannya, masih normal atau sudah ekstrem.”

Ambivalensi menjadi tidak lagi wajar jika pertentangan positif dan negatifnya sudah menjadi ekstrem. Misalnya saja pasangan setia dan royal, tapi sisi negatifnya, ia mudah marah dan bertindak kasar. Atau misalnya pasangan mengurus rumah dan anak-anak dengan baik, tapi ia ternyata berselingkuh.

Ini membuat seseorang bisa merasa memiliki rasa cinta, sayang, atau kagum kepada pasangannya, tapi pada saat bersamaan juga merasa sangat marah, takut, atau jijik. Hubungan percintaan yang ambivalen ini menjadi sumber kebahagiaan yang intens dan memberi rasa sakit yang sama intensnya.

Infografik Ambivalent Relationship

Infografik Ambivalent Relationship. tirto.id/Quita

Benarkah Hubungan Ambivalen Lebih Problematik?

Seseorang harus waspada saat hubungan yang ia jalani dengan orang lain sudah menunjukkan munculnya ambivalen yang ekstrem.

Menurut Lex, gejala-gejala yang muncul pada setiap hubungan bisa berbeda karena setiap orang memiliki standar masing-masing dalam menilai pasangannya. Namun seseorang bisa mulai waspada saat ia mulai merasa tersakiti akibat perlakuan pasangan. Perlu dipikirkan apakah kondisi ini nantinya akan memunculkan masalah-masalah yang lebih besar dalam hubungan atau kepada diri sendiri?

“Jika dibiarkan, hubungan ambivalen memang bisa lebih berbahaya dari hubungan yang toksik. Karena jika kita berhubungan dengan pasangan yang jelas-jelas buruk, maka kita akan punya ketegasan dan keberanian untuk pergi dari hubungan itu. Namun hubungan ambivalen dapat membuat perasaan kita terombang-ambing dan mengalami dilema karena pasangan juga memiliki sisi positif yang kuat. Kebanyakan memilih untuk terus bertahan dalam hubungan,” ungkap Lex.

Tak hanya bertahan, menurut Lex, orang tersebut biasanya juga akan berusaha memperbaiki pasangan agar bisa mengatasi sifat-sifat buruknya. Harapannya, pasangan bisa berubah sehingga hubungan mereka bisa menjadi lebih sehat.

Padahal, sangat sulit untuk mengubah orang lain kecuali ia ada keinginan untuk benar-benar berubah. Akibatnya orang ini mengalami kerugian waktu. Tak hanya itu, semakin lama dibiarkan juga membuat semakin sulit untuk keluar dari hubungan tersebut.

Selain itu, hubungan yang ambivalen juga terbukti secara medis dapat berpengaruh kepada kondisi kesehatan tubuh.

Sebuah hasil penelitian pada tahun 2005 menyebutkan bahwa hubungan ambivalen dengan orang-orang sekitar, termasuk dengan pasangan, lebih dapat memicu stres psikologis dibandingkan dengan hubungan yang tidak sehat atau bermusuhan.

Beberapa penelitian lain juga menyebutkan kalau memiliki hubungan-hubungan yang ambivalen, baik dengan pasangan, keluarga, atau rekan kerja, bisa memicu kenaikan detak jantung dan kenaikan tekanan darah bagi orang dewasa.

Apa yang Harus Dilakukan saat Berada dalam Hubungan Ambivalen?

Adam Grant menyebutkan kalau kebanyakan orang yang berada dalam hubungan ambivalen memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Alasannya, pertama, karena mencerna konsep ambivalen itu sulit bagi orang-orang yang terbiasa mengelompokkan hidupnya menjadi dua kelompok ekstrem yaitu hitam atau putih dan baik atau buruk.

Kedua, rasanya sangat sulit untuk mengakui bahwa seseorang yang begitu berarti bisa memberi sekaligus mengambil kebahagiaan dalam hidup; lebih sulit lagi untuk mengakuinya jika ia yang melakukan hal tersebut kepada orang(-orang) yang ia sayangi.

Kondisi di Barat tidak jauh berbeda dengan di Timur yang mayoritas masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai agama dan menjalani hidup dengan cenderung konvensional.

Di Indonesia, misalnya, hubungan-hubungan seperti ini umumnya untuk dipertahankan. Ini bisa terlihat dalam pernikahan, jika ada ada suami atau istri yang mengeluhkan sifat atau perilaku buruk pasangan mereka ke orang tua, maka orang tua akan meminta anaknya untuk bersabar dan banyak berdoa agar pasangan bisa berubah tanpa memberikan solusi yang konkret.

Bahkan jika sisi negatif yang muncul sudah sangat ekstrem sampai pasangan melakukan kekerasan atau penipuan, menurut Lex, masyarakat di Indonesia banyak yang merasa tidak perlu untuk meminta bantuan dari profesional dan hukum.

Alasannya bisa berupa rasa kasihan karena pasangannya sebenarnya juga orang yang punya banyak sisi positifnya, atau karena ia tidak mau jadi sosok yang jahat yang jadi penyebab hubungan hancur berantakan.

Jika ada yang bingung menyikapi hubungan yang ambivalen, terutama yang ekstrem, maka Lex menyarankannya untuk berkonsultasi dengan profesional, bisa dengan psikolog, konsultan pernikahan, atau relationship coach.

Ini merupakan langkah yang tepat untuk mendapatkan masukan dan tidak berpikir sendirian untuk membuat keputusan saat berada dalam hubungan ambivalen. Mereka akan melihat sisi positif atau negatif pasangan dan membantu klien untuk menimbang dampaknya ke kehidupan si klien.

“Misalnya sisi positif pasangan si klien sangat besar sedangkan sisi negatifnya cenderung kecil, mungkin hubungan masih bisa dilanjutkan sambil dicari cara-cara untuk keduanya memperbaiki dan memberdayakan diri. Namun jika ternyata sisi negatif pasangannya sudah ekstrem sampai kasar dan menyakiti, maka para profesional ini akan membantu menyiapkan langkah-langkah terbaik jika kemungkinan akan keluar dari hubungan tersebut,” jelasnya.

Adam Grant menyarankan untuk mengakhiri hubungan jika pasangan sudah berlaku sangat negatif sampai melakukan kekerasan. Baginya, tak ada sifat positif seseorang yang bisa sebanding atau mengalahkan sifat negatif yang satu ini. Jika kekerasan yang dialami sudah mengancam jiwa, Lex juga menyarankan untuk segera meminta bantuan dari lembaga-lembaga hukum agar bisa mencari solusi yang tepat.

Namun jika hubungan ambivalen ini masih tergolong wajar, maka cara terbaik adalah mengkomunikasikannya dengan pasangan. Tak perlu menyalahkan karena bisa jadi masing-masing pihak mempunyai andil untuk menciptakan hubungan yang ambivalen ini. Semakin awal hal ini dikomunikasikan, dapat membantu mencegah hubungan ambivalen berkembang menjadi ekstrem.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Lilin Rosa Santi