tirto.id - Ponsel di era modern seperti buku harian digital. Kita bisa tahu semua hal tentang seseorang dari ponselnya. Mulai dari makanan kesukaan, mobil impian, hingga circle pertemannya.Dengan ponsel, kita juga bisa mengetahui dengan ke mana pasangan hari ini pergi atau berkomunikasi dengan siapa saja.
Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 2018 menyebutkan, hampir 50% pasangan yang menguntit ponsel pasangan menemukan informasi yang justru membuat mereka kecewa.
Apakah menguntit ponsel memberikan jaminan bahwa pasangan akan setia? Atau itu merupakan indikasi ada problem yang harus diselesaikan dalam hubungan dengan pasangan?
Pungki Nurmala, 42 th, (nama samaran) bercerita, ia kesal bukan main ketika ia diam-diam mengecek ponsel suaminya dan mendapati beberapa pesan suami untuk wanita yang ternyata teman kerja suami.
“Bahasanya terlalu care sebagai teman, suami bahkan bersedia menjemput sekolah anak temannya ini,” ungkap Pungki. Tak hanya itu saja, suami dan teman kerjanya ini juga sering janjian untuk makan siang bersama.
Pungki awalnya curiga mengapa ponsel suaminya selalu dibawa terus, bahkan ke kamar mandi pun dibawa. Suami juga beberapa kali hari libur tapi selalu bilang ada acara kantor. Sampai akhirnya, saat suaminya tidur, ia memberanikan diri untuk membuka ponsel suaminya
“Saya buka pakai finger print tangannya, jadi tak perlu password,” ungkapnya. Setelah itu, saat dia bangun saya langsung tanya ke suami apa maksud dari pesan-pesan yang dia kirimkan ke temannya itu. Kami lantas bertengkar hebat.
Menurut Psikolog Ardi Primasari dari Prima Consultant, “Mengecek ponsel pasangan jika dilakukan secara diam-diam, berarti ada kebutuhan untuk memantau pasangan, adanya rasa tidak percaya, kecurigaan dan kecemasan.”
Sikap seperti ini bisa termasuk kurang dewasa. Dalam artian, ada masalah yang tidak diselesaikan secara face to face. Tidak mengkomunikasikan kepada pasangan apa yang ia butuhkan, dan kemudian "main di belakang".
Stalking atau menguntit ponsel pasangan merupakan tanda kurang menghargai privasi satu sama lain dan tentu saja, tidak etis.
“Orang tersebut tidak percaya diri kalau dirinya cukup dicintai,” ungkap Ardi.
Artikel ini akan menceritakan alasan seseorang menguntit ponsel pasangan dari 3 faktor. Pertama, salah satu pasangan memiliki trust issue (kepercayaan) yang belum terselesaikan. Pernah diselingkuhi atau mempunyai orang tua yang selingkuh, sehingga ia sulit untuk merasa percaya pada pasangan. Kedua, pasangan memiliki komunikasi yang buruk seperti tidak jujur dengan pasangan. Ketiga, hubungan yang terjadlin memang sudah buruk.
Pengalaman Vino Barata, 35 th, (nama samaran) lain lagi. Ia dan istrinya memiliki kesepakatan untuk saling membuka ponsel masing-masing. “Jadi istri tahu password HP, media sosial, PIN ATM saya, begitu pula sebaliknya.”
Vino mengatakan, “Menurut saya sih wajar saja ya, namanya suami istri, ya, mungkin dia ingin tahu apa isi ponsel saya.” Meski demikian, ia jarang sekali mengecek ponsel istrinya. “Paling saya hanya komentar kalau dia berpakaian agak terbuka di media sosial,” ungkap Vino.
Ada anggapan di masyarakat, berbagi pin dan password adalah tanda cinta. Tetapi belum tentu harus seperti itu. Banyak pasangan yang tidak berbagi pin namun tetap saling percaya.
Ardi mengatakan, pasangan boleh saja mengecek ponsel masing-masing asal sudah sepakat dan setuju satu sama lain.
Menurut Ardi, mereka yang setuju membuka ponsel masing-masing tidak ada hard feeling atau emosinya netral tanpa ada niat mencurigai pasangan.
Saling Bicara Satu Sama
Beberapa orang menyebut tindakan stalking atau menguntit ponsel pasangan adalah bentuk protektif dan tindakan preventif agar tidak ada orang ketiga masuk dalam hubungan mereka.
“Di sisi lain tindakan preventif itu dipicu karena ada perasaan insecure, tidak ada kepercayaan pada pasangan.”
Sama halnya dengan hubungan keluarga, misalnya orang tua ke anak, yang selalu melarang anaknya, semua kegiatan anak selalu diawasi, berteman dengan siapa, bermain apa saja dan lain sebagainya.
Hal ini membuat anak justru tidak nyaman. Orang tua menjadi toksik, selalu mengawasi dan tidak percaya kepada anak. “Orang yang tidak diberi kepercayaan justru tidak nyaman dan malah bisa berbohong.” Begitu pula yang terjadi dengan pasangan.
Novianto (40) misalnya, ia merasa kesal jika istrinya mulai mengecek ponselnya. Padahal isinya hanya percakapan bisa. Kadangkala, ia menghapus percakapan dengan orang-orang tertentu hanya karena tidak mau berdebat dengan istrinya.
“Istri termasuk cemburuan, saya pernah chat dengan gurunya tanya PR saja dicurigai. Akhirnya, sebelum pulang ke rumah saya hapus saja chat WA yang nanti akan jadi masalah,” ungkapnya.
Pernah, ia mengirim uang ke adik istrinya yang pinjam uang, karena tidak mau ribet, ia tidak cerita ke istrinya.
“Sampai di rumah, adiknya justru chat bilang terima kasih ketika ponsel dipegang istri. Istri jadi marah ke saya, padahal kan niat saya baik membantu adiknya yang sedang kesusahan,” keluh Novi.
Menurut Ardi, setiap rumah tangga pasti ada konfliknya. Solusinya tidak harus selalu dengan mengecek HP pasangan.
“Mengecek ponsel pasangan, bukan problem solving yang sebenarnya. Sebaiknya masing-masing pasangan saling terbuka, mendengarkan keluhan dan kebutuhan. Bisa mengutarakan komplain atau kesulitan yang sedang dihadapi,” ujar Ardi.
Pada kasus Novi, sebaiknya Novi memberitahu lebih dulu kepada istri masalah adiknya, agar istri tahu dengan jelas dan tidak perlu merasa curiga.
“Karena tahu informasi sepotong-sepotong, malah jadi salah informasinya. Apalagi ini berkaitan dengan uang, sebagai suami istri harus saling berkomunikasi lebih dulu,” ujar Ardi.
Menguntit atau mengecek ponsel pasangan diam-diam justru akan jadi sejata bagi pasangan untuk saling menyalahkan dan menyerang. “Bukan membuat kita punya titik terang tetapi justru malah mengikis rasa percaya satu sama lain.”
Menurut Ardi, mengintip itu sifatnya adiktif.
"Jika rasa percaya itu sudah hancur, sulit untuk kembali ke relasi yang sehat seperti semula. Perasaan tidak tenang dan mudah curiga. Akan lebih baik jika bertanya langsung ke pasangan daripada menguntit.”
Perlu Bantuan Profesional
Indonesia dikatakan merupakan peringkat kedua sebagai negara dengan kasus selingkuh terbanyak di Asia. Survey yang dilakukan Justdating dan produsen kondiom Durex ini menemukan bahwa 40% pria dan wanita di Indonesia mengaku pernah selingkuh dan mengkhianati pasangannya. Kasus selingkuh terbanyak di Asia adalah Thailand dengan persentase 50%.
Perselingkuhan memang banyak terjadi di dalam hubungan suami istri, seperti kasus yang dialami Pungki di atas. Ia merasa perlu mengecek ponsel pasangan karena suaminya pernah selingkuh sebelumnya. Meski akhirnya suaminya memilih mempertahankan rumah tangga bersamanya, namun ada rasa cemas jika kejadian ini akan terulang lagi.
“Sebagai istri, tentu berhak bertanya, tapi bukan dengan kepo-in HP suami. Biasanya orang yang pernah diselingkuhi memiliki rasa insecure dan post tramatic, mereka perlu datang ke profesional atau psikolog untuk membantunya,” ungkap Ardi.
Situasinya perselingkuhannya mungkin sudah berlalu, namun emosi yang dirasakan masih sama.
“Apakah emosi yang saya rasakan ini valid atau tidak. Ini kekhawatiran saya saja, atau memang suami saya selingkuh lagi? Dengan bantuan psikolog seseorang yang mengalami post-traumatic perlu terapi.”
Menurut Ardi, cinta itu anugerah. “Jika seseorang dikuntit terus apakah kemudian dia akan mencintai dan setia pada kita? Ada beberapa pasangan yang justru berselingkuh karena pasangannya tidak pernah percaya sama dia. Selalu merasa diawasi.”
Api cemburu itu merusak hidup, karena seseorang yang mengalaminya sakit hati dan dapat bertindak irasional.
“Solusinya bukan dengan menguntit HP pasangan tetapi saling bicara agar tahu kebutuhan masing-masing, mendengar apa yang dikeluhkan, dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki,” jelas Ardi.
“Perlu diingat, setelah saling bicara satu sama lain, perlu diikuti aksi nyata dari pasangan untuk berubah dan mengembalikan kepercayaan tersebut.”
Dengan demikian, kepercayaan pada pasangan pelan-pelan akan kembali terbentuk, dan meniadakan kebiasan saling curiga yang melelahkan.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi