tirto.id - Gubernur DKI Anies Baswedan sebetulnya sudah melarang penjualan hewan kurban di trotoar. Ini ia tuangkan dalam Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengendalian Penampungan dan Pemotongan Hewan Dalam Rangka Iduladha 2019/1440 H.
Dalam instruksi tersebut dia bahkan memerintahkan Satpol PP untuk menertibkan para pedagang yang masih membandel.
Tapi toh instruksi itu seperti tak ada gunanya. Buktinya, masih banyak penjual hewan kurban di trotoar, misalnya di Jalan K.H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Alih-alih bertindak lebih tegas, Anies malah mengeluarkan diskresi yang menyebut para walikota boleh menentukan lokasi penjualan, sekalipun di trotoar.
Anies punya alasan untuk itu. Menurutnya, kondisi trotoar di Jakarta tak semuanya sama. Ada yang lebarnya hanya satu meter, kata Anies, tapi di lain tempat ada yang sampai lima meter.
"Secara prinsip dilarang berjualan [hewan kurban] di trotoar. Karena itu saya berikan diskresi kepada walikota untuk mengatur pelaksanaan sesuai situasi lapangan. Bila dalam pengaturannya enggak ada pilihan, ya dikasih tulisan [penjelasan]," kata Anies, Jumat (9/8/2019) lalu.
Plinplan dan Tidak Tepat
Bagi anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, diskresi menunjukkan bahwa Anies plinplan, alis plintat-plintut, tidak berpendirian, dan mudah dipengaruhi.
"Sikap plinplan dan tidak konsisten terhadap apa yang sudah dibuat," vonis Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta tersebut kepada reporter Tirto, Sabtu (10/8/2019) kemarin.
Sebelum Anies, kebijakan serupa sebetulnya telah diterapkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat masih menjabat gubernur. Bedanya Ahok--dan penggantinya Djarot Saiful Hidayat--tidak mengeluarkan diskresi.
Baik Ahok dan Djarot tidak ingin jelang Iduladha trotoar berubah fungsi, dan akhirnya merugikan pejalan kaki. Larangan ini juga dikeluarkan karena hewan-hewan kurban membikin bau.
Akibatnya, Ahok pernah didemo Front Pembela Islam (FPI) pada 24 September 2014. Ahok dicap anti Islam karena kebijakan itu.
"Jangan-jangan Ahok anak komunis, jangan-jangan Ahok PKI," kata seorang orator.
Berkaca pada kasus ini, Gembong menilai alasan sesungguhnya Anies memberi diskresi adalah karena dia tak mau disalahkan seperti Ahok dan Djarot. Dan itu, kata Gembong, tidak baik.
"Tidak baik melemparkan tanggung jawab kepada anak buah," tegasnya.
Pernyataan serupa disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. Selain merasa Anies tidak mau bertanggung jawab secara langsung, Trubus juga bilang penerbitan diskresi tidak tepat.
"Diskresi itu itu harus dikeluarkan dengan memenuhi syarat. Kalau dalam diskusi kebijakan publik, diskresi itu harus dalam kondisi darurat," kata Trubus kepada reporter Tirto.
Dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan kalau tujuan diskresi adalah: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberi kepastian hukum; d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Dalam kasus ini, kata Trubus, diskresi baru bisa keluar jika memang tidak ada tempat sama sekali untuk menjual hewan. Dan di Jakarta, tempat-tempat selain trotoar masih banyak.
"Jadi enggak perlu mengeluarkan diskresi," simpul Trubus.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino