Menuju konten utama

Saat Anak Memainkan Makanannya, Larang atau Maklumi?

Keputusan untuk membiarkan anak memainkan makanan bukan berarti membuat orang tua lepas pengawasan akan tumbuh kembang anak.

Saat Anak Memainkan Makanannya, Larang atau Maklumi?
Ilustrasi MPASI. foto/Istockphoto

tirto.id - Makan adalah pelajaran baru bagi bayi dan anak kecil. Banyak keterampilan yang harus dikuasai anak untuk bisa makan makanan padat.

“Proses belajar makan pada anak dipengaruhi oleh faktor usia, porses tumbuh kembang, stimulasi, perkembangan motorik halus dan kasar, fungsi penglihatan, dan kekuatan otot,” kata dr. Elfina Rachmi, M.Gizi, Sp.GK, dokter spesialis Gizi Klinis.

Proses itu, menurut dr. Rachmi, dimulai saat MP ASI dini 6 bulan, dari bayi belajar duduk hingga mampu duduk sendiri di kursi bayi saat makan dan belajar menggenggam makanan dan melepasnya hingga makanan masuk ke mulut, dan proses menggigitnya.

Dan bertahap di usia 8 - 9 bulan, dapat meraih benda dan saat ini sudah dapat makan sendiri dengan bantuan stimulasi. Kemudian usia 9 - 12 bulan mulai dapat minum dari gelas dan menyendoki makanan.

Jangan sedih jika suatu saat anak menimbulkan kekotoran dan berantakan dari makanannya. Demikian bunyi kalimat dalam sebuah artikel yang dimuat di huffpost.com, dalam artikel berjudul Messy Kids Who Play With The Food May Be Faster Learners, Study Says. Berantakan saat belajar makan adalah hal yang baik.

Riset terbaru dari University of Iowa menyatakan, anak-anak yang mengaduk, melumatkan dan melempar makanannya sebenarnya sedang belajar sambil bermain dengan makanannya. Riset ini juga menyebut bahwa anak yang makan dengan berantakan mungkin menjadi pembelajar yang lebih baik dan lebih cepat di masa mendatang.

Seperti yang ditunjukkan oleh riset itu, penelitian lain menunjukkan bahwa batita (bawah tiga tahun) dapat mengenali benda padat seperti cangkir dan apel lebih mudah karena ukuran dan bentuknya tidak berubah.

Tetapi untuk zat yang lembek, lengket dan cair, agak lebih rumit. Anak sulit mengidentifikasi sup krim misalnya karena wujudnya seperti susu atau lem, dapat berubah bentuk seperti mangkuk atau genangan ketika tumpah di lantai.

Untuk menguji bagaimana anak-anak kecil belajar mengenali nama-nama zat non padat, tim peneliti di Universitas Iowa memperkenalkan 14 macam termasuk jus, puding, jelly, dan saus apel pada sekelompok anak berusia 16 bulan.

Pada akhirnya anak-anak yang paling banyak berinteraksi dengan zat itu dengan cara meremas, melempar, menusuk-nusuk dan memakannya, kemungkinan besar akan mengidentifikasi dengan benar berdasarkan teksturnya.

Nessi Purnomo, M.Si, Psikolog yang saat ini berpraktek di RS Panti Rapih Yogyakarta setuju bahwa anak-anak belajar dari proses makan.

“Anak sebetulnya sangat ingin tahu tekstur makanan. Saat melakukan eksplorasi, bukan hanya penglihatan dan pendengaran saja, tetapi juga perabaannya. Mereka sangat ingin tahu, kalau makanan bentuknya seperti ini, kalau dipegang rasanya seperti apa. Kalau dimakan, teksturnya terasa seperti apa. Lalu dia akan ambil, pegang, remas-remas, masuk mulut.”

Mendudukkan anak di highchair membantu proses belajar ini. Anak-anak yang didudukkan di high chair cenderung belajar lebih baik dibanding bila ia duduk di kursi meja makan untuk orang dewasa.

“Sebab anak tahu bahwa dia bisa membuat kekotoran dan berantakan di kursinya,” kata Larissa Samuelson, anggota tim peneliti.

“Biarkan anak mengeksplorasi kemampuan makannya sendiri mulai mengambil dengan sendok hingga menyuapi sendiri hingga selesai makan. Jika pun makanan tumpah atau mengotori mulut dan wajah, biarkan saja. Saat sudah selesai makan baru dibersihkan. Hal ini untuk melatih kemampuan motorik dan menstimulasi anak semakin terampil untuk mandiri makan sendiri,” kata dr. Rachmi.

Infografik Makan dan Main

Infografik Makan dan main. tirto.id/Quita

Momen Mempelajari atau Memainkan Makanan?

Makan, merupakan sebuah aktivitas yang memerlukan koordinasi beberapa keterampilan, yaitu kognitif, motorik dan sensorik pada bayi dan balita yang sehat. Kombinasi dari seluruh keterampilan ini menurut Erin Sundseth Ross dalam laporan risetnya yang dimuat di jurnal Science Direct, membuat anak bisa beralih dari makanan cair ke makanan padat.

Karena kegiatan makan merupakan koordinasi keterampilan kognitif, motorik dan sensori, bisa sangat dipahami ketika anak-anak juga belajar dari makanannya dengan cara mencicipi, mengunyah dan menelan, memegang dan meremas makanannya bahkan kadang-kadang juga dilempar-lempar. Yang dalam pandangan orang dewasa, anak memainkan makanannya.

Sehingga kegiatan makan yang dilakukan sendiri oleh balita bisa menjadi ‘malapetaka’ bagi sebagian ibu. Ada potongan wortel di rambutnya, nasi belepotan di wajahnya, ada daging cincang di lututnya. Highchair nya basah karena tumpahan kuah, lantai jadi becek karena banyak makanan berserakan. Ada orang tua yang tidak tahan dengan kondisi ini karena khawatir anaknya tidak cukup makan. Lebih banyak makanan yang terbuang daripada yang masuk ke mulut anak.

“Bisa dibayangkan kalau makanannya mash potato. Dipegang, diremas-remas lalu dimakan tapi nggak rapi. Akhirnya belepotan sampai hidung. Tapi memang begitulah cara anak mengeksplorasi makanannya,” ujar Nessi, ibu 2 anak remaja.

Nabila Kariza (29) atau yang biasa disapa Kiza, adalah ibu dari dua balita. Kiza sudah membiasakan Kia, anak sulungnya yang berusia 2 tahun 7 bulan makan sendiri sejak berusia 6 bulan.

“Saya beri buah potong atau finger food yang bisa dipegang. Di usia 12 bulan mulai saya biasakan makan makanan menu utama. Saya buatkan makanan yang mudah dimakan dan minim berantakan. Misalnya nasi dan lauk saya campur, dibuat bola-bola dan saya biarkan Kia makan dengan tangannya,” kata Kiza.

Kiza tidak menyangkal, ada kalanya Kia juga memainkan makanannya, bahkan di usia yang sudah agak besar.

“Misalnya saja saat ini dia sedang senang main masak-masakan. Nasinya disiram pakai air minum lalu diaduk-aduk. Kalau dia masih mau makan makanan itu dia akan habiskan. Tapi kalau enggak, ya nggak masalah. Kalau dalam waktu 30 menit makanan yang dimakan hanya sedikit, makanannya saya singkirkan.”

Anisa (29) sudah mengajarkan Alesha (2) makan sendiri sejak berumur 11 bulan.

“Dalam prosesnya, saya juga masih menyuapinya karena dia sedang mengejar berat badan. Supaya nutrisinya tercukupi, saya memilih menyuapinya,” ujarnya. Memainkan makanannya juga dilakukan oleh Alesha kalau dia sudah kenyang.

Jadi, anak boleh main-main dengan makanannya? “Ya nggak apa-apa, karena itu tidak akan berlangsung selamanya. Di usia anak masuk playgroup mereka sudah lebih rapi makannya. Kalau anak tidak boleh bermain-main dengan makanannya dan tidak boleh berantakan, anak jadi tidak mandiri,” kata Nessi.

Ilustrasi MPASI

Ilustrasi MPASI. foto/istockphoto

Pahami Anak Bila Tidak Mau Makan

Dr. Rachmi mengatakan bahwa anak usia di atas satu tahun mengalami susah makan karena beberapa sebab. Seperti keterlambatan proses pertumbuhan, sensitif terhadap konsistensi atau tekstur makanan tertentu, memiliki preferensi tertentu, proses mengunyah yang belum optimal, atau porsi snack yang terlalu besar sebelum jam makan utama, penyakit atau tidak nyaman saat makan karena tekanan dari caregiver yang memberinya makan.

Neofobia juga bisa menjadi penyebab anak menolak makan, terutama bila dia memasuki tahun kedua usianya. Batita sangat waspada dengan makanan baru, bahkan mungkin takut. Neofobia akan berangsur-angsur hilang seiring berjalannya waktu. Demikian tulis Jeanette Bradley dalam artikelnya Why Your Child Isn’t Eating yang dimuat dalam verrywellhealth.com. Neofobia sering terjadi pada anak usia di atas 12 bulan.

Orang tua harus peka dan sabar membantu anak melalui fase ini. Jangan lupa bahwa makanan adalah pengalaman yang sangat baru bagi bayi.

“Jadi ketika mereka menjelajahi atau bermain dengan makanan, mereka ingin tahu rasanya, bagaimana makanan itu bergerak, mereka mempelajarinya. Dan itu hal yang positif,” demikian pendapat Willow Jarosh, MS, RD yang dikutip oleh Bradley.

Orang tua disarankan untuk tetap memperkenalkan anak pada berbagai jenis rasa dan jenis makanan, dan yang sangat penting adalah menunjukkan pada anak bahwa makanan itu aman untuk dimakan dengan makan bersama anak.

Riset lain oleh Leanne Birch seperti dikutip Claire Farrow dan Emma Haycraft dalam jurnal The British Psychological Society menyebut, selama tahun pertama kehidupan anak seringkali hanya membutuhkan satu paparan makanan baru untuk meningkatkan jumlahnya.

Tapi ketika anak berada pada tahap neofobia, diperlukan hingga 15 paparan makanan baru sebelum mereka bisa menerimanya, dan lebih banyak lagi untuk sayuran pahit.

Anak yang tidak berselera makan dan merasa tidak lapar, bisa jadi karena mencium aroma tertentu yang menghilangkan selera makannya.

“Biarkan saja kalau anak tidak mau makan dan ngotot tidak lapar,” saran Bradley. Bradley menjelaskan bahwa anak-anak dikenal memiliki keterampilan interosepsi yang baik.

Keterampilan interosepsi adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan sensasi di tubuh mereka sendiri. Saat mereka mengalami lonjakan pertumbuhan dan hari-harinya padat dengan aktivitas, mereka akan memberitahu Anda kapan mereka butuh makan.

Anak menolak makan juga dialami Kiza. “Kadang-kadang Kia juga keasyikan main, makanan yang sudah saya siapkan tidak dimakan. Saya coba suapi, kalau dia tidak mau ya tidak saya paksa. Kalau lapar dia akan minta, dan akan makan sendiri sampai habis. Yang paling penting buat saya, anak tidak boleh trauma karena dipaksa makan,” ujar Kiza.

Anisa akan mencari tahu penyebab Alesha tidak mau makan. Tumbuh gigi, demam, bosan dengan menu makannya, bisa menjadi penyebab anaknya tidak selera makan. Sebagai ibu ia akan berusaha agar Alesha tetap makan dengan membuatkan menu makanan yang bisa dimakan dalam kondisinya saat itu.

“Tapi ada kalanya Alesha seharian tidak mau makan, tapi keesokan harinya makan dengan lahap,” ujar Anisa.

“Anak sebaiknya tidak dipaksa makan, paling maksimal kisaran 30 menit agar anak tidak menjadi trauma saat makan,” saran dr. Rachmi. Jika anak sudah mau berhenti atau menolak makan, langsung berhenti saja, dapat dilanjutkan setelah 2 - 3 jam kemudian.

Keputusan untuk membiarkan anak memainkan makanan maupun memutuskan kapan ia bisa berhenti makan, bukan berarti membuat orang tua lepas pengawasan akan tumbuh kembang anak. Orang tua perlu khawatir bila dalam periode tertentu melihat kecenderungan makan anak yang tidak baik, apalagi sampai mempengaruhi perkembangan fisiknya.

“Apabila anak masih menolak makan terus menerus hingga dua minggu dan sudah memengaruhi berat badannya, maka sebaiknya dikonsultasikan ke dokter untuk memastikan tidak ada masalah medis tertentu,” tutup dr. Rachmi.

Baca juga artikel terkait TIPS PARENTING atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi