Menuju konten utama

Saat Anak-Anak Pemberani Pergi ke Sekolah

Bukan hanya Lintang dalam "Laskar Pelangi" saja yang bersekolah dengan keberanian

Saat Anak-Anak Pemberani Pergi ke Sekolah
sejumlah siswa melintasi jembatan gantung untuk saluran irigasi yang membentang di atas sungai perbatasan kabupaten boyolali-kabupaten karanganyar di dusun plempungan, desa bolon, kacamatan colomadu, karanganyar, jawa tengah, selasa (23/2). meski berbahaya, jembatan saluran irigasi yang dibangun sejak zaman kolonial belanda itu menjadi akses pilihan warga dan anak-anak sekolah untuk menyeberang antar dua wilayah karena menyingkat jarak perjalanan hingga 8 kilometer. antara foto/maulana surya/ama/16.

tirto.id - Diam-diam sang ayah yang buta huruf mendukung anaknya sekolah dengan cara berbeda: membelikan sepeda bermerek Rally Robinson, buatan Inggris. Bekas memang, tapi tetap saja termasuk cukup mahal untuk ukuran nelayan miskin.

Orang Melayu menyebutnya “sepeda laki”. Ukurannya lebih tinggi, sadel lebar, di tengahnya ada batang besi yang menyambung antara sedel dengan setang. Agak sulit digunakan untuk anak-anak usia Sekolah Dasar karena kaki mereka yang pendek bikin ujung jari-jari kaki harus susah payah menjangkau pedal sepeda. Belum lagi ketika sepeda berhenti, pantat harus berada di batang besi sepeda agar kaki bisa menjangkau tanah.

Masalah yang dihadapi Lintang tidak hanya soal sepeda, namun juga jarak rumah ke sekolahnya. Jarak yang mencapai 40 kilometer harus ditempuh setiap hari. Belum lagi medan yang harus dilalui adalah hutan belantara dengan berbagai macam ancaman yang menanti. Genangan air, ban sepeda bocor, rantai sepeda putus, sampai ancaman paling liar: habitat buaya. Buaya liar betulan. Meskipun begitu, dengan berbagai masalah tersebut, Lintang adalah satu-satunya anak SD Muhamadiyah di Belitong yang jarang terlambat sampai sekolah.

Fragmen dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini memang terinspirasi dari kisah nyata dengan beberapa hal yang—tentu saja—didramatisir. Akan tetapi ini bisa dijadikan gambaran bahwa kadang ada hal yang dilupakan dari sekadar kebutuhan pendidikan untuk setiap anak Indonesia, yakni akses pendidikan.

Akan percuma berdiri banyak sekolah di seluruh pelosok negeri namun jangkauan lokasinya terlalu berisiko bagi anak-anak. Situasinya memang kadang tidak sampai seperti yang harus dihadapi Lintang setiap hari. Akan tetapi tentu membuat miris menyaksikan anak-anak harus menantang maut hanya untuk berangkat ke sekolah.

Itu yang terjadi dengan anak-anak dari SD Negeri 1 Campoan, Mlandingan. Berada di pegunungan dan terletak sekitar 40 km dari Kota Situbondo. Satu-satunya jembatan menuju sekolah sudah hancur diterjang banjir pandang sejak 2015. Para siswa terpaksa harus menyeberang arus sungai yang cukup deras selebar 10 meter.

Warga sempat membangun jembatan semi permanen dengan bambu, namun beberapa kali hanyut ketika arus sungai kembali deras. "Sebenarnya takut terseret arus sungai, tapi bagaimana lagi tidak ada jalan lain untuk ke sekolah. Teman-teman semua memang berangkat bersama-sama dan saling membantu saat menyeberang sungai," jelas Nur Faizah, salah satu siswa SDN Campoan.

Karena cukup deras saat menyeberang, menjadi hal lumrah jika banyak siswa yang seragamnya basah kuyup saat sekolah. Tidak heran hampir semua siswa menggunakan sandal jepit. Jika ada siswa yang masih kecil, beberapa siswa kelas IV akan menggendong adik-adik kelasnya menyeberangi sungai.

"Saya kasihan sama anak-anak setiap hari pergi dan pulang sekolah menyeberangi sungai, kadang murid-murid saya mengeluh capek setelah sampai sekolah," kata Ahmad Faesoli, guru kelas 1 SDN Campoan. Para guru tidak lagi memedulikan celana dan bajunya ikut basah saat membantu dan menggendong beberapa murid-muridnya yang masih kecil.

Bahkan pernah ada guru yang sedang menyeberangi sungai terseret sampai beberapa meter karena arus sungai tiba-tiba deras dan permukaan naik cukup tinggi, mirip seperti banjir bandang. Untung si guru akhirnya bisa meloloskan diri dari maut.

Apa yang terjadi dengan anak-anak bantaran di Situbondo ini tidak lebih baik dari Kadek Febriantini dan teman-temannya, anak sekolah dasar SD Negeri Rengdikit di Buleleng, Bali. Setiap hari, belasan anak-anak ini akan melepas sepatu begitu sampai di sisi Sungai Saba. Lalu menyeberangi sungai selebar 20 meter dengan hanya bermodalkan seutas tali. Anak-anak ini tak punya pilihan lain, karena tidak ada sekolah yang lebih dekat. Jika musim hujan, dan arus sungai begitu deras, maka sudah bisa dipastikan bahwa anak-anak ini akan membolos.

“Anak-anak saya bisa ndak masuk sekolah (kalau arus sedang deras), khawatir,” ujar Made Darma, orang tua siswa.

Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bali, bukannya tidak peduli. Hanya saja, proses birokrasi membuat anak-anak ini mesti menunggu untuk terbebas dari perjalanan ke sekolah yang berbahaya. “Baru kita lakukan perencanaan dengan matang dulu,” jelas Ni Made Deni, Pejabat Pembuat Komitmen Irigrasi dan Rawa BWS Bali Penida saat meninjau lokasi.

Hal yang sama juga terjadi dengan anak-anak Sekolah Dasar Negeri Jabungan, Banyumanik, Semarang. Para siswa Sekolah Dasar Negeri Jabungan Semarang harus melewati sungai selebar 30 meter setiap hari untuk berangkat ke sekolah karena tidak adanya jembatan penyeberangan.

"Kalau pas habis hujan deras, biasanya digendong pas nyeberang karena sungainya pasti deras. Enggak berani kalau berangkat sendiri. Teman-teman juga begitu biasanya," kata Rahman Oktavianto, siswa kelas VI SD Negeri Jabungan[t5] .

Bocah 11 tahun ini mengaku sudah sejak kelas I SD ia melewati Sungai Kethekan setiap berangkat dan pulang sekolah. Sungai ini memang tak terlalu deras dan dalam, hanya jika turun hujan, kadang arus sungai jadi berbahaya. Itulah kenapa disediakan seutas tali tambang yang menghubungkan antar sisi sungai sebagai pegangan anak-anak yang sedang menyeberang. Sudah 25 tahun sungai ini tidak dibuatkan jembatan permanen untuk warga melintas.

"Ndak apa-apa, sudah biasa. Ya, tetap semangat saja. Kalau sekarang ini, jarang hujan jadi airnya tidak begitu deras," kata Dinda Sukma (12).

Sedikitnya ada sekitar 40 siswa SD Jabungan yang melintasi Sungai Kethekan setiap harinya. Hal yang tentu saja membuat khawatir kepala sekolah, Suryanto. "Ya, tentu saja kami was-was. Apalagi, kalau pas musim hujan karena airnya deras. Kami imbau orang tua untuk mengantarkan mereka saat berangkat sekolah. Jangan sampai nyeberang sendiri," katanya.

Infografik Akses Jalan Pintas

Sebenarnya warga pernah mengupayakan untuk dibangun jembatan sederhana dari bambu. Sayangnya, karena jembatan itu bentuknya semi permanen, setiap arus sungai menjadi deras, jembatan selalu rubuh dan hanyut.

Selain melintasi Sungai Kethekan, anak-anak sebenarnya bisa menggunakan jalur memutar, hanya saja lagi-lagi jarak yang lebih jauh dan waktu tempuh lebih lama membuat melintasi sungai menjadi pilihan. “Ya, akhirnya anak-anak harus menyeberang sungai langsung. Paling hanya 10-15 menit sampai, namun kalau memutar bisa lebih lama," kata Suratman, salah satu warga Jaburan.

Pemerintah Kota Semarang pun merespons—setelah pemberitaan di berbagai media massa tentunya—dengan rencana pembangunan jembatan sementara berupa jembatan gantung. Warga memang menginginkan dibangun jembatan permanen, hanya saja, Pemkot Semarang baru bisa melakukan rencana anggaran untuk bangunan permanen tahun depan.

“Coba dibuat jembatan gantung dulu, sementara, menunggu sampai 2018. Karena sementara saja, menunggu sampai sembilan bulanan bisa dilakukan pembuatan jembatan,” jelas Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu. Dalam waktu dekat, sembari menunggu dibangun jembatan sementara, Pemkot Semarang telah menerjunkan beberapa personil kepolisian untuk membantu anak-anak sekolah melintasi sungai.

Dengan segala keterbatasan, anak-anak kecil ini tetap berangkat sekolah. Tak tampak wajah kesusahan atau khawatir. Kesusahan, lebih tepatnya kecemasan, sering kali justru muncul dari sikap orang-orang dewasa. Anak-anak tetap saja pada tabiatnya sebagai anak-anak, merasa bahwa perjalanan berat yang mereka lalui justru menjadi petualangan baru yang mengasyikkan, sekalipun tentu saja di bawah pengawasan orang tua yang selalu waspada terhadap keselamatan anaknya.

Baca juga artikel terkait MASALAH PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS