tirto.id - Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) tidak tepat. Menurut Feri publik sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah untuk tidak merevisi UU P3 karena sangat berpotensi adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sangat berpotensi dibatalkan," tegas Feri kepada Tirto, Rabu (25/5/2022).
Feri menerangkan, alasan rentan diuji dan dibatalkan MK karena revisi UU P3 menyalahi putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang berkaitan dengan uji formil UU Cipta Kerja.
Dalam putusan tersebut mengamanatkan bahwa pembuat undang-undang harus membahas ulang UU Cipta Kerja karena sistem omnibus law tidak dikenal di UU P3 sebelum direvisi atau UU Nomor 12 tahun 2011 meski ada omnibus law bidang perpajakan.
"Dalam Putusan MK 91/PUU-XIX/2021 yang diperintahkan diperbaiki adalah OL (omnibus law) UU Cipta Kerja agar sesuai dengan UU PPP. Karena UU PPP tidak mengenal konsep OL multi tema jadi mau tidak mau UU Cipta Kerja akan tidak sah kecuali mereka mengubah UU PPP agar memperbolehkan OL multi tema seperti UU Cipta Kerja. Jadi semacam menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas haram," tegas Feri.
Feri pun khawatir pengesahan akan memicu dampak buruk. Salah satu dampak buruk adalah ketidakinginan publik mematuhi.
"Kalau pemerintahnya tidak peduli hukum begitu ya suatu waktu akan timbul ketidaktertiban hukum," kata Feri.
Pihak buruh pun menyatakan penolakan terhadap revisi UU P3. Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz menilai revisi tersebut adalah cara licik dan memuat nilai jahat.
"Kan awalnya MK dalam putusannya mengatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan diberikan waktu selama dua tahun untuk melakukan perbaikan. Bukannya melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja, justru yang dilakukan adalah mengakali UU PPP dengan maksud untuk mengadopsi sistem omnibus law agar UU Cipta Kerja memiliki legalitas hukum," kata Riden Hatam Aziz dalam keterangan, Rabu (25/5/2022).
Riden khawatir, revisi UU P3 sebagai upaya memuluskan pembahasan UU Ciptaker. Padahal, publik, utamanya buruh menolak aturan tersebut. Ia pun mengingatkan UU Ciptaker sudah dinyatakan cacat formil, tetapi malah diakali dengan revisi UU P3. Oleh karena itu, mereka akan melakukan perlawanan dengan unjuk rasa.
"FSPMI sebagai bagian dari KSPI dan Partai Buruh, bersama-sama elemen yang lain akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah untuk mendesak agar revisi UU PPP dibatalkan," tegas Riden Hatam Aziz.
"Selain itu, kami juga menolak pembahasan kembali omnibus law UU Cipta Kerja," pungkasnya.
Sementara itu, Partai Buruh bersama serikat buruh akan melakukan perlawanan dengan mengajukan judicial review UU P3 ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penolakan UU P3 selain unjuk rasa ke DPR.
"Mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Mei 2022 tentang revisi UU PPP tersebut," kata Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal.
Said Iqbal bersama serikat buruh antara lain KSPI, ORI, KPBI, KSBSI, SPI, FSPMI, FSPKEP, SPN, ASPEK Indonesia, FSP ISI, dan lain-lain ini menolak pengesahan UU P3.
“DPR bersama pemerintah melakukan revisi UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa segera disahkan,” tegasnya.
Setidaknya ada dua alasan mengapa Partai Buruh dan Serikat Buruh menolak revisi UU PPP. Pertama, dari sisi pembahasan di Baleg DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang.
“Menurut informasi yang kami terima, revisi UU PPP hanya dibahas selama 10 hari Baleg DPR RI,” kata Said Iqbal.
Padahal UU PPP adalah ruh untuk membuat sebuah produk undang-undang (syarat formil) di Indonesia sesuai perintah UUD 1945.
“Kalaulah revisinya dikebut bersifat kejar tayang, bisa disimpulkan jika isi revisi sangat bermuatan kepentingan sesaat. Tidak melibatkan publik yang meluas dan syarat kepentingan dari kelompok tertentu,” ujarnya.
Alasan kedua adalah, dari sisi revisi UU PPP tersebut, Partai buruh dan elemen serikat pekerja ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik. Khususnya bagi buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, lingkungan hidup, dan HAM.
Ketiga pertimbangan tersebut antara lain adalah pertama, revisi UU PPP hanya untuk sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang. Padahal omnibus law UU Cipta Kerja ini ditolak oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk buruh.
Kedua, dalam proses pembentukan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan.
Ketiga, yang lebih berbahaya adalah, dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto