tirto.id - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapresiasi klausul perkosaan dalam Pasal 479 RUU KUHP. Pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 285 KUHP dan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT.
"Inilah yang menandakan aliansi fair, dan kita dukung pembaruan," ujar perwakilan aliansi dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati kepada Tirto, Selasa (15/6/2021).
Dalam Pasal 479 ayat (1) disebutkan bahwa: "Setiap orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun."
Serta dalam Pasal 479 ayat (2), yang disebut perkosaan meliputi:
(a) persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
(b) persetubuhan dengan anak; atau
(c) persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Dalam Pasal 479 ayat (3) diatur pula dengan tindakan-tindakan cabul yang dapat dihukum pidana, seperti:
(a) memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;
(b) memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya
sendiri; atau
(c) memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
Jika korban pemerkosaan dan pencabulan adalah anak-anak dan disertai pemaksaan, maka masa hukuman pidana menjadi paling lama 15 tahun bagi pelaku. Sebagaimana mandat Pasal 479 ayat (4) dan (5).
Jika pemerkosaan dan pencabulan tersebut mengakibatkan korban luka berat, maka pelaku akan dihukum penjara 15 tahun. Sesuai mandat Pasal 479 ayat (6). Namun, jika korban sampai meninggal dunia, masa hukuman pelaku ditambah satu per tiga dari ancaman pada ayat (6).
Apabila korban merupakan anak kandung, anak tiri, atau anak perwakilan. Masa hukuman pelaku ditambah satu per tiga dari ancaman yang dimaksud pada ayat (4).
Menurut Maidina, semua terobosan ini merupakan upaya-upaya panjang masyarakat dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait pemerkosaan.
"Langkahnya masyarakat mengawal RKUHP ini kan sudah panjang, banyak formulasi yang harus diakui pemerintah hasil masukan masyarakat," ujarnya.
Meski demikian, menurut Maidina, aliansi tetap meminta transparansi kerja dari pemerintah dalam pembahasan RUU KUHP. Saat ini pemerintah sudah melakukan sosialisasi draf 2020 ke-12 daerah sejak awal 2021.
Maidina berharap pemerintah dan DPR melibatkan perwakilan masyarakat sipil dalam pembahasannya selanjutnya. Dan jangan mengulang kerja senyap seperti pembahasan sebelumnya pada September 2019.
"Proses itu yang serupa dengan sekarang, draf enggak dishare ke publik, tapi sosialisasi terus terus. Posisi publik tetap dipertahankan di bawah, dianggap tak mengerti subtansi," tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri