tirto.id - Warga Hong Kong melancarkan berbagai macam aksi seperti protes, mogok kerja, dan demonstrasi untuk menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi Hong Kong yang mengizinkan pelaku kejahatan dikirim ke Cina untuk diadili.
The Strait Times melansir, pemimpin Hong Kong, Carrie Lam menyatakan pada Selasa (11/6/2019) bahwa pemerintah akan memperjuangkan RUU tersebut. Aksi protes juga dilakukan oleh kalangan pebisnis yang beranggapan bahwa hukum tersebut akan membuat investor tidak lagi mempercayai Hong Kong, yang dengan begitu merusak status Hong Kong sebagai destinasi investasi yang kompetitif di Asia.
Lam memperingatkan para demonstran yang melakukan unjuk rasa di luar gedung Dewan Legislatif (LegCo) pada Minggu (9/6/2019), “Saya meminta sekolah, orangtua, institusi, korporasi, komunitas untuk menyadari dengan serius jika mereka mengadvokasi gerakan radikal semacam ini.”
Kelompok Hak Asasi Manusia berulang kali menyebut adanya indikasi penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pemaksaan pengakuan, dan permasalahan pengacara yang tidak terverifikasi menjadi alasan kenapa RUU ini tidak perlu diperjuangkan.
Sebuah petisi daring yang meminta tanda tangan 50 ribu orang untuk mengelilingi LegCo pada pukul 22.00 pada Selasa (11/6) dan Rabu (12/6) juga digalakkan. Mereka sekaligus menyerukan diberhentikannya Carrie Lam.
Dewan legislatif Hong Kong memiliki 70 kursi yang mayoritas diisi oleh pejabat pro-Beijing. Di sisi masyarakat, hampir dua ribu toko ritel, termasuk restoran, toko sembako, toko buku, dan kedai kopi menyatakan akan bergabung dalam aksi demonstrasi. Aksi tersebut merupakan sebuah aksi langka untuk negara kapotalis ekonomi seperti Hong Kong.
Selain itu, lembaga bimbel, hotel, firma hukum, pekerja sosial, dan hampir empat ribu guru juga akan bergabung dalam aksi protes pada Rabu mendatang.
Di sisi lain, Amerika Serikat menyatakan pada Senin (10/6/2019) bahwa hukum ini akan membahayakan posisi Hong Kong di dunia internasional, terutama status spesial Hong Kong di mata AS.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Morgan Ortagus menyebut bahwa “Negara yang terus tergerus dalam ‘satu negara, dua sistem’ tersebut membuat Hong Kong beresiko kehilangan status spesial di mata internasional,” Channel News Asia mengutip.
Status spesial AS terhadap Hong Kong adalah amandemen AS tahun 1992, yang menyetujui Hong Kong mendapatkan perlakuan berbeda dari negara-negara Cina lainnya dalam hal pemberlakuan hukum domestik.
Ortagus juga menyebut bahwa demonstrasi yang berlangsung aman pada hari Minggu menunjukkan bahwa warga Hong Kong sendiri menolak RUU tersebut. AS mengkhawatirkan kurangnya langkah prosedural Hong Kong dalam membuat Undang-undang. Hal tersebut dapat memngaruhi ekonomi dan secara negatif berimbas kepada perlindungan hak asasi, kebebasan dasar, dan nilai-nilai demokratis.
Selain itu, langkah ini juga membahayakan lingkungan bisnis Hong Kong dan warga negara yang tinggal maupun mengunjungi Hong Kong, yang bersinggungan dengan hukum Cina yang berubah-ubah.
Pada hari Minggu lalu warga Hong Kong turun ke jalan dan menyerukan, “tidak ada ekstradisi Cina, tidak ada hukum yang kejam” di jalan-jalan, sembari meminta Lam dan para pejabat tinggi untuk lengser dari jabatan mereka, Reuters melaporkan.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Ibnu Azis