tirto.id - Rupiah Indonesia masuk dalam daftar mata uang terendah di dunia. Hal ini tentunya akan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian dalam negeri, termasuk salah satunya inflasi.
Belum lama ini Forbes merilis daftar 10 mata uang terendah di dunia tahun 2023. Posisi pertama diduduki oleh rial Iran (IRR). Menurut Forbes, di tahun 2023 nilai 1 rial setara dengan 0,000024 dolar AS alias 1 dolar AS sama dengan 42.300 rial Iran.
Sementara itu, rupiah Indonesia menempati posisi keenam sebagai mata uang terlemah di dunia. Masih berdasarkan survei yang sama, 1 rupiah setara dengan 0,000067 dolar AS atau 1 dolar AS sama dengan 14.985 rupiah.
Mata uang rupiah yang melemah dan lebih rendah dari mata uang lainnya bisa memberikan efek negatif pada kegiatan perdagangan Indonesia dengan negara lain (ekspor-impor).
Kondisi ini juga berdampak pada harga-harga barang di dalam negeri yang dapat mengganggu perekonomian negara dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
7 Dampak Melemahnya Rupiah Terhadap Mata Uang Asing
Dampak melemahnya rupiah terhadap mata uang asing dapat berupa dampak negatif maupun positif. Kendati demikian, dampak yang ditimbulkan didominasi oleh dampak negatif.
Berikut beberapa dampak melemahnya rupiah terhadap mata uang asing:
1. Menguntungkan kegiatan ekspor
Dampak positif yang bisa dihasilkan lewat melemahnya rupiah adalah menguntungkan kegiatan ekspor. Dilansir dari laman BPPK Kemenkeu, ini bisa terjadi karena pihak pembeli/importir dari negara lain akan membayar produk ekspor dengan mata uang mereka yang nilainya lebih tinggi dari rupiah.
Saat dikonversikan ke dalam rupiah, uang yang diterima eksportir tentunya akan lebih banyak.
2. Merugikan eksportir
Sayangnya, tidak semua eksportir akan diuntungkan dari melemahnya rupiah terhadap mata uang asing lainnya. Eksportir yang mengalami kesulitan adalah mereka yang masih membutuhkan bahan baku dari negara lain alias impor.
Sedangkan pihak yang paling dirugikan adalah pelaku industri yang bergantung pada bahan baku impor, tapi menjual hasil/produk jadinya di dalam negeri.
Hal ini karena mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengimpor atau membeli bahan baku dari luar negeri. Ironisnya, saat ini masih banyak industri di Indonesia yang bahan bakunya bergantung dari negara lain.
3. Meningkatnya penggunaan produk lokal
Salah satu dampak positif yang juga bisa terjadi akibat melemahnya rupiah adalah meningkatnya permintaan pasar terhadap produk lokal. Saat harga produk impor semakin meninggi, maka kegiatan impor juga akan menurun. Kalaupun ada produk impor yang masuk ke Indonesia, harganya pasti akan lebih mahal.
Akibatnya, masyarakat pun mulai beralih menggunakan produk lokal. Sebagai contoh, masyarakat lebih memilih membeli buah lokal ketimbang buah impor karena harganya lebih murah. Hal ini tentunya akan sangat menguntungkan pihak petani maupun pedagang.
4. Memperbesar beban impor produk penting
Kegiatan impor mungkin akan berkurang karena produk dari luar negeri dirasa lebih mahal. Namun, ada beberapa jenis produk impor yang masih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, contohnya bahan baku minyak mentah.
Akibat melemahnya rupiah, Indonesia harus membeli minyak mentah dengan harga lebih tinggi. Hal ini bisa menyebabkan naiknya semua harga barang di dalam negeri, termasuk harga BBM, sembako, serta produk lainnya.
5. Memicu inflasi
Kenaikan harga yang terjadi secara terus-menerus dapat memicu terjadinya inflasi. Inflasi sendiri bisa menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat otomatis menurun akibat mahalnya harga barang sehingga roda perdagangan tidak berputar.
6. Meningkatnya beban utang luar negeri
Indonesia memiliki utang luar negeri dalam jumlah besar. Utang ini pun harus dibayar dalam bentuk mata uang asing seperti dolar AS.
Saat rupiah melemah, maka beban utang akan terasa lebih besar. Hal ini karena Indonesia harus menyiapkan uang rupiah lebih banyak untuk dikonversikan ke dolar.
7. Meningkatnya suku bunga dan melemahnya pertumbuhan kredit
Saat rupiah terus melemah, Bank Indonesia kemungkinan akan membuat kebijakan berupa menaikkan tingkat suku bunga. Sementara meningkatnya suku bunga akan memicu turunnya pertumbuhan kredit.
Masyarakat akan enggan menggunakan uangnya (misalnya untuk KPR, kredit kendaraan, investasi, dll) karena suku bunga yang terlalu tinggi. Padahal, kredit dari perbankan menjadi salah satu elemen yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yonada Nancy