tirto.id - Tepat pukul 12 malam, 15 orang dari berbagai latar belakang dan daerah di sekitaran Jakarta berkumpul di Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hari itu, Sabtu, 25 Mei 2019, bertepatan dengan hari ke-20 bulan suci Ramadan 1440 H, mereka hendak keliling Jakarta selama 24 jam untuk memotret suasana kota Jakarta beserta hiruk pikuknya.
Saya yang saat itu mengkoordinir kegiatan memberi arahan rute yang akan didatangi, mulai dari Pasar Tradisional Kebayoran Lama, Pasar Palmerah, Slipi Kemanggisan, Tanah Abang, Kota Tua, Juanda, Lapangan Banteng, Sabang, dan mengakhirnya di Bundaran HI.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari proyek global 24 Hour Project yang melibatkan 860 kota di 100 negara. Selain Jakarta, beberapa kota lain di Indonesia juga ikut berpartisipasi, di antaranya Bogor, Padang, Pati, Malang, dan Salatiga.
Begitu kegiatan dimulai, para peserta mulai menyebar ke sudut-sudut kota. Mereka menggunakan mirrorless, DSLR, dan juga ponsel pintarsebagai perangkat untuk mengabadikan momen.
24 Hour Project merupakan kegiatan tahunan yang diprakarsai oleh Renzo Grande. Awalnya, dia menghubungkan para pecinta street photography di berbagai negara untuk merekam kotanya secara serentak selama 24 jam.
Instagram lalu dipilih sebagai medium bagi peserta. Para peserta bakal mengunggah hasil jepretannya ke platform itu setiap jam dengan format dan tagar tertentu yang sudah ditetapkan. Beberapa foto yang terpilih kemudian diposting oleh akun resmi @24hourproject.
Setelah kegiatan selesai, foto yang jumlahnya ribuan akan dikurasi dan disertakan pada lelang serta berbagai pameran untuk dijual. Hasilnya lalu didonasikan ke berbagai lembaga pendidikan dan sosial yang sudah ditunjuk oleh panitia.
Kegiatan global yang berlangsung sejak 2012 tersebut memang belum menjadi hal yang menarik dan menyita perhatian pecinta fotografi jalanan di Indonesia. Ini cukup dimaklumi, mengingat ranah street photography merupakan genre fotografi yang nisbi baru di tanah air.
Awal Mula Street photography
Sejarah street photography dapat dilacak kembali ke awal abad ke-20, ketika teknologi kamera menjadi lebih mudah digunakan dan diakses oleh orang banyak. Pada saat itu, fotografi biasanya hanya digunakan untuk memotret acara-acara formal, seperti pernikahan atau acara kenegaraan.
Beberapa fotografer, seperti Eugene Atget dan Henri Cartier-Bresson, lantas mulai memotret kehidupan sehari-hari di jalanan kota mereka tinggal. Mereka menangkap momen-momen kecil yang sebelumnya diabaikan oleh fotografer lain. Hasilnya adalah foto-foto yang menggambarkan tentang kehidupan dan keseharian warga kota.
Henri Cartier-Bresson kemudian dianggap sebagai yang paling awal membangun konstruksi genre ini. Dia juga kerap jadi referensi utama para pecinta street photography. Dialah yang memperkenalkan konsep decisive momentsebagai salah satu kaidah penting dalam fotografi jalanan dan telah memengaruhi banyak fotografer hingga saat ini.
Cartier-Bresson menyatakan bahwa keindahan fotografi tidak terletak pada subyek yang diabadikan, tapi pada momen yang dihasilkan. Dia berusaha untuk menangkap momen-momen universal yang dapat dipahami oleh siapa saja, tanpa terkait dengan latar belakang atau budaya tertentu.
“Saya kira memang street photography itu ibarat sebuah bangunan rumah. Awal pondasi oleh Henri Cartier-Bresson, sampai sekarang terus dibangun bentuknya,” ujar Agus Aminullah, salah satu pegiat fotografi jalanan dalam sebuah obrolan ringkas.
Pada 1930-an, fotografer jalanan Amerika Walker Evans dan Dorothea Lange terkenal karena proyek fotografinya yang menggambarkan kehidupan selama Depresi Besar di Amerika Serikat. Mereka menunjukkan bahwa fotografi jalanan juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pesan sosial dan politik.
Sejak saat itu, genre street photography terus berkembang. Sekarang, banyak fotografer di seluruh dunia yang terlibat dalam praktik jenis fotografi ini. Beberapa konsepnya pun mengalami pembaruan. Misalnya, perspektif bahwa street photography harus dihasilkan di jalanan kemudian dianggap keliru, termasuk argumen sebaliknya bahwa tidak semua foto di jalanan adalah street photography.
Di Indonesia, street photography menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir.
Upaya Menemukan Street Photography
Erik Prasetya, seorang juru foto jurnalistik, dianggap sebagai salah satu pionir perkembangan street photography di Indonesia. Foto-foto Erik yang sebagian besar menampilkan hiruk pikuk Kota Jakarta pertengahan 1990-an ditengarai mewakili pendekatan fotografi jalanan yang akhirnya dijadikan referensi dan rujukan.
Foto-foto para pedagang dengan berbagai latarnya, kumpulan tukang ojek dengan gayanya, karyawan yang menunggu bus kota, gedung-gedung yang sedang dibangun, kondisi KRL yang masih sumpek, dan kejadian unik lain di sudut-sudut ibu kota itu lalu dikumpulkannya dalam buku Jakarta Estetika Banal, On Street Photography, Seri Jakarta Post Card, dan Estetika Banal & Spiritulaisme Kritis.
“Saya memutuskan untuk memotret kota saya sendiri, kelas saya sendiri,” ujar Erik dalam buku terakhirnya yang ditulis bareng sang istri Ayu Utami.
Menurut Co-Founder Indonesia on the Streets (IOS) Widya Sartika Amrin, perkembangan street photography di Indonesia cukup pesat seiring perkembangan teknologi media dan informasi.
“Ya, kira-kira awal-awal 2000-an, genre ini mulai terlihat. Namun, saat itu istilah street phorography masih asing,” ujar Widya yang dihubungi via Google Meet.
Widya menceritakan bagaimana proses dirinya menemukan genre ini melalui berbagai forum dan referensi yang masih terbatas. Dia mengira fotografi jenis ini adalah bagian dari art journalism, salah satu cabang ilmu jurnalisme.
Seiring waktu, dia lantas bergabung dengan Galeri Jurnalistik Antara yang membuka berbagai wawasan baru baginya, khususnya setelah aktif di salah satu forum Sahabat Galeri.
“Nah, dari Sahabat Galeri itulah ada akses ke perpustakaan yang mengoleksi berbagai buku-buku foto. Di sanalah, saya menemukan karya-karya Brensson, seperti Europeans. Lalu menemukan The Suffering of Light karya Alex Web,” seru Widya sembari memamerkan buku-buku tersebut.
Warsa 2008, Widya sengaja “ziarah” ke Paris, tanah kelahiran Henri Cartier-Bresson. Sosok ini dapat dikatakan sebagai tokoh idola sekaligus yang menginspirasi Widya dalam nyetreet, istilah saat memotret street photography.
Bersamaan dengan itu, grup diskusi street photography makin mudah ditemukan di media sosial Facebook. Banyak diskusi-dikusi menarik yang dapat memantik pencinta genre ini untuk saling berbagi. Mereka juga kerap membedah foto tertentu dan aktif dalam tantangan mingguan yang digelar di grup.
Dari sana, Widya belajar lebih jauh tentang fotografi jalanan, bagaimana cara membaca sekaligus mempraktikannya.
Memasuki 2011, fotografi jalanan di Indonesia berkembang pesat dengan ditandai lahirnya beberapa komunitas, seperti IOS, Street Photography Indonesia, Indonesian Street Mobile Photography, Instanusantara, dan lain-lain.
Komunitas-komunitas ini kemudian rutin mengadakan hunting bersama secara berkala, termasuk kegiatan lokakarya yang menggandeng jenama-jenama kamera maupun ponsel terkemuka sebagai sponsor. Komunitas-komunitas ini menjadi wadah berkumpul dan bertukar pengalaman bagi para fotografer jalanan di Indonesia.
Widya kemudian membukukan karya fotografi jalanannya dalam 30 x Paris yang terbit pada Maret 2017. Selain sebagai fotogafer lepas, Widya juga aktif dalam berbagai seminar dan kerap menjadi juri dalam berbagai perlombaan dengan tema street photography.
Selain Widya, street photographer lain yang berbagi pengalamannya ialah Rizka Nurlita Andi yang menggeluti ranah fotografi jalanan sejak 2012. Rizka bercerita bagaimana di kantor dia sering mengabadikan keseharian Wimar Witoelar yang kemudian justru menjerumuskannya pada street photography.
“Memotret beliau dalam berkegiatan press conference, seminar, book signing, dan jumpa fans adalah sangat menyenangkan. Nah, dari situ saya melihat kejadian unik, kejadian gesture atau situasi yang tidak bisa diulang kembali dalam kondisi candid atau tanpa pengarahan,” katanya melalui obrolan elektronik.
Ketika dirinya mengetahui apa itu street photography dan yakin dengan pilihannya, Rizka makin tertarik sebab ada unsur foto yang menggambarkan kondisi jujur apa adanya, humor, dan komposisi yang enak dilihat.
Dengan semakin berkembangnya teknologi fotografi, fotografer street di Indonesia juga semakin mudah untuk mengekspresikan diri mereka. Kamera digital semakin terjangkau dan jaringan internet semakin mudah diakses. Itu memungkinkan fotografer untuk berbagi karya mereka dengan lebih mudah, khususnya melalui media sosial seperti Instagram.
Tantangan Street Photography di Indonesia
Sejak pandemi melanda, ruang untuk mengekspresikan street photography mengalami hambatan. Hal ini dikatakan Joni Parwanto, salah satu pegiat fotografi jalanan lainnya saat dikontak melalui obrolan daring.
“Tapi setelah masa pandemi mulai berakhir, sepertinya sudah kembali terlihat perkembangan positifnya. Dapat dilihat dari workshop dan diskusi-diskusi yang diadakan teman-teman,” sambung fotografer yang menggeluti fotografi jalanan sejak 2017 itu.
Sebelumnya, Joni memotret berbagai genre, mulai dari landscape, cityscape, human interest, hingga toysphotography. Street photography baginya adalah sebuah sudut pandang yang terus berkembang dan dapat dipelajari seiring bergulirnya waktu.
Merekam objek lewat fotografi jalanan sepenuhnya adalah sebuah tantangan. Ini terkait dengan objek yang akan dipotret, terutama menyangkut kebijakan dan etika memotret seseorang di ruang publik.
Tidak semua orang senang saat difoto tanpa izin. Beberapa orang bahkan bisa marah atau menjadi agresif. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi para fotografer street, terutama jika mereka ingin mengambil foto dari jarak dekat atau dalam situasi yang memicu reaksi orang tersebut.
Di Indonesia dan beberapa negara lain, ada beberapa undang-undang dan peraturan yang harus diperhatikan terkait dengan privasi dan hak cipta. Namun, itu tidak sepenuhnya melarang untuk memotret di ruang publik.
Di Amerika Serikat, ada beberapa undang-undang negara bagian yang melarang fotografi tanpa izin di beberapa tempat tertentu, seperti di dalam ruang pribadi, ruang pengadilan, dan bandara.
Namun di Inggris, terdapat undang-undang Data Protection Act yang melindungi privasi orang dan mengatur penggunaan gambar. Jika gambar seseorang digunakan untuk kepentingan komersial, maka perlu izin tertulis dari orang tersebut.
“Saat yang sulit ketika nyetreet adalah adanya penolakan atau ketidaksukaan ketika kita memotret subjek foto. Berikan penjelasan apa adanya, maksud, dan tujuan kita memotret dan kalau subjek tidak berkenan, kita bisa pergi dengan sopan, walaupun kita sudah mengambil foto secara natural, spontan, serta anonim,” tutur Rizka saat diminta membagikan pengalaman pribadinya ketika memotret di ruang publik.
Tantangan lain bagi street photogprahy di Indonesia adalah perkembangan teknologi dan media sosial. Meskipun pada awalnya cukup membantu, Widya Sartika Amrin cukup khawatir dengan peredaran konten genre ini secara asal.
Menurutnya, generasi sekarang lazim mengamati foto dan lokasinya di media sosial lalu membuat tiruannya. Mereka tidak belajar melalui referensi atau buku-buku foto yang dapat membuka peluang diskusi dan ruang-ruang obrolan.
“Apalagi di Tik-Tok, ada konten street photography yang ditambahkan dengan berbagai animasi dan musik, langsung disukai oleh ribuan orang. Padahal, pembuat kontennya sendiri bukan pegiat genre street,” ujarnya.
Widya lalu membandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand yang regenerasinya dianggap berhasil. Banyak foto-foto mereka melahirkan foto jalanan yang kontemporer dengan kualitas yang bagus.
Dapat dilihat bahwa street photography di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa. Mulai dari awal mula yang kurang dikenal hingga tumbuhnya minat, munculnya komunitas, perkembangan teknologi, dan tantangan-tantangan yang dihadapi.
Hal ini menunjukkan bahwa fotografi jalanan di Indonesia semakin diperhatikan dan diapresiasi oleh masyarakat luas.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi