Menuju konten utama

Yang Jarang Dibicarakan Orang tentang Kartini: Fotografi

Kartini punya kelindan erat dengan fotografi. Membantunya menarasikan kehidupan masyarakat Jawa era Kolonial.

Yang Jarang Dibicarakan Orang tentang Kartini: Fotografi
Header Mozaik Kartini dan Fotografi. tirto.id/Tino

tirto.id - Mendengar nama Kartini benak kita mungkin bakal langsung mengaitkannya dengan emansipasi perempuan. Dia juga dikenal sebagai inisiator pendidikan. Sebagian orang juga mengaitkannya dengan bibit pergerakan nasional.

Namun, sangat jarang yang mengaitkannya dengan fotografi. Padahal, Kartini juga punya pertautan dengan fotografi. Memang, tak banyak orang yang membicarakannya.

Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006) menyebut bahwa Kartini adalah pribadi yang kuat serta berjiwa modern. Dalam satu momen jajah desa milang kori bersama sang ayah, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, Kartini merasa gembira dibersamai oleh tukang foto.

Terlebih di zaman itu, fotografi masihlah sebuah kemewahan. Pun, masyarakat awam masih percaya mitos bahwa jika mereka masuk dalam frame photo, umurnya akan berkurang.

Melihat kondisi yang demikian, Kartini mengutarakan keinginannya untuk memiliki sebuah kamera sendiri. Hal itu juga dia tulis di surat yang ditujukan kepada Mevrouw Abendanon. Kartini berangan-angan kamera itu bakal menjadi alat yang tepat untuk mengabarkan kondisi rakyatnya kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Yang terpenting, dengan memiliki kamera sendiri, dia bakal bisa mengabarkan dengan perspektif bumiputra. Selama masa hidupnya, menurut Kartini, fotografi di Hindia Belanda masih didominasi oleh orang Eropa.

Secara tersirat, Kartini hendak menyeimbangkan image tentang Jawa era kolonial yang selama ini timpang. Foto-foto dan gambar yang diproduksi kala itu terlalu eropasentris. Maka demokratisasi sudut pandang tentang Jawa melalui gambar-foto-ilustrasi harus ditegakkan.

Di Balik Foto

Beberapa sumber yang sampai pada kita bisa mengetengahkan tentang Kartini sebagai seorang photography-enthusiast. Selain mencurahkan isi pikiran melalui teks, dia juga seorang pencinta visual. Misalnya, Kartini acap menyimpan foto-foto yang dia dapat ke dalam sebuah kotak yang dihiasi ukiran wayang.

Kartini juga menyimpan 48 potret tentang Bupati di Jawa dan Madura. Potret-potret itu kemudian dikirimkannya ke Ratu Wilhelmina pada 1904 sebagai hadiah ulang tahun.

Selain mengumpulkan dan saling bertukar potret, Kartini pun gemar memamerkan koleksi fotonya. Hiasan-hiasan kamar pun tak luput dari bubuhan bingkai foto dan bunga-bunga agar terlihat manis. Kartini bukan saja pemikir ulung, tapi juga paham akan estetika fotografi.

Keadaan yang demikian juga diungkapkan Joost Cote dalam “Reversing the lens: Kartini’s Image of a Modernised Java”(2015). Cote membeberkan bahwa Kartini memiliki koleksi visual yang cukup beragam, meski tak memiliki kamera sendiri.

Koleksi fotografinya terbilang mulai dari kartu pos, hasil saling bertukar informasi lewat surat dengan rekan pena asal Belanda, foto-foto bersama saudara dan saudarinya, hingga beberapa potret para juru ukir kayu Jepara.

Foto mengenai juru ukir kayu Jepara yang dikabarkan Kartini inilah yang kemudian mengantarkan Jepara ke tingkat popularitas tertinggi. Kemasyhuran Jepara dan potensinya di bidang ukiran kayu boleh jadi bermula dari saat itu. Kartini juga berjasa dalam mengorganisasi potensi Jepara lewat beberapa pameran, terutama Nationale Tentoonstelling van Vrouwenarbeid (Pameran Nasional Karya Wanita) di Den Haag pada 1898.

Kekuatan fotografi juga ditunjang oleh narasi yang dituangkan Kartini lewat tulisan juga. Hal ini dilakukan lantaran demi memberi informasi secara jelas tentang Jawa kepada lawan bicaranya di Eropa. Secara tak langsung, Kartini telah memanfaatkan fotografi sebagai cara untuk berpartisipasi dalam wacana etnografi Eropa tentang Jawa.

Kartini juga secara tidak langsung menantang para elite laki-laki dengan otoritasnya menenteng kamera yang minim pesan. Kartini seakan ingin memindahkan “titik fokus lensa” kepada perempuan baik secara teks dan visual.

Kartini menyadari akan pentingnya kekuatan fotografi. Dari beberapa pucuk surat Kartini yang ditelusurinya, Joost Cote menemukan ragam kata soal fotografi. Cote mengungkapnya dalam bukunya Kartini: The Complete Writings 1898-1904 (2014).

Ragam kata yang disebut Cote di antaranya foto, fotografer, potret, kamera. Kata-kata itu tersebar di lebih dari setengah surat yang selamat. Sebagian besar referensi ini berkaitan dengan penerimaan pun pengiriman foto potret sebagai bentuk komunikasi visual yang jamak digunakan pada era Kolonial.

Infografik Mozaik Kartini dan Fotografi

Infografik Mozaik Kartini dan Fotografi. tirto.id/Tino

Fakta ini membuktikan secara kuat tentang pentingnya kamera dan foto dalam menyampaikan informasi tentang atmosfer kehidupan kolonial kala itu. Tentu juga tentang tujuan untuk memajukan agenda pendidikan orang Eropa, serta tentang budaya dan masyarakat Jawa.

Foto koleksi Kartini yang dominan dan representatif dalam kumpulan arsip adalah foto studio. Koleksi foto keluarga Kartini pun merefleksikan keluarga modern a la Jawa, yang diindikasikan diambil dari studio. Biro foto studio langganan Kartini dan keluarganya adalah Atelier Helios dan Charls & Co yang bertempat di Semarang yang beroperasi sekira 1900-1903.

Beberapa potret keluarga yang penting dilakukan di sana, seperti foto bersama dengan saudari perempuannya (Roekmini dan Kardinah) dan bahkan satu dekade sebelumnya Ayah Kartini (R.M.A.A. Sosroningrat) beserta istri (R.A. Moeryam). Untuk kenangan berdua bersama suami (R.M.A.A. Djoyo Adiningrat), dilakukan di studio foto Tee Han Sioe di Rembang.

Foto studio dapat menunjukkan tampilan yang dinilai sebagai sesuatu yang ideal, status sosial yang tinggi, dan kualitas modernitas seseorang maupun kelompok. Budaya kelas bawah dan hal-hal yang tidak ideal jarang diproduksi walaupun ada. Kartini pun menyindir sisi gelap pernikahan, hidup dalam cengkeraman adat yang memojokkan perempuan, poligami dan realitas sebenarnya bersembunyi di balik foto studio.

Makna-makna terkonstruk rapi di balik foto kaku yang dilakukan bersama keluarga ataupun secara personal dan kelompok. Di luar sana, ada pepatah mengatakan, “Picture speaks louder,” tapi dalam situasi Kartini yang berlaku adalah, “Picture without text is nothing, text and picture collaborate to be important thing.”

Baca juga artikel terkait RA KARTINI atau tulisan lainnya dari Muhammad Aprianto

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Aprianto
Penulis: Muhammad Aprianto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi