tirto.id - Selama kurang lebih 40 tahun Kiai Soleh menetap di Makkah. Kepakarannya dalam berbagai cabang ilmu agama membuatnya diakui sebagai cendekiawan dan dinilai laik menerima ijazah atau sertifikat mengajar di Masjidil Haram.
Seturut M. Masrur dalam “Kyai Soleh Darat, Tafsir Faid al-Rahman, dan RA. Kartini” (2012: 25), gurunya yang masyhur adalah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti agung Syafi’iyyah di Makkah yang juga guru Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Kholil Bangkalan.
Nama lengkap Kiai Soleh adalah Muhammad Soleh bin Umar as-Samarani. Ia lahir pada 1820 di Mayong, Jepara. Ayahnya yaitu Kiai Umar adalah prajurit dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro selama berkobarnya Perang Jawa (1825-1830).
Pendidikannya mula-mula ditempuh di sebuah pesantren di Kajen, Pati, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Syahid. Di pesantren itu ia mempelajari literatur yurisprudensi klasik seperti Fathul Qarib, Fathul Muin, dan Fathul Wahhab.
Selepas dari Kajen ia berguru kepada Kiai R.H.M. Soleh bin Asnawi Kudus. Selanjutnya ia belajar pada Kiai Ishak Damaran, Kiai Muhammad bin Hadi Baiquni, Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Sayyid Abdul Ghani Bima, dan Kiai Ahmad Alim Purworejo.
Kiai Soleh penulis yang prolifik. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir Faidhur Rohman dan Al-Mursyid al-Wajiz, kitab tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an. Keduanya ditulis dalam konteks perubahan sosial yang tengah berlangsung di Hindia Belanda.
Ketatnya pengawasan pemerintah kolonial terhadap karya tulis berbau keislaman mendorong Kiai Soleh menulis dalam bahasa Jawa. Menariknya, ia tidak menggunakan aksara Jawa melainkan pegon, yakni aksara Arab yang disesuaikan dengan bahasa Jawa.
Sekira 1870 hingga 1880 Kiai Soleh mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang. Di kemudian hari nama desa itulah yang disematkan di belakang namanya.
Di samping mengurusi pesantren ia juga membangun jaringan ulama. Selain dengan sesama murid Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan juga dengan banyak ulama lain, salah satunya pendiri Pesantren Jamsaren Surakarta, Kiai Jamsari.
Kado Istimewa untuk Kartini
Th. Sumartana dalam Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (2013: 81) menulis bahwa di mata Kartini segala gaduh dan kericuhan di masyarakat terjadi lantaran egoisme para pemeluk agama, bukan ajaran agama itu sendiri.
Meski begitu ia tidak dapat berbuat banyak, sebab tidak memiliki akses untuk memahami Al-Qur’an. Selain tidak paham bahasa Arab, larangan dari sebagian pemuka agama untuk menerjemahkan Al-Qur’an juga menjadi sebab utamanya.
“Saya heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Kata-kata itu meluncur dari mulut Kartini di hadapan Kiai Soleh Darat selepas mengikuti pengajian di rumah pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat. Paman Kartini ini adalah Bupati Demak yang rutin mengundang Kiai Soleh Darat untuk mengisi pengajian.
Itu adalah kali pertama Kartini bertemu dengan Kiai Soleh Darat. Sebelumnya, sebagaimana terdapat dalam surat yang ia tulis untuk sahabat penanya di Belanda, Stella Zeehandelaar, seorang feminis Yahudi yang sangat militan, Kartini menulis,
“Bagaimana saya mencintai agama saya kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apa pun juga. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.”
Dalam pertemuan di kediaman sang paman itu secara pribadi Kartini meminta Kiai Soleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Kiai Soleh Darat menyambut baik permintaan tersebut dan tak butuh waktu lama baginya untuk mulai mengerjakan proyek ambisius itu.
Bukan hanya terjemah, Kiai Soleh Darat bahkan menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa, bahasa yang dimengerti oleh Kartini. Tafsir berjudul Faidhur Roman itu, yang disebut-sebut tafsir Al-Qur’an pertama berbahasa Jawa, ia jadikan kado pernikahan untuk Kartini.
Tafsir Faidhur Rohman terdiri dari dua jilid yang sangat tebal. Jilid pertama tebalnya 577 halaman, memuat Surat Al-Fatihah dan Surat Al-Baqarah, sedangkan jilid kedua tebalnya 705 halaman, terdiri dari Surat Ali ‘Imran dan Surat an-Nisa’.
Melalui kitab tafsir karya Kiai Soleh Darat inilah Kartini menemukan sebuah penggalan ayat yang beberapa kali ia kutip dalam surat-surat untuk sahabat penanya. Penggalan ayat itu terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 yang berbunyi “minazh zhulumati ilan nur”.
Kartini menerjemahkan penggalan ayat itu menjadi “door duisternis tot licht”. Setelah kematiannya, surat-surat tersebut dibukukan dan penggalan ayat dalam versi Belanda dijadikan judul. Di Indonesia, buku ini diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Sikap kritis Kartini terhadap Islam tidak hanya muncul lantaran praktik keberagamaan umat Islam yang menurutnya memarjinalkan kaum Hawa. Bagaimanapun keluarga dari pihak ibunya, MA. Ngasirah, adalah orang-orang yang melek agama.
Kakeknya yang bernama KH. Madirono adalah guru agama di Teluk Awur, sebuah desa di pesisir pantai di Jepara. Pada masa itu, seseorang yang bergelar haji tidak hanya menandakan kecukupan finansial tapi juga komitmen yang kuat terhadap agama.
Di lain pihak, nalar kritis Kartini tumbuh subur berkat dibesarkan di tengah keluarga elite dan terdidik. Kakek dari pihak ayahnya yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro IV sudah menduduki jabatan bupati di usianya yang baru 25 tahun.
Kakaknya yang bernama Panji Sosrokartono dikenal sebagai poliglot yang menguasai 35 bahasa. Selain berpengalaman dalam pergaulan politik luar negeri, ia juga pernah menjadi wartawan The New York Herald Tribune, koran ternama asal Amerika Serikat.
Guru Para Ulama
Selain Kartini, sejumlah tokoh juga pernah berguru pada Kiai Soleh Darat. Di antaranya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan Tafsir Anom V.
KH. Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdhatul Ulama (NU). Berdasarkan survei pada 2022, organisasi yang didirikan pada 1926 itu diperkirakan memiliki anggota sebesar 59,2 persen dari penduduk muslim di seluruh Indonesia atau hampir 150 juta jiwa.
Selain merepresentasikan tradisionalisme Islam, NU juga dikenal berkat kontribusinya dalam mengembangkan pemahaman Islam yang moderat dan mengampanyekan toleransi di tengah perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Satu dekade lebih sebelum KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Sayap modernis muslim Indonesia itu dikenal berkat kesuksesannya dalam mengembangkan sejumlah amal usaha.
Amal usaha yang berjumlah puluhan ribu terdiri dari lembaga pendidikan tingkat taman kanak-kanak, dasar, menengah, perguruan tinggi, dan pondok pesantren, juga rumah sakit dan panti asuhan yang tersebar di dalam dan luar negeri.
Sementara Tafsir Anom V mendirikan Mambaul Ulum (1905), sekolah Islam modern pertama di Jawa. Selain untuk mencetak kader ulama, lembaga ini didirikan untuk mengimbangi pesatnya pembangunan sekolah Kristen di Surakarta.
Banyak tokoh penting lahir dari madrasah ini, di antaranya Prof. KH. A. Kahar Mudzakir (anggota BPUPKI), KH. Saifudin Zuhri (Menteri Agama RI periode 1962-1967), dan Prof. Dr. Munawir Syadzali, MA (Menteri Agama RI periode 1983-1993).
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi