Menuju konten utama
25 Mei 1954

Robert Capa Menggunakan Kamera 35mm untuk Meliput Perang dari Dekat

Capa meliput Perang Sipil Spanyol, Perang Cina-Jepang, Perang Dunia II, Perang Arab-Israel, dan tewas saat meliput Perang Indocina.

Robert Capa Menggunakan Kamera 35mm untuk Meliput Perang dari Dekat
Header Mozaik Robert Capa. tirto.id/Tino

tirto.id - Foto The Falling Soldier adalah salah satu karya penting dalam sejarah fotografi yang dijepret di era perang. Dalam foto ikonik itu, seorang serdadu sempoyongan dengan lutut tergolek dan lengan terhempas akibat terkena tembakan musuh. Foto hitam putih itu seolah mempraktikkan langsung teori fotografi decisive moment yang jadi ciri khas karya-karya fotografer Henri Cartier-Bresson.

Tapi foto serdadu yang tertembak itu bukan karya Bresson, melainkan karya Robert Capa, fotografer kelahiran Hungaria yang membawa kamera Leica 35mm saat meliput sejumlah perang.

Foto serdadu dalam Perang Sipil Spanyol itu kemudian tampil di beberapa majalah Eropa seperti Vu, Paris-Soir, Regards, dan Life. Ia menjadi satu dari sekian banyak foto ikonis yang dihasilkan Capa dalam karier jurnalistiknya. Selain Perang Sipil Spanyol 1936-1939, Capa juga memotret Perang Cina-Jepang 1938, Perang Dunia II 1941-1945, Perang Arab-Israel 1948, dan Perang Prancis-Indocina 1954.

Untuk menghasilkan foto yang maksimal dan menangkap momentum, kamera 35mm sangat praktis dan bisa dibawa dengan satu tangan karena relatif ringan dan ukurannya kecil. Fotografer harus memotret dari jarak yang sangat dekat. Oleh karena itu, banyak fotografer mengalihkan perhatiannya ke tema-tema fotografi lainnya. Di sinilah kelebihan Capa. Ia berani datang ke lokasi-lokasi konflik bersenjata hanya dengan membawa peralatan fotografi dan pelindung tubuh sekadarnya.

Kiprah Capa di dunia fotografi sebenarnya dimulai dari keterpaksaan. Lahir dengan nama Endre Friedmann di keluarga keturunan Yahudi, Capa termasuk anak kecil biasa. Nilai sekolahnya tidak menonjol. Keluarganya merupakan keluarga kelas menengah pekerja. Ayahnya hanya seorang penjahit biasa yang mengelola salon pakaian di Pest, Hungaria.

Seperti sekian banyak remaja Hungaria yang lahir pada awal abad ke-20, ia ikut dalam persoalan politik. Di masa remaja, Capa sempat mendekam di penjara karena diduga menjadi simpatisan komunis oleh rezim Proto-Fasis Jenderal Miklós Horthy.

Di usia yang baru menginjak 17 tahun, aktivisme politik itu memaksanya untuk mengasingkan diri ke luar Hungaria. Kala itu ia memilih Berlin sebagai tujuannya. Tapi bukannya berhenti berpolitik, ia justru mendaftar di Jurusan Ilmu Politik Deutsche Hochschule Für Politik. Sayang, masalah keuangan memaksanya untuk berhenti sekolah. Saat itulah Capa menemukan bidang fotografi yang menurutnya bisa menafkahi dirinya secara rutin.

Capa mengenal fotografi dari seorang kawannya, Otto Umbehr (Umbo), yang memberinya pekerjaan tetap di sebuah agensi fotografi Dephot (Deutscher photodienst). Masuk sebagai asisten di kamar gelap, Capa dengan cepat menunjukkan minatnya pada kamera. Ia dipercaya memegang kamera Leica milik agensi itu untuk belajar. Hanya berselang satu tahun sejak tiba di Berlin, ia mantap meninggalkan kuliah dan menekuni karier di bidang fotografi.

Pada November 1932 Capa menerima tugas besar pertamanya: memotret ceramah Leon Trotsky di Copenhagen. Ceramah itu digelar untuk kelompok mahasiswa sosialis tempat Trotsky dengan senang hati menggelorakan sosialisme versinya. Sontak, foto hasil jepretan Capa menjadi salah satu foto Trotsky paling populer yang dimuat di majalah.

Setelah itu, ia kebanjiran tugas. Capa makin dipercaya meliput acara-acara penting. Tapi nasibnya kurang baik. Kala itu, pengaruh Hitler di Jerman sedang menanjak dan semakin tak terbendung. Capa yang Yahudi terpaksa meninggalkan Jerman untuk kembali ke kampung halamannya.

Setelah beberapa bulan tinggal bersama keluarganya di Hungaria, Capa memutuskan untuk menetap dan mencari peruntungan di Paris. Di sana Capa lagi-lagi mengalami kesulitan keuangan. Ia harus bolak-balik menjual kamera Leica yang dipakainya untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Nasib mujur baru dialami ketika ia berkenalan dengan David Seymour, fotografer muda asal Polandia yang ia temui di sebuah kafe di Paris.

Capa kemudian mendapatkan pekerjaan dari Simon Guttmann, temannya sewaktu di Dephot. Guttmann yang waktu itu juga memutuskan untuk pindah ke Paris menugaskan Capa untuk meliput Paolino Uzcudun, petinju kelas berat kelahiran Spanyol.

Tugas di Spanyol diselesaikan dengan baik. Ia kembali ke Paris sebelum berkenalan dengan Gerda Pohorylles, perempuan Swiss yang juga tinggal di Paris. Gerda rupanya punya minat yang sama dengan Capa. mereka memutuskan tinggal bersama dan sama-sama bekerja di dunia fotografi. Belakangan, Gerda mengubah namanya menjadi Gerda Taro.

Meliput Perang dan Mendirikan Magnum Photos

Di masa awal Perang Dunia II, Capa aktif meliput. Ia membawa Leica 35mm dan memotret peperangan dari jarak yang sangat dekat. “Jika foto Anda kurang bagus, maka Anda memotretnya kurang dekat,” kata Capa pada suatu kesempatan wawancara.

Pernyataan itu belakangan dimaknai sebagai pernyataan teknikal sekaligus psikologis. Ia merasa perlu untuk terjun langsung ke tengah-tengah suasana perang agar bisa menangkap momentum dan perasaan yang digambarkan dari sebuah karya human interest, salah satu prinsip penting dalam genre foto jurnalistik.

Setelah meliput Perang Dunia II ia kembali ke Paris. Meski sibuk bekerja bersama Gerda Taro, pertemanan Capa dengan Seymour tetap terjalin baik. Mereka berdua kemudian bertemu dengan Henri Cartier-Bresson dan saling berbagi ruang gelap untuk memproses karya-karya mereka. Merasa cocok dengan visi fotografi masing-masing, mereka mengumpulkan beberapa kenalan fotografer lain dan sepakat mendirikan Magnum Photos pada 1947 yang masih aktif hingga kiwari.

Infografik Mozaik Robert Capa

Infografik Mozaik Robert Capa. tirto.id/Tino

Selain mengurus Magnum Photos, Capa tidak pernah meninggalkan dunia jurnalistik. Pada 1948 ia berangkat ke Palestina, Sinai, dan Lebanon Selatan untuk meliput Perang Arab-Israel. Salah satu foto yang ia hasilkan adalah tentang imigran: sekelompok laki-laki, perempuan, dan anak-anak sedang berdiri antre menunggu giliran tenda penampungan pascaperang.

Dari serangkaian liputan perang, Capa menolak menggunakan graflex, kamera lensa tunggal yang berat lengkap dengan lampu kilat yang umumnya digunakan para fotografer jurnalistik. Para pegiat fotografi yakin ia memang tak mungkin menggunakan kamera jenis itu untuk melintasi badai perang hebat di Normandy dan suasana kisruh para pengungsi di Israel.

Dalam bukunya Slightly Out of Focus (1947), Capa menceritakan berbagai kesulitan yang ia alami dalam proses pengambilan foto liputan perang. Dari ceritanya itu pula diketahui bahwa kamera yang ia gunakan adalah kamera-kamera dengan format 35mm. Dan seperti banyak fotografer pada zamannya, kamera yang ia gunakan sangat dipengaruhi kondisi finansial.

Leica IIIa jadi pilihannya sejak awal belajar fotografi. Ia kemudian menggunakan Contax II yang menemaninya hampir di sepanjang karier jurnalistiknya. Belakangan ia baru menggunakan Nikon S dengan lensa 50mm.

Pada awal 1950-an, Capa datang ke Jepang menghadiri pameran foto untuk keperluan Magnum Photos. Mendengar kabar itu, Life Magazine memberinya tugas untuk meliput perang Prancis-Indochina di Asia Tenggara yang telah berlangsung delapan tahun. Capa sebetulnya enggan menerima tugas itu karena merasa sudah cukup banyak meliput perang dan sudah waktunya untuk berhenti. Namun kemudian tugas itu ia terima juga.

Sesuai rencana ia mengikuti resimen Prancis yang berlokasi di Provinsi Thaì Bình, Vietnam Utara. Pada 25 Mei 1954, tepat hari ini 68 tahun lalu, ia melintasi wilayah berbahaya bersama pasukan Prancis. Mereka diberondong musuh dan Capa meninggal di tempat dalam usia 40 tahun.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi