tirto.id - “Ketajaman [dalam fotografi] itu konsep borjuis.”
Henri Cartier-Bresson melontarkan kalimat itu kepada Helmut Newton, seorang fotografer fesyen, yang secara teknis bertolak belakang dengan sebuah konsep yang diperkenalkan Cartier-Bresson dan kemudian bersinonim dengan namanya: decisive moment.
Kalimat pembuka itu terbaca sangat sangar, sampai Anda tahu bahwa kalimat tersebut ia ucapkan sebagai lelucon karena tangan tuanya sudah gampang gemetaran dan hasil fotonya banyak yang kabur. Tak lama setelah pertemuannya dengan Newton, pada 3 Agustus 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu, Henri Cartier-Bresson meninggal dunia di usia 95.
Mari sedikit membahas lelucon tadi. "Ketajaman adalah konsep borjuis" adalah jenis lawakan yang cuma bisa muncul dari orang yang memahami fotografi sebagai seni yang memprioritaskan cerita ketimbang hal-hal teknis seperti ketajaman (sharpness) dan menyadari keberadaan borjuis. Untuk memahami yang terakhir, kita perlu kembali ke Perancis tahun 1930-an.
Antifasis, Komunis, dan Jurnalis Foto
Jika Anda melakukan riset cepat melalui mesin pencari, banyak sekali tulisan mengenai decisive moment; mulai dari tip menemukan decisive moment, cara menjadi Cartier-Bresson, kutipan-kutipan motivasional fotografi, mitos-mitos yang mengalami mistifikasi, hingga pencapaian-pencapaian Cartier-Bresson. Yang tak banyak dibahas: dari mana asal-muasal energi yang meluap-luap di dalam diri Cartier-Bresson untuk mewartakan masalah manusia kepada dunia melalui fotografi—energi yang kemudian ia sederhanakan dalam frasa decisive moment?
Untuk sampai pada jawaban itu, Anda perlu menelisik lebih jauh bukan cuma perkara teknis fotografi, tetapi juga akar politik dan situasi masyarakat saat Sang Pewarta Foto Jalanan mulai membangun dirinya sebagai jurnalis foto.
Pada 1930-an, di masa Krisis Malaise, sebagaimana dilaporkan Henry Laufenburger dalam "France and the Depression" yang dimuat di jurnal International Affairs Vol. 15 No. 2 (Maret-April 1936: 202-224), Perancis mengalami kekacauan di pelbagai lini dari sosial, politik, hingga ekonomi. Pengangguran dan inflasi meningkat.
Kekacauan itu berdampak secara politis baik bagi kaum fasis maupun komunis. Pada 1934 terjadi kerusuhan sayap kanan di Paris. Julian T. Jackson dalam The Popular Front in France: Defending Democracy, 1934-38 (1987) mencatat orang-orang mulai khawatir soal gerakan sayap kanan itu dan takut jika di masa mendatang Perancis akan jatuh ke sumur jahanam fasisme.
Di saat yang berdekatan, Cartier-Bresson lulus sekolah menengah pada 1927 dan bekerja selama satu tahun di studio milik Andre Lhote, pelukis dan pematung beraliran kubisme. Dari Lhote, ia belajar membaca dan menulis. Hingga pada satu titik, ia merasa tidak nyaman dengan aturan-aturan yang digunakan Lhote dalam pendekatannya terhadap seni—meski kemudian pendekatan teoretis Lhote yang ketat banyak membantu Cartier-Bresson dalam komposisi foto. Pada periode ini Cartier-Bresson justru banyak mendapat pengaruh paling signifikan dari André Breton (penulis, penyair, dan editor) dan gerakan surealis.
Breton adalah anggota Partai Komunis Perancis (Parti Communiste Français, PCF) dan sangat terinspirasi Revolusi Oktober. Visi artistik Breton, yang bersandar pada prinsip sosialis dan keyakinan bahwa seni harus menentang semua bentuk otoritas borjuis, berdampak besar pada Cartier-Bresson dan kawan-kawannya yang saat itu masih remaja.
Cartier-Bresson mengakui perhatiannya tersita bukan oleh lukisan surealis, “tetapi gambaran Breton yang sangat memuaskanku tentang peran ekspresi spontan dan intuisi dan, di atas semua itu, sikap untuk memberontak dalam seni dan hidup.”
Pengalamannya sebagai fotografer tumbuh dalam ruang di mana krisis menghantam, fasisme sedang naik daun, dan perubahan ekstrem perlu dilakukan. Hal-hal ini menumbuhkan semacam kepercayaan bahwa kemajuan manusia hanya bisa diraih jika nilai-nilai budaya dan lembaga politik lama lenyap. Sebagai simpatisan komunis, saat mengunjungi Meksiko dan Amerika Serikat di awal 1930-an, ia banyak berkorespondensi dengan kelompok-kelompok komunis.
Di New York, Cartier-Bresson banyak menghabiskan waktu bersama Harlem Renaissance—gerakan budaya Afrika-Amerika paling berpengaruh. Nicolas Nabokov, sahabat karibnya, seperti dikutip dalam publikasi Museum of Modern Art (PDF), berkata, “Kami ngobrol panjang [di Harlem] kebanyakan tentang moral dan politik. Tapi, bagi Cartier-Bresson gerakan komunis adalah pemikul sejarah menuju masa depan umat manusia—terutama pada tahun-tahun itu, saat Hitler menunggangi Jerman dan perang saudara akan meledak di Spanyol.”
Pada akhir 1935 Cartier-Bresson kembali ke Perancis. Ia menjadi asisten sutradara film garapan Jean Renoir dan mendekat dengan PCF. Menjelang pemilihan umum 1936, Cartier-Bresson memproduksi La Vie est à nous, film kampanye PCF. Selanjutnya ia ikut menggarap Victoire de la vie (1937), film tentang Perang Sipil Spanyol; terlibat dalam La Règle du jeu (1939); serta menjadi asisten sutradara di Une Partie de campagne (1946). Selain itu dia juga bekerja sebagai fotografer Ce Soir, koran milik PCF.
Pengalaman hidup dalam situasi krisis dan kedekatan dengan PCF kemudian membuatnya memiliki gaya berbeda dengan fotografer sezaman. Kecenderungan politiknya jelas memberi sentuhan di dalam karya-karya fotonya. Ketika Jacques Henri Latirgue memilih tetap memotret balap mobil atau model-model di Paris, Cartier-Bresson memilih jalanan. Dari kisah di atas, upaya para fotografer meniru Cartier-Bresson mungkin sia-sia, sebab apa yang disebutnya sebagai decisive moment hanya puncak gunung es.
Berkeliling Dunia
Pada 1947 Cartier-Bresson bersama Robert Capa, David Seymour, George Rodger, dan William Vandivert mendirikan Magnum Photo, sebuah agensi fotografi independen yang memungkinkan fotografer memotret apa yang mereka sukai tanpa campur tangan bisnis atau sensor majalah, yang kemudian secara cepat menjadi standar foto jurnalisme.
Cartier-Bresson mengarahkan pandangan ke perubahan besar yang terjadi di Asia. Pada banyak kesempatan, ia selalu mengaku istri pertamanya, Ratna Mohini, memicu ketertarikannya pada perjuangan Asia membebaskan diri dari belenggu penjajah. Ia bersama kawan-kawannya berkelana dan memperlihatkan kepada dunia seperti apa invasi D-Day, pembebasan Perancis, keberhasilan revolusi komunis di Cina, kemerdekaan Indonesia, hingga kegiatan sehari-hari seperti piknik di tepi sungai atau foto seorang bocah membawa botol.
Ia tidak hanya memotret kejadian-kejadian besar, tetapi juga merayakan peristiwa-peristiwa kecil dengan kameranya; membingkai peristiwa remeh itu dalam komposisi foto yang setara perayaan kemerdekaan suatu negara. Pada saat bersamaan foto-foto yang merekam peristiwa remeh itu juga menggambarkan situasi sosial di sekitarnya.
Pada 1954 Cartier-Bresson menjadi fotografer Barat pertama yang diizinkan masuk dan memotret Uni Soviet pasca-Perang Dunia II. Ia mendapat kepercayaan karena reputasinya dalam gerakan kiri. Selain itu fokus utama fotografinya adalah orang-orang biasa, rakyat pekerja, dan kaum proletar lain yang klop dengan realisme sosialis—gerakan artistik yang didukung secara resmi di Eropa timur saat itu.
Selama perjalanannya di Soviet, Cartier-Bresson banyak mengambil kegiatan-kegiatan biasa: pekerja yang menari di pesta yang mereka buat sendiri, perwira militer bersama keluarga mereka, dan orang-orang berjalan-jalan santai di hari yang cerah di Red Square. Foto-foto ini diterbitkan di Paris Match dan memberi kabar lain: negara kaum pekerja benar-benar ada dan mereka hidup biasa-biasa saja. Foto-fotonya merajut benang yang menghubungkan antara satu manusia dengan manusia lain dan menampilkan pekerja Soviet hidup bahagia.
Ambil Kamera dan Memotretlah
Pendekatan fotografi Cartier-Bresson paling banyak dipakai fotografer modern dan kalimat-kalimatnya paling sering dikutip. Kadang-kadang memang kutipannya terasa puitik dan, yang lebih penting, seolah-olah mudah dilakukan. Misalnya, “Bagiku kamera adalah buku sketsa, instrumen intuisi dan hal-hal spontan lainnya […] mempertanyakan sekaligus memutuskan secara simultan.”
Kalimat itu bisa muncul sebab dibarengi kemajuan teknologi kamera saat itu. Leica M3 rangefinder 35mm yang ia gunakan kecil, ringan, dan membuat gerak-geriknya di jalanan tidak mencurigakan. Dan film hitam-putih yang super cepat memungkinkan ia memotret tanpa menarik perhatian. Bayangkan kalau ia jalan-jalan membawa kamera medium format, tentu langsung mengintimidasi siapa pun yang melihat di jalan.
Pendekatan fotonya nyaris selalu sama sepanjang karier. Ia tidak pernah menggunakan lensa zoom, tidak menyukai cahaya buatan dan manipulasi cetak di ruang gelap, dan bahkan berusaha menghindari cropping. Ia lebih seperti seorang naturalis saat memotret: memastikan semua elemen yang ia perlukan tersedia tepat saat gambar diambil, sejalan dengan konsep decisive moment-nya.
Lensa yang digunakan juga hanya lensa 50mm, kadang-kadang memakai 90mm jika ingin mendapatkan detail. Ia sangat menghindari penggunaan flash karena, menurutnya, cahaya flash mengganggu orang dan tidak sopan. Saat mencetak foto, ia mencetak seadanya. Cartier-Bresson cenderung menghindari hal-hal ruwet dalam fotografi karena baginya hal menarik justru terjadi saat proses pemotretan berlangsung. Ia menggunakan fotografi sebagai sarana ekspresi dan pembebasan diri.
Selama aktif sebagai fotografer, Cartier-Bresson menyaksikan dunia dari beragam sisi. Dunia yang rapuh, dunia yang stabil dan tidak stabil, transisi kekuasaan, perang dan tahun-tahun terbaik setelah perang berakhir. Ia berhasil memberi kehidupan pada tiap makhluk yang lewat di depan lensanya, merangkum banyak peristiwa di dalam rol-rol film, dan berperan memberi memori sintetis: memori yang sebetulnya tak pernah dialami karena tidak hidup di zaman saat gambar diambil, tetapi bisa dikenang saat melihat hasil fotonya dengan cara-cara yang gaib oleh orang-orang seperti Anda dan seperti saya.
Para fotografer selalu berurusan dengan kehilangan. “Dan ketika momen itu lenyap,” kata Cartier-Bresson, “tidak ada alat canggih yang sanggup membuatnya kembali lagi.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan