Menuju konten utama

Ruminasi: Gagal "Move On" yang Bisa Bikin Depresi

Mengingat terus kenangan pilu dan lupa meluangkan waktu untuk bersenang-senang membawa Anda pada kondisi ruminasi.

Ruminasi: Gagal
Ilustrasi ruminasi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bagi sebagian orang, melenyapkan kenangan pahit adalah sesuatu yang jauh lebih rumit. Ada yang justru secara sadar mengingat terus menerus kenangan pilu hanya demi disimpan lagi di dalam memori dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan. Dalam kajian psikologi, kecenderungan tersebut dinamakan ruminasi.

Ada beberapa varian mengenai karakteristik ruminasi yang dijelaskan melalui berbagai teori psikologi. Susan Nolen-Hoeksema, misalnya, seorang profesor psikologi dari Yale University, Amerika, memiliki sebuah teori yang dinamakan Response Styles Theory (RST) dan kerap diklaim paling empirik dalam menjelaskan fenomena ruminasi.

Berdasarkan teori RST, sebagaimana juga tertuang dalam salah satu riset Nolen-Hoeksema tahun 2008, Rethinking Rumination, ruminasi dijelaskan sebagai bentuk refleksi diri yang maladaptif karena ia menghasilkan pandangan baru yang justru menambah atau memperpanjang durasi stres hingga depresi seseorang.

Proses tersebut akan melewati tiga tahapan. Pertama, ruminasi akan membuat seseorang terus-menerus memikirkan masa silam yang pahit sehingga memicu perasaan tertekan. Kedua, ruminasi menghalangi kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah secara efektif. Sebaliknya, mereka kerap berpikir pesimistis dan fatalistis. Ketiga, ruminasi kelak akan mengganggu perilaku instrumental seseorang hingga ke tahapan yang depresif.

Nolen-Hoeksema juga berpendapat bahwa seseorang yang mengidap ruminasi kronis pada akhirnya akan kehilangan dukungan dari jejaring sosial, sebab ia menihilkan hasil konsultasi dengan pihak terkait. Dengan demikian, konsekuensinya adalah gejala depresi akan berevolusi menjadi lebih parah dan, seperti yang dijelaskan di awal, tentunya juga akan memperpanjang durasinya.

“Ruminasi mengacu pada kecenderungan memikirkan berulang kali tentang penyebab, faktor situasional, dan konsekuensi dari pengalaman (emosional) negatif seseorang,” tulisnya di riset tersebut.

Sedikit berbeda dengan teori RST yang dikemukakan Nolen-Hoeksema, Edward Watkins, seorang profesor psikologi dari University of Dexter, memiliki pemahaman tersendiri mengenai ruminasi yang ia rangkum dalam Goal Progress Theory (GPT).

Dengan mengacu kepada Zeigarnik Effect (suatu penjelasan tentang mengapa seseorang lebih mudah mengingat sesuatu yang belum selesai daripada sebaliknya), ruminasi secara spesifik dikonsepkan dalam teori RST sebagai respons terkait kegagalan mencapai suatu tujuan. Mekanismenya sama: memikirkan berulang-ulang berbagai faktor penyebab kegagalan tersebut.

Varian lain mengenai ruminasi, seperti terangkum dalam Roadmap to Rumination dari National Center for Biotechnology Information (NCBI), antara lain adalah: Rumination on Sadness, Stress Reactive Rumination, Self-Regulatory Executive Function, Conceptual-evaluative & Experiential, hingga Rumination & Self-Regulation.

Kendati memiliki berbagai varian dan penjelasan spesifik yang berbeda, ruminasi tetap merupakan salah satu gejala utama penyebab kecemasan (anxiety), depresi, dan stres akut. Riset yang dilakukan oleh Nolen-Hoeksema di American Psychological Association (APA) pada tahun 2000 menunjukkan bahwa sepanjang 2,5 tahun terakhir, sebanyak 137 orang mengalami depresi akibat ruminasi.

Mereka memiliki karakteristik umum yaitu kerap mengonsumsi alkohol berlebih, memiliki keinginan untuk bunuh diri, serta punya kesulitan amat besar untuk memaafkan diri sendiri.

Ruminasi Antara Pria dan Wanita

Jika Anda pernah mengalami patah hati yang sedemikian pahit, lalu sering mengingat hal itu alih-alih coba mengalihkannya, bisa jadi Anda seorang ruminator atau mengidap ruminasi.

Pada dasarnya, ruminasi merupakan bentuk refleksi diri agar tidak kembali mengalami kepahitan yang sama. Hanya saja, ruminasi akut akan membuat orang akan terobsesi untuk terus memikirkan hal tersebut, kendati tidak lagi mengalami lagi kejadian yang dulu.

Alhasil, pikiran semacam ini dikuasai oleh emosi negatif nyaris dalam berbagai hal. Seorang pengidap ruminasi diibaratkan seperti seekor hamster yang berlari di atas lingkaran berputar tanpa jeda. Ruminator akan terjebak dan terus menerus memikirkan kenangan pahit tanpa mampu menemukan jalan keluar. Kondisi tersebut tentunya memperparah situasi yang sudah terjadi. Selain karena tidak menemukan solusi, beban di pikiran juga makin berlipat. Semua menjadi sia-sia.

Seorang ruminator sejatinya dapat meminta bantuan dari non-ruminator untuk berkonsultasi terkait masalah yang mereka hadapi. Biasanya cara ini berhasil, tapi hanya sejenak saja. Ruminasi tidak pernah benar-benar hilang hanya karena bantuan orang lain. Dan ketika ia muncul lagi, para ruminator akan menarik diri dan kembali memikirkan masalah tersebut.

Nolen-Hoeksema mengatakan, seperti dikutip Bridget Murray Law dari APA dalam esainya yang berjudul ‘Probing The Depression-Rumination Cycle’:

“Mereka akan kembali frustrasi, menarik diri, dan bahkan memusuhi orang-orang yang telah mencoba membantu mereka. Mereka akan berpikir: ‘Kenapa orang-orang itu menelantarkan saya, kenapa mereka begitu kritis terhadap saya?’”

Dalam konteks gender, merujuk kesimpulan riset dalam NCBI pada 2013, ‘Gender Differences in Rumination: A Meta-Analysis’, ruminator pria dan wanita memiliki sebuah perbedaan mendasar. Saat ruminasi, pria akan lebih fokus kepada emosinya daripada perasaan sedih yang muncul. Mereka akan berusaha mengalihkannya dengan hal-hal destruktif, mulai dari konsumsi alkohol, narkotika, hingga yang ekstrem yaitu bunuh diri.

Sementara wanita, emosi negatifnya akan tersalurkan dengan menangis dan terus menerus terjebak kepada perenungan. Faktor inilah yang kemudian membuat wanita lebih mudah mengalami depresi daripada laki-laki. Adapun perbedaan tersebut, menurut spekulasi Nolen-Hoeksema di riset yang berbeda, terjadi karena faktor budaya.

Infografik Ruminasi

Menghentikan Ruminasi

Tentu saja tidak mudah menghadapi ruminasi. Sebab sekalipun seseorang sudah melakukan konsultasi, ruminasi bisa saja muncul suatu saat jika dipicu oleh sekian hal tertentu.

Riset tahun 2015 yang dilakukan Nolen-Hoeksema bersama rekannya dari Stanford University, Sonja Lyubomirsky, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghentikan ruminasi.

  • Lakukan tindakan-tindakan kecil untuk mengalihkan perhatian
  • Menekan pikiran negatif serta ekspektasi berlebih terhadap sesuatu atau seseorang.
  • Lepaskan hasrat untuk meraih tujuan yang tidak menyehatkan atau yang tidak mungkin tercapai. Alihkan pikiran untuk meningkatkan harga diri.
  • Pahami apa saja pemicu yang membuat dirimu merasa tertekan dan berusaha untuk tenang ketika perasaan tersebut muncul.
  • Pikirkan matang-matang mengenai skenario terburuk dari tindakanmu.
  • Belajar dari kesalahan masa silam.
  • Terapi + Olahraga + Meditasi.

Edward A. Selby, seorang psikolog dari Rutgers University, dalam esainya berjudul ‘Rumination: Problem Solving Gone Wrong’ yang tayang di Psychology Today juga memiliki tips menarik dalam mencegah munculnya ruminasi, yaitu: lakukan segala sesuatu yang menyenangkan buatmu. Membaca buku, nonton film, bermain, nongkrong dengan teman, atau jalan-jalan. Apapun, selama kamu merasa senang melakukannya.

Ada dua jenis permainan yang ia rekomendasikan: teka-teki silang dan sudoku. Ia menulis:

“Permainan ini bagus karena mengharuskan kamu untuk terus secara aktif memikirkan teka-tekinya dan bukan masalahnya. Ruminasi adalah kebiasaan buruk, jadi kamu harus melakukan kegiatan secara teratur yang dapat mendistraksimu dari kebiasaan tersebut. Dan jika kamu ingin menghentikan ruminasi, mengalihkan perhatian sekali atau dua kali saja tidak cukup. Lakukan sesuatu yang menyenangkan!”

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Suhendra