tirto.id - Ada dua hal mencolok yang (pernah) disandang Rudolf Canesius Soemolang Wowor alias Rudy Wowor. Pertama, dia dulu adalah menantu dari Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso, yang hingga hari ini masih dikenal sebagai teladan polisi Indonesia nan jujur. Kedua, kiprahnya sebagai pemeran spesialis orang (keturunan) Belanda, khususnya tokoh-tokoh antagonis alias "Belanda jahat".
Dalam film yang disponsori keluarga Djojohadikusumo, Merah Putih (2009), Rudy Wowor memerankan Mayor KNIL Van Gaartner. Belanda satu ini adalah perwira dalam batalyon legendaris Andjing NICA. Dalam seri selanjutnya, Darah Garuda alias Merah Putih II, dia melanjutkan perannya.
Dengan bahasa Melayu yang diucapkan dengan logat Londo, Rudy pantas memerankan Mayor Gaartner. Ia memang keturunan Belanda dan Manado.
Dalam film Tjoet Nja' Dhien (1988) yang disutradarai Eross Djarot dan diputar dalam Festival Film Cannes (1989), Rudy Wowor pun ikut bermain. Lagi-lagi menjadi Belanda jahat. Kali itu, ia berperan sebagai Kapten Veltman, salah seorang komandan Marsose, pasukan ganas KNIL Belanda. Pasukan anti-gerilya inilah yang memburu Pahlawan Nasional Cut Nyak Dien.
Lewat film ini, dia menjadi nominasi aktor pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Namun, piala itu dimenangi Didi Petet untuk perannya dalam film Cinta Anak Zaman.
Dalam film Soerabaia’45 (1990), Rudy Wowor ikut serta lagi. Dalam film sejarah ini, Rudy tak lagi menjadi perwira KNIL, melainkan Kapten Angkatan Laut Belanda P.J. Huijer. Tokoh tersebut adalah perwira Belanda yang pertama-tama memasuki Surabaya, membonceng militer Sekutu sebelum pasukan besar Belanda datang.
Karena peran-peran itulah Rudy Wowor, dicatat dalam buku Apa Siapa Orang film Indonesia (1999:378) sebagai aktor yang nyaris selalu memerankan karakter jahat alias antagonis.
Padahal, talenta Rudy tak hanya bermain peran. Dia juga pernah menjadi penata lampu dalam film Ali Topan Anak Jalanan (1977). Rudy juga menjadi penata tari dalam produksi film Impian Perawan (1976) dan Aladin (1980). Ya, ia adalah penari dan koreografer.
Pegelaran yang melibatkannya sebagai koreografer adalah teater musikal berjudul Miss Kedaluwarsa di Gedung Kesenian Jakarta (24-27 Mei 2007). Saat gelombang musim reality show datang, dia menjadi juri tetap acara Seleb Dance yang disiarkan ANTV pada 2007.
Rudy yang berkarier di dunia film sejak usia awal dua puluhan tahun ini pernah bermain dalam film Onder de Bomen (1966) saat ia masih tinggal di Eropa. Rudy Wowor baru hijrah ke Indonesia di masa-masa kebudayaan Barat tidak lagi dianggap tabu seperti di akhir-akhir era rezim Sukarno.
Terkait kampung halaman ayahnya, Minahasa, Sulawesi Utara sana, Rudy nyaris ikut serta dalam pembuatan film Benteng Moraya (1809) yang berlatar Perang Tondano. Namun, produksi film itu tak pernah terlaksana. Jika jadi, dalam film itu, seharusnya Rudy berperan sebagai tentara asing. Meski bermarga "Wowor", dia tetap dipasang sebagai karakter Eropa karena fisiknya lebih mirip Kaukasian ketimbang Melayu.
Rudy yang bertampang bangsa penjajah ini sudah akrab di mata para penonton film bertema sejarah di Indonesia. Tidak salah jika ada yang menyebut Rudy aktor spesialisasi penjajah, orang Belanda, atau juga spesialis KNIL.
Jika novel Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangunwijaya difilmkan, orang yang paling cocok memerankan Mayor Verbruggen, komandan KNIL yang menjadikan Setadewa alias Teto (tokoh utama) jadi tentara Belanda, tak ada yang lebih pantas dari Rudy Wowor.
Bayangkanlah Rudy Wowor mengucapkan dialog: “Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri kincir angina. KNIL, nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara kerajaan itu tentara sinyo-sinyo pucat bau keju. Kalau KNIL, nah, ini gerombolan bandit VOC! Hahaa.” (Burung-burung Manyar, 1981:53).
Namun, hingga saat ini belum terdengar ada rencana sineas mengangkat Burung-Burung Manyar ke layar lebar. Jikapun kelak ada filmnya, tentu bukan Rudy Wowor-lah yang akan memerankan Verbruggen. Si "Belanda jahat" yang lahir di Amsterdam pada 13 Desember 1943 ini meninggal dunia hari ini, 5 Oktober 2018.
Editor: Maulida Sri Handayani